28 April 2011

Heru Atmodjo: Dari Mustang ke intelijen

Hari-hari ini sedang ramai diberitakan di media nasional, soal dibongkarnya makam Letkol Pnb Heru Atmodjo di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Tidak ada yang tahu pasti apa alasan pembongkaran, dan kapan waktu dibongkarnya, lalu jasadnya kemudian dipindahkan ke mana (ada versi yang menyebutnya di Sidoarjo).


Yang jelas makam almarhum Heru Atmodjo di Kalibata sudah dibongkar. Kita bisa menduga, ini bisa dihubung-hubungkan dengan posisi almarhum saat peristiwa “G30S” tahun 1965 lalu. Dalam periode Perang Kemerdekaan (1947-1949), Heru Atmodjo sebagai pelajar sekolah menengah di Surabaya, pernah tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia-Pelajar) Jawa Timur, karena itulah dia memperoleh penghargaan Bintang Gerilya, yang menjadikan dirinya berhak dimakamkan di TMP Kalibata, sesuai undang-undang yang ada.

Saat masih aktif sebagai perwira AURI (TNI AU), Heru dikenal sebagai penerbang pesawat pemburu P-51 Mustang. Sebelum masuk era pancar gas (jet) dasawarsa 1960-an, seperti keluarga MiG dari Rusia, andalan TNI AU adalah pesawat Mustang itu. Mustang tergabung dalam Skadron 3, yang dari waktu ke waktu selalu menjadi home base pesawat tempur, sebagaimana sekarang membawahi armada F-16.

Heru sebenarnya sangat menikmati karirnya sebagai fighter (sebutan untuk penerbang pesawat tempur), namun siapa yang bisa menduga nasib seseorang. Dalam sebuah manuver akrobatik menyambut Hari TNI 5 Oktober 1959, Heru mengalami kecelakaan, dan mengalami cedera cukup parah, sehingga harus istirahat terbang untuk beberapa waktu.

Sekitar setahun setelah kesehatannya kembali pulih, Heru memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan intelijen udara di Air and Photo Radar Intelligence School, Texas, Amerika Serikat. Ketika berangkat ke Amerika 1961 itu, Heru sudah menyandang pangkat Kapten Penerbang, karir yang lumayan cepat, bila dihitung sejak Heru lulus dari Sekbang (Sekolah Penerbangan) di Kalijati, Subang, 1953.

Pada suatu kali, Heru pernah menyampaikan kesannya soal penempatannya dinas intelijen AURI: “.....justru sesudah saya ditugaskan menjadi perwira intelijen, hidup saya kemudian berubah jadi berantakan. Seandainya dulu saya tetap penerbang, perjalanan hidup saya mungkin tidak seperti ini” (Julius Pour, 2010).

Kehidupan sehari-hari Heru memang sungguh sederhana. Bila berpergian, dia masih naik bus umum, sambil menenteng map karton, berisi berkas-berkas jual beli tanah. Benar, untuk sekadar menyambung kehidupan, apapun dilakukan Heru, termasuk menjadi “makelar” jual beli tanah. Istrinya pun bekerja, dengan menjadi guru TK di dekat rumahnya, di kawasan Polonia (Jalan Cipinang Cempedak), Jakarta Timur.

Kemudian sebagian lahan di rumahnya, juga disewakan untuk warung makan. Namun satu hal yang mengagumkan, dia jarang mengeluh dan tetap berusaha tegar menjalani kehidupan. Seperti tamsil bagi para fighter sejati, yang pernah diucapkannya: “rajawali terbang sendirian, bebek berjalan bersama rombongan”.

Sejak 1 April 1965, Heru mulai ditugaskan pada Direktorat Intelijen Departemen AU, sebagai Asisten Direktur Intelijen Produksi. Sementara Posisi Direktur Intelijen dijabat oleh Komodor (Marsma) Ign Dewanto, yang juga seorang penerbang Mustang, legendaris bahkan. Pada saat yang sama Komodor Dewanto juga merangkap jabatan sebagai Deputi Operasi Panglima AU, sehingga pelaksanaan tugas sehari-hari sebagai Direktur Intelijen, lebih banyak ditangani oleh Heru. Karena peristiwa 1965 pula, Komodor Dewanto harus pensiun dini dari karir cemerlang di AU, meski nasibnya tak seburuk Heru, Dewanto masih sempat bekerja sebagai penerbang pesawat carter.

Berkenaan dengan tugasnya pada dinas intelijen AU, Heru memberi catatan khusus, bahwa operasi intelijen AU lebih mengandalkan kemampuan pengumpulan informasi lewat analisis foto-foto udara. Berbeda dengan kebiasaan intelijen AD, yang menyusupkan agen ke wilayah musuh untuk menghimpun informasi.

Ini pula program pendidikan intelijen yang dijalani Heru selama di Texas, yakni kemampuan melakukan analisis foto udara. Itu sebabnya, ketika Heru harus bertugas memonitor situasi menjelang pecah peristiwa “G30S”, Heru merasa kewalahan, karena harus bekerja dengan metode intelijen tradisional, yang biasa digunakan AD. | Kanal Informasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar