20 April 2011

Bila Voting, Pasal Wewenang Menangkap oleh Badan Intelijen Bisa Lolos

Kontroversi soal RUU Intelijen tidak ada habis-habisnya. Pasal yang paling krusial adalah soal wewenang aparat intelijen untuk menangkap dan menyadap. Menurut anggota Komisi I DPR RI, Helmi Fauzi (Fraksi PDI-P), dalam diskusi terbatas Koalisi Advokasi untuk RUU Intelijen di Jakarta, pekan lalu, pasal wewenang menangkap bisa lolos bila voting dilakukan.


Juga menyadap, bisa saja lolos atau diterima, bila diadakan voting dalam sidang paripurna DPR RI. Masih menurut Helmi, Fraksi PDI-P jelas menolak wewenang tersebut. Helmi mengingatkan, suara Fraksi PDI-P jelas kalah bila dibanding suara (gabungan) fraksi pendukung pemerintah, seperti Fraksi Partai Demokrat dan Golkar. Itulah perlunya advokasi dan penggalangan opini civil society, untuk menghapus pasal tersebut dari RUU Intelijen, bila RUU disahkan nanti.

Helmi dan peserta diskusi yang lain, memandang, bila pasal itu sampai lolos atau masuk, jelas ini merupakan ancaman bagi demokrasi. Seolah memutar jarum sejarah, kembali ke masa Orde Baru, di mana intelijen dijadikan pilar kekuasaan, dan karenanya memiliki kewenangan tanpa batas, bila perlu melenyapkan nyawa seseorang.

Helmi menilai, anggota Fraksi Golkar secara individu, sebenarnya banyak yang tidak setuju pencatuman pasal itu, namun bila sudah voting, apalagi voting terbuka, akan lain ceritanya. Karena itu tergantung arahan otoritas tertinggi partai tersebut, aspirasi pribadi anggota menjadi tidak bermakna.

Begitu moderatnya sikap Golkar, bahkan mereka mengajukan tawaran, bahwa wewenang menangkap bukan tujuh hari, tetapi tiga hari. Padahal menurut Helmi, ini soal prinsipil, jangankan tiga hari, wewenang menangkap seharipun tetap harus ditolak. Sementara Fraksi PKB, sebenarnya bisa fifty-fifty, namun setelah kepergian Gus Choi dan Lily Wahid, menjadi satu suara mendukung kehendak pemerintah.

Dalam bagian lain Helmi mengatakan, RUU ini menjadi lambat prosesnya, karena ketidakharmonisan institusi intelijen sendiri. Dalam RUU diatur soal kordinasi, dalam RUU disebutkan, kordinasi itu ada di tangan lembaga yang disebut LKIN (Lembaga Kordinasi Intelijen Negara).

Ada klausul menyebutkan, selama LKIN belum terbentuk, fungsi koordinasi ada di tangan BIN. Ini yang jadi masalah, mengingat egosentrisme masing-masing institusi intelijen. Seperti Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI misalnya, keberatan bila berada di bawah BIN.

Bais TNI selama ini praktis bisa bergerak leluasa, di luar kontrol BIN, tentu akan merasa dikurangi kekuasaannya bila nanti di bawah BIN. Ini juga terkait dengan pasal penangkapan, karena unsur intelijen militer, kurang rela bila yang memiliki wewenang menangkap hanya pihak kepolisian. | Kanal Informasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar