17 Maret 2011

Gagasan "makar" film Indonesia dalam orasi

Orasi Satu7an yang digelar Perpustakaan Dbuku Bibliopolis,Royal Plaza, Surabaya terus menunjukkan konsistensinya di bulan ke tiga. Tema yang diangkat untuk bulan Maret adalah FILM. Bersandar pada Hari Film nasional 30 maret. Kamis (17/3), seorang film maker indie muda Surabaya, yang juga pemilik Warung Buku dan Film Tang Lebun, Arik Rahman menyampaikan gagasannya tentang film Indonesia.


"Peristiwa demi peristiwa terjadi dan lewat begitu saja. Satu per satu terlupakan karena ada peristiwa lainnya yang mungkin lebih besar dan lebih penting. Disadari atau tidak, sebenarnya peristiwa-peristiwa itu menciptakan sejarahnya sendiri," katanya.

Sejarah kejadian dan mungkin saja pencapaian yang pernah dilakukan oleh manusia. Ada peristiwa yang gaungnya kecil, tetapi penting bagi perkembangan disiplin pengetahuan yang mungkin tidak terlalu popular di masyarakat umum. Inilah pemberontakan sunyi.

Sejarah mencatat pemberontakan atau pergerakan muncul dari kaum muda. Munculnya pemberontakan terjadi dikarenakan terbentur kenyataan yang dianggap sudah stagnan didalam bidangnya. Pemberontakan itu diwujudkan melalui manifesto berwujud kegiatan kongkrit berupa karya. Karya-karya itu membawa misi dan visi baru kepada publiknya. Gagasan-gagasan yang dirasa bisa memberi jalan keluar dari posisi stagnan tadi.

Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan anak-anak muda pecinta film. Mereka bergerak dijalur independen seakan ingin menjadi ‘the others’ dari arus utama perfilman. Anak-anak muda ini membuat film atas kemauan sendiri, biaya sendiri, dan ide yang datang dari diri sendiri. Dengan durasi yang tak terbatas mereka tidak perduli dengan sensor. Dan ternyata banyak diminati.

"Ini terbukti dengan pertama kali diselenggarakannya Festival Film – Video Indonesia pada tahun 1999 oleh Yayasan Konfiden ( Komunitas Film Independen ). Dari banyaknya penonton dari kalangan anak muda dari berbagai kota di Indonesia yang datang dalam pemutaran film maupun diskusi dengan sangat antusias, dapat dilihat bahwa arus pemberontakan diluar arus besar film cukup besar," katanya.

Tapi, kini kita bisa sedikit bernafas lega. Karena telah hadir sebuah jaringan bioskop baru Blitzmegaplex yang memungkinkan untuk memutarkan filmnya dalam format digital diluar format film 35 mm, walaupun masih terbatas di Jakarta dan Bandung saja. Selain itu, gerakan film pendek juga memiliki “ bioskop alternatif” seperti Kineforum di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kineruku di Bandung, Kinoki di Jogja, C2O dan Tang Lebun di Surabaya, dan Minikino di Bali. | Diana AV Sasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar