22 Februari 2011

Perlawanan empat petani di MK terus berlanjut


Sidang perlawanan empat petani di Mahkamah Konstitusi (MK) berlanjut, Selasa (22/2). Pada sidang ketiga empat orang petani yang pernah dikriminalkan melalui Pasal 21 UU 18/2004 tentang Perkebunan dua orang ahli untuk memperkuat argumentasi. Yakni, Prof Nurhasan Ismail sebagai Ahli Poltik Hukum Agraria dan Prof Eddy Hiariej sebagai Ahli Hukum Pidana.


Kelahiran UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dianggap Pemerintah sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan warganegara. Apalagi, UU itu telah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun, dalam perjalanannya, UU itu memunculkan serangkaian persoalan baru. "Kalimat 'larangan melakukan suatu perbuatan'. sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan, menjadi alat untuk menyeret ribuan rakyat miskin ke dalam penjara," kata Wahyu Wagiman, kuasa hukum keempat petani.

Kedua pasal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum itulah yang mendasari seluruh penyelenggaraan negara di Indonesia, termasuk jaminan perlindungan kesamaan di muka hukum dan kepastian hukum.

Sangat tidak lazim ketentuan yang hanya berisi sanksi pidana terhadap suatu pelanggaran yang terdapat dalam pasal lain dicantumkan unsur tindak pidana yang justru membuat kabur perihal pelanggaran yang dimuat dalam pasal lain tersebut.

Hingga akhir 2010 terdapat 170 kasus kriminalisasi petani, berhadapan dengan sejumlah perusahaan kakap. Karenanya, PIL-Net, sebuah jejaring pengacara publik, yang aktif mendampingi petani-petani korban kriminalisasi, memohon pembatalan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan kepada Mahkamah Kostitusi.

"Dengan memperhatikan fakta dan argumentasi di atas, kami meminta MK membatalkan Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan (2)  UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya," tulisnya.

Dan DPR serta Presiden hendaknya meninjau ulang semua ketentuan dalam UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Sekaligus reformasi menyeluruh, oleh presiden, khususnya lembaga kepolisian dan kejaksaan untuk membersihkan oknum-oknum yang selama ini seringkali bertindak sebagai kaki tangan perusahaan perkebunan.

"Pemerintah Daerah sebagai pemegang kekuasaan di daerah untuk tanggap terhadap kasus-kasus kriminalisasi petani dan masyarakat lokal dengan mengedepankan perlindungan terhadap warganya," katanya. | press release |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar