Surabaya memang kota orator. Kota ini pernah melahirkan singa-singa podium dengan suara menggetarkan di mimbar-mimbar terbuka. Di kota ini, Sukarno, tokoh pendiri Partai Nasional Indonesia dididik bagaimana menjadikan orasi sebagai sebentuk teater kesadaran.
Di kota ini, Semaun, tokoh Partai Komunis Indonesia itu belajar dari guru yang sama bagaimana mempengaruhi massa dengan pidato-pidato yang menggetarkan. Kartosoewirjo, pendiri dan panglima perang NII/DI TII menghikmati khotbah di mimbar-mimbar sebagai cara merekrut dan menanamkan ideologi kepada kader.
Ketiga pendiri ajaran-ajaran paling fantastik dan bersimpang jalan itu diajari oleh guru yang sama dan di kampung yang sama bagaimana orasi sebagai alat pergerakan memaklumatkan martabat, mengideologisasikan ide, dan memakzulkan kezaliman.
H.O.S. Tjkroaminoto di rumah kos pergerakan di Paneleh VII Surabaya. Ia ajarkan menulis di koran kepada tiga isi kepala yang berbeda itu. Tapi sekaligus ia ajarkan orasi semacam teater kesadaran (theatre of mind). Bagi Tjokro, orasi adalah seni pertunjukan gagasan secara terbuka di depan publik. Sebagaimana teater, orasi mestilah membutuhkan panggung, membutuhkan pengeras suara hingga terjauh, juga membutuhkan penonton.
Demikianlah, kota ini terus-menerus melahirkan oratornya. Pasca grup Paneleh VII, orator yang paling dikenang dalam sejarah nasional adalah Bung Tomo. Orator 10 November itu, bukan saja membakar arek-arek di palagan untuk sabung nyawa, tapi juga dikenang bagaimana sebuah ide jatuh dalam tindakan bersama; bagaimana sebuah suara yang diucapkan dengan selantangnya mampu menerbitkan sebuah keberanian.
DBUKU Bibliopholis di era kiwari ini berusaha menghidupkan kembali tradisi itu. Tradisi orator. Tradisi teater kesadaran. Mengikuti kronik sejarah, umumnya orasi-orasi itu dipanggungkan anak-anak muda berusia belia. DBUKU Bibliopois juga mengundang anak-anak muda berpikiran progresif itu untuk maju.
Panggung orasi DBUKU Bibliopolis ini dinamakan “Orasi Satu-7-an”. Bukan saja dilaksanakan di tiap-tiap tanggal 17 bulan berjalan, melainkan merefleksikan tanggal 17 (Agustus) sebagai tanggal revolusi Indonesia di mana orasi dari esei paling memukau, naskah Proklamasi, dibacakan oleh salah satu manusia orator yang pernah dilahirkan Surabaya dan Indonesia, yakni Sukarno.
Agar suara-suara itu menyebar luas, DBUKU merekam suara-suara yang kritis dan reflektif itu dalam pelbagai medium. Seperti brosur, keping cd, dan disiarkan berulang-lang via radio streaming sehingga terdengar ke kalangan terjauh yang terpapar oleh kabel lebar internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar