18 Januari 2011

Mengapa tidak boleh beritakan sakitnya Menkes?

Oleh: Iman D. Nugroho

Sakit kanker paru-paru Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih tiba-tiba menjadi penting. Dengan alasan etika, pengungkapan sakitnya Menkes oleh media massa, justru menempatkan media sebagai pihak yang bersalah. Mengapa ini tidak berlaku untuk orang lain?


Ketika mantan Presiden RI alm. Soeharto sakit misalnya. Koran Tempo menuliskan dalam laporannya | Silahkan klik di sini | Sama halnya dengan Kompas yang menyajikan sakitnya Soeharto sebagai pemberitaan pada 6 Januari 2008. Seingat saya, mayoritas orang menganggap pemberitaan itu hal yang wajar. Orang yang mengingatkan media untuk tidak mempolitisasi sakitnya soeharto, justru dipandang miring dan dicibir sebagai kroni.

Berangkat dari pemberitaan sakitnya Soeharto itulah, orang kemudian membanding-bandingkan penanganan Soeharto dan Soekarno dalam keadaan sakit. Ada aroma ketidakadilan. Mengapa Soeharto bisa diperlakukan istimewa di RSPP, Jakarta, dengan keluarganya mengelilingi, sementara Soekarno dibiarkan sendiri. Pihak keluarga yang ingin mendekat pun tidak boleh.

Komentar tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja di Kompas.com menarik untuk disimak. Atma justru memandang pemberitaan sakitnya Soeharto adalah hal yang baik dalam hal pemenuhan informasi masyarakat. Apalagi, saat Soekarno sakit pada bulan Juni 1970, media sangat susah mendapatkan keterangan.

Harian Indonesia Raya, kenang Atma, memberitakan tentang sakit Soekarno pada edisi 18 Juni 1970, dengan judul "Soekarno Sakit Keras." Pemberitaan terus dilakukan hingga Soekarno wafat pada tanggal 22 Juni 1970.

ETIKA DOKTER

Dalam sebuah wawancara dengan Menkes Endang, tertangkap kesan penyayangan pengungkapan penyakitnya. Apalagi, tanpa persetujuan darinya. Sikap ini mengingatkan kembali Pasal 12 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertulis: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. | Kode Etik selengkapnya |

Memang, dalam pasal itu, dokter yang disebut-sebut telah 'membocorkan' penyakit Menkes Endang, bisa dinilai bersalah. Tapi, jangan lupakan Pasal 8 dalam kode etik yang sama. Tertulis: Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Nah! Bagaimana bila kepentingan masyarakat (yang lebih luas) yang menjadi dasar pembocoran penyakit itu. Karena dalam sengketa pembocoran penyakit Menkes Endang, ada kepentingan masyarakat yang sudah tercederai. Coba search di internat perihal pemberitaan sakitnya Menkes Endang.

Disebutkan, kanker paru-paru Menkes Endang tidak terdeteksi saat pertama kali diperiksa dokter saat pencalonannya sebagai Menteri Kesehatan. Benarkah? Hanya Menkes Endang dan dokter pemeriksanya yang tahu. Yang pasti, ketika penyakit itu dinilai sudah semakin 'mengganggu', proses penyembuhan sudah dilakukan. Sampai harus ke China untuk mencari pengobatan.

Apakah ada pengakuan dari Menkes Endang sendiri soal sakitnya? Tidak. Boleh-boleh saja dia tidak mengungkapkan. Apalagi, dia merasa mampu terus beraktivitas sebagai Menteri Kesehatan RI. Tapi jangan lupa, itu adalah keputusan subyektif Menkes Endang. Namun sebagai pertanggungjawaban moralnya pada masyarakat yang mempercayakan persoalan kesehatan padanya, apakah tidak lebih pas bila Menkes Endang mengungkapkannya.

Jadi siapa yang lebih memiliki 'bobot' kesalahan. Dokter yang merasa bertanggungjawab pada masyarakat, atau Menkes Endang yang menutupinya dari masyarakat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar