08 Januari 2011

Istri Pram dan jalan hidup yang sepi

Oleh: Iman D. Nugroho

Meninggalnya istri pujangga Pramoedya Ananta Toer, Hj Muthmainah Thamrin, Sabtu (8/1) ini di usia 82, mengingatkan kembali tentang kehebatnya sosok seorang istri. Apalagi, istri dari suami yang memilih untuk konsisten di jalan sunyi, jalan seorang pejuang.


Siapa tak kenal Pramudya Ananta Toer? Penulis puluhan buku yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu memang tidak hanya dikenal di Indonesia, melainkan juga di luar negeri. Sosoknya menjadi salah satu tokoh gerakan kiri dunia, setelah keterlibatannya dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), underbow dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tapi, orang-orang yang mengenal Pram, mungkin tidak semua mengenal Muthmainah Thamrin, istrinya. Bukan hal yang aneh, karena Muthmainah yang meninggal Sabtu ini, bukanlah orang yang ikut dalam aktivitas politik dan kesenian Pram. Atau, mungkin saja Muthmainah terlibat secara tidak langsung, namun sejarah tidak pernah mencatatnya.

Bagaimana pun peran Maemunah semasa hidup, namun sosoknya terbukti mewarnai kehidupan pujangga besar itu. Meski tidak banyak juga yang bisa menceritakan sosoknya. Situs Ensiklopedia Bebas Wikipedia dalam halaman Pram pun, yang biasanya lengkap dengan data-data pribadi, hanya memajang foto Muthmainah, tanpa menjelaskan lebih detail soal itu.

Sandaran

Coba baca lagi kehidupan Pram, yang pernah melampaui tiga tahun masa penahanan di masa kolonial, 1 tahun di masa Orde Lama dan 14 tahun di masa Orde Baru. Apakah kita bisa membayangkan, bagaimana kehidupan keluarga Pram selama itu?

Apakah mereka happy-happy? Bisa berbisnis dan jadi jutawan? Naik haji setiap tahun? Berpendidikan dengan mudah karena uang berlimpah? Dll? Tidak. Keluarga Pram sepertinya lebih tepat disebut menengah yang cenderung ke bawah. Itu bila urusan ekonomi.

Bagaimana dengan urusan sosial politik keluarganya. Bukan hal baru, untuk keluarga narapidana politik (Napol), hidup mereka sengat sengsara. Tidak hanya bicara soal keinginan jadi ABRI/TNI atau PNS, cita-cita tinggi lainnya pun begitu susah diraih. Lalu, apa yang dirasakan istrinya?

Melihat sang suami dipenjara, anak-anaknya dikucilkan oleh kehidupan sosial dan bayangan muram masa depan. Hanya perempuan-perempuan berhati baja yang bisa hidup dalam keadaan seperti itu. Memperkaya hatinya selama hidup, dan diam dikagumi ketika sudah meninggal dunia. Meski sejarah tidak pernah hingar bingar mencatat namanya.

Tuhan pasti sedang mendekapnya, kini,..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar