Lalu, untuk apa bertahun baru? Agar bisa memperbaiki, katanya.Itulah pokok persoalannya, namun tetap saja tidak bisa (atau tidak mau?) mengubahnya. Cobalah search harapan pergantian tahun yang terjadi saat Soekarno berkuasa. Atau ketika Soeharto mencengkeramkan kuku Orde Barunya.
Lirik juga jaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan tentu saja, Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir pasti, harapan tumpah ruah dalam pergantian tahun. Tapi, siapa saja bisa berharap dan bagaimana mewujudkan harapan itu, menjadi tanya yang tidak terjawab.
Si miskin ingin memperbaiki nasibnya, tapi si kaya menghalangi. Penganut agama minoritas ingin bisa bebas beribadah, tapi yang mayoritas kerap kali menekannya. Korban pelanggaran HAM ingin keadilan ditegakkan, tapi pemangku keadilan menepisnya. Semua seperti berulang dan kembali diharapkan dari tahun ke tahun.
Lalu, untuk apa bertahun baru? Apatis. Tentu saja tidak. Tulisan ini bukan sikap apatisme. Namun sebuah dorongan untuk evaluasi dan menemukan solusi cerdas akan semuanya. Tentu saja, tidak mudah. Karena memang kemudahan sepertinya dihapus dari jalan hidup orang-orang kalah. Sayangnya, orang-orang kalah itu bukan 'kita'.
Kita tidak butuh catatan akhir tahun. Kita butuh solusi di setiap tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar