12 Agustus 2010

Ramadhan dan beban peribadahan

Iman Dwi Nugroho

Tulisan tentang Bulan Ramadhan kali ini sedikit berbeda. Yakni, tentang sebuah beban peribadahan yang dirasakan umat Islam-penulis sebagai contoh- yang tidak seberapa "islam".



"Janji", sebut saja begitu, Allah SWT untuk orang-orang yang senang saat Ramadhan datang, sepertinya menjadi semangat tersendiri bagi umat Islam dalam menyambut datangnya bulan suci ini. "Barang siapa yang dengan senang hati menyambut kehadiran bulan Ramadan, Allah mengharamkan tubuhnya dari jilatan api neraka (man faraha bi dukhul ramadan harrama Allah jasadah ala al-niran)".

Apalagi, Rasulullah Muhammad SAW juga mengatakan, bila umat Muslim mengetahui keunggulan Ramadhan, pastilah mereka akan berharap semua bulan adalah Ramadhan. Cukup sudah, bulan Ramadhan, memang bulan yang istimewa bagi umat Islam.

Kejujuran

Jelas. Tidak akan ada keberanian bagi penulis untuk melawan apa yang sudah dikatakan Muhammad, apalagi Allah SWT. Tidak pernah ada keraguan untuk mengikuti petunjuk keduanya, tentang Ramadhan yang luar biasa. Namun, di sisi lain, juga tidak ada keinginan untuk tidak jujur dalam mengarungi bulan yang di dalamnya terdapat Malam 1000 bulan, atau Lailatul Qadhar ini. Karena tanpa dikatakan pun, Allah SWT akan mengetahui, apa yang terlintas di dalam hari. Termasuk, di hati orang-orang yang tidak seberapa "islam" seperti penulis.

Ramadhan, adalah sebuah beban peribadahan. Terutama dalam soal puasa. Puasa yang berarti tidak makan dan tidak minum di siang hari, sejak Subuh hingga Maghrib tiba, adalah sebuah beban peribadahan. Beban ini, harus dilakukan, karena muslim memang tidak memiliki tawar menawar dalam peribadahan. Take it! Tidak ada keberanian untuk menolak, apalagi menentang. Namun kejujuran, bagaimana pun harus muncul kepermukaan. Jujur ini, adalah upaya membuka diri. Lalu mengakui kelemahan, dan berusaha memenej-nya dengan kecerdasan.

Sederhananya, bila sudah ada kesadaran puasa menjadi beban, maka hendaknya tidak menambahinya dengan beban lain. Misalnya, mengurangi "beban" di siang hari. Bila biasanya bisa dengan gagah berani menantang matahari di terik siang, saat Ramadhan, mending tidur, atau mengatur semua aktivitas di malam hari. (Percaya atau tidak, tulisan ini ditulis jam 02.20 wib, dini hari menunggu sahur).

Dosa

Soal dosa? Entahlah. Apalah arti peribadahan bila dibayangi dengan ketakutan atas dosa. Atau harapan mendapatkan pahala. Bila keikhlasan itu ada, maka ukuran dosa, pahala atau apapun namanya, harus disingkirkan jauh-jauh dalam peribadahan. Atau, malahan dalam seluruh sendi kehidupan. Berganti dengan keikhlasan. Melalui keikhlasan, maka kejujuran akan terbentuk.

Seorang kawan bertanya melalui pesan pendek,"Puasa?" Kujawab,"Yang aku tahu, aku tidak makan tidak minum, itu saja."

grafis oleh radenbeletz.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar