10 April 2010

Perang Dewa versi Tiga Dimensi

Jojo Raharjo

*Resensi Fim “Clash of The Titans”

Rubrik film kali ini mengupas film Hollywood berjudul “Clash of The Titans” yang sedang tayang di jaringan bioskop 21 di Indonesia. Menyaksikan pemutaran khusus “Clash of The Titans” bagi wartawan di Plaza Indonesia Theater, Jakarta saya merasakan betapa film yang diangkat dari mitologi Yunani, didukung dengan efek suara dan visual dahsyat banget.

Kisahnya diawali saat manusia memberontak terhadap para dewa dengan merobohkan patung Dewa Zeus. Maka, para dewa pun murka dan mengirimkan monster bernama Kraken untuk menghancurkan negeri Agros beserta seluruh penghuninya. Di saat itulah, muncul pahlawan bernama Parseus, manusia setengah dewa yang memimpin rakyat bertarung melawan para dewa. Parseus dilahirkan dan ibu seorang manusia dan berayahkan Zeus, yang kemudian memimpin perang melawan dendam karena dia juga sakit hati dibuang ke dunia.

Dalam film produksi Warner Bross ini, penonton menjadi terhibur dengan perpaduan antara adegan perang, aksi aksi perkelahian dan gambar imajiner, misalnya suasana pada tempat antara kehidupan manusia dan kekuasaan Sang Maha Kuasa.

Seusai pemutaran “Clash of The Titans”, Dona Asri, wartawati Majalah Angkasa mengaku, dirinya selalu memiliki kesan tersendiri setiap menonton film bertemakan mitos para dewa. “Pasti ada sesuatu yang menarik untuk dipelajari dari mitos para dewa. Dalam kisah ini, kita tahu betapa siapapun bisa jadi dewa kalau ada sesuatu dari dalam kita yang bisa keluar, saat kita betul-betul yakin dengan kemampuan kita,” katanya.

Tapi, ada juga kritikan yang mengatakan bahwa alur cerita film “Clash of The Titans” terlalu mengada-ada, seperti disampaikan Arvero Iwantra, Editor For Him Magazine. “Dari segi cerita terlalu khayal. Ya, ini memang fantasi, tapi seharusnya sebuah film mesti ada logika ceritanya. Sebagai hiburan oke, tapi sebagai sebuah karya sinema, kurang maksimal,” kata Arvero.

Film ini menjadi menarik dinikmati karena beberapa gedung bioskop menyediakan versi 3D. Dalam versi tiga dimensi, penonton mendapatkan kacamata khusus sehingga mendapatkan suasana film seperti nyata. Kesan itu juga yang disampaikan Dona Asri. “Pasti beda nonton film 3D dibanding film biasa, seperti kita masuk ke dunia nyata,” papar Dona,

Namun, Arvero Iwantra punya pendapat lain. Menurutnya, teknologi 3D memang bagus, tapi tetap tidak akan berarti bila tidak diimbangi plot cerita yang berkualitas. “Tiga Dimensi itu hanya gimmick, ibarat kecantikan wajah dia cuma kosmetik atau make up luar saja. Yang penting sebuah film dibilang bagus atau jelek bukan dari teknologinya, tapi jalan cerita film itu,” kata Arvero.

Apalagi kata Vero, film ini merupakan karya remixed. “Film ini kan sudah pernah diputar pada era 1980-an. Nah, zaman dulu orang tertarik karena dongengnya, bukan karena efeknya kan?” katanya.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

1 comment:

  1. bingung nih... pengen nonton clash of the titans apa how to train your dragon.. kayaknya sih kalo dari segi cerita mending nonton how to train your dragon deh..

    ReplyDelete