Senja Madinah | Bagian III (tamat)
“Sebelumnya sudah pernah dik?” Tanya seorang perempuan berusia 30 tahunan di sebelahku. Aku menggeleng ragu. Aku semakin ciut. mungkin, hanya mereka yang berpengalaman bekerja yang diterima untuk bekerja.
“Kalau belum pernah, lebih baik diurungkan saja,” Tukasnya takut-takut sambil melihat ke arahku. “Nggak ada ceritanya pulang dari sini jadi kaya. Yang ada, pulang-pulang bawa penyakit,” tambahnya. Aku mengernyit kebingungan. Tak bisa kaya, yang penting cukup, pikirku. Tapi membawa penyakit?
“Iya, kalau nggak penyakit kelamin ya penyakit AIDS,” Jawabnya, sambil memperkecil volume suaranya. Seketika wajahku memerah. Berlari ke pintu keluar tanpa mempedulikan gerombolan laki-laki sebesar Rambo yang berusaha menghentikan dan mengejarku. Aku berlari. Terus berlari. Hingga terdampar di koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur ini. Tanjung Pinang.
Aku merasa dipecundangi oleh nasib. Jauh-jauh aku datang ke tempat ini, hanya untuk membuktikan pada ibu bahwa aku bisa menjadi manusia yang dibanggakan dan sayangi. Sebagaimana mimpiku yang terbawa ke liang lahat oleh Yaris. Menikah dengan laki-laki yang tak pernah menjamah lenganku dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan laki-laki seperti apa yang pantas dicintai.
Tapi apa yang ku dapat? Selaput dara yang berusaha ku pelihara sejak usiaku delapan tahun, justru akan dilelang oleh Tacik taik itu! Ya, sejak usia delapan tahun aku berusaha menjaganya. Saat itulah aku tahu bahwa aku perempuan, meski menstruasi pertamaku baru ku dapat di usia sebelas tahun. Saat itu pulalah pelarian pertamaku. Pelarian karena seorang laki-laki. Yang ku panggil Kakek.
Kakek. Ayah dari Ayahku itu. Entah apa yang merasuki otaknya. Hingga birahinya memuncak melihat buah dadaku yang bahkan belum tumbuh. Hingga menindihku dan akan menelusupkan zakarnya pada vaginaku yang bahkan belum ditumbuhi rumput. Pada suatu malam yang buta. Hingga aku menjerit dan membangunkan nenekku.
Dan ibu dari ayahku itu, bukannya membelaku, justru melemparku dengan dandang. Hingga aku terbirit. Berusaha menemukan jalan mencari rumah ibuku, yang telah kawin dengan laki-laki yang tak pernah ingin ku sebut ayah. Itulah pelarian pertamaku.
Dan, tahukan kau, bagaimana sikap ibuku saat mendapatiku kelelahan, tanpa alas kaki, dehidrasi, dan kelaparan? Pipiku, lenganku, pahaku, dan kakiku. Bersemu merah. Perlahan tapi pasti. Menjadi lebam. Semuanya, hasil karya ibu dengan menggunakan tangan dan sapu lidi.
Ibu.
Ibu yang selalu ingin ku ku peluk dan berlindung di balik ketiaknya. Ibu yang selalu ingin ku kusampaikan rasa takut saat mimpi buruk. Ibu. Yang menjadi satu-satunya alasan balik pelarian yang ku lakukan karena laki-laki. Ibu. Yang membuatku merasa tak bisa lepas dari perempuan yang ku sebut ibu itu..
Ibu. Yang justru menjauhkan ku dari rasa hangat, saat aku merasa dingin dari getirnya hidup. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri. Tidak hanya di kamar yang pengap. Tapi, di rumah sendiri. Benar-benar sendiri. Tanpa makanan. Tanpa nasi. Tanpa uang untuk membeli sepotong roti. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri hanya untuk bertemu ibu dari ayah tiriku, lelaki ketiga ibuku.
Ingatanku melayang. Pada sebuah pagi sebelum aku berangkat sekolah.
“Mak, aku maem (aku mau makan),..” Aku merengek. Berharap suara lembut menyambut rengekanku.
“Njiko’o dhewe kono lho. Ngalem iki! (Ambil sendiri di sana lho. Anak manja!),” Suara membentak yang keluar dari tenggorokan ibuku itu, membuatku berjalan gontai ke tudung saji yang tertelungkup.
Ku lihat pemandangan di depanku. Hanya ada sebakul kecil nasi. Tak ada lauk untuk nasiku. Atau sekedar kerupuk pink sebagai pemanis. Hanya ada cairan berwarna cokelat kehitaman pada sebuah bungkus plastic bertuliskan ABC.
“Mak, lawuhe opo? (Bu, lauknya apa?)” Aku merajuk. Meminta ibu untuk memberikanku telur atau sekedar kerupuk. Sebagai teman nasiku. Tapi, ia justru menghujaniku dengan omelan. Dengan cercaan. Dengan makian.
Aku memilih diam. Agar ocehannya tak semakin panjang dan memekakan telinga. Aku mogok makan. Tapi, saat melihatku bersiap untuk berangkat sekolah tanpa menyentuh nasi yang telah ku pindah dalam piring, ibu menjauhiku. Mencari batang sapu di balik pintu.
Aku mempunyai firasat tak nyaman. Sebab aku telah menyapu lantai rumah sebelum mandi, pagi ini. Dan benar saja. Batang itu di arahkan pada pahaku. Dengan membabi buta ia memukulku. Aku tak mempunyai kesempatan untuk berlari. Saat batang sapu yang terbuat dari kayu itu patah, ibu menjambak rambutku yang keriting. Mengangkat tubuh ringkihku ke meja tempat sepiring nasi dan sebungkus kecap.
“Entekno! Lek Gak entek tak bandemno ning raimu! (Habiskan! Kalau tidak akan ku lempar ke wajahmu!),” Suaranya semakin keras menggelegar. Melebihi petir dan halilintar yang membuatku takut, saat harus melewatkan malam sendiri di rumah.
Aku bahkan tak punya gambaran sebagaimana lagu digambarkan tentang hubungan keluarga bahagia dan penuh kasih sayang, yang banyak diceritakan dalam pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Moral Pancasila. Aku hanya mempunyai bayang ketakutan akan masuk neraka jika membantah ibu sebagaimana gambaran pelajaran agama: Surga berada di telapak kaki ibu.
Akibatnya, aku berkali-kali berucap maaf pada sesuatu yang tak pernah ku lihat tapi mempunyai efek menekan dan menimbulkan rasa takut, saat sebersit pemikiran hadir dalam otakku: ibu pasti menggerutu saat aku dalam kandungnya. Ibu pasti berucap serapah saat berusaha mengeluarkanku dari rahimnya.
Tapi entahlah. Saat aku di ujung tanduk seperti saat ini. Saat seorang pendeta yang menolongku dari cengkraman prostitusi. Ia yang membayar semua tebusan. Ia bahkan yang mencarikanku pekerjaan pada sebuah bengkel kecil di ujung jalan menuju dermaga. Aku justru merasa membutuhkan perempuan bernama Ibu itu. Aku ingin ia adalah orang pertama yang merasa bangga mendengar aku akan menjadi anak terpandang dalam sebuah strata social kelas satu. Meninggalkan kasta sudra yang turun temurun ku sandang. Bahkan akan menempati posisi melebihi kasta kesatria kaum raja.
Aku justru merasa ingin pulang. Aku ingin berlari. Lagi… (tamat)
*Ibu Bagian II, klik di sini.
*Ibu Bagian I, klik di sini.
| republish | Please Send Email to: [email protected] |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar