Iman D. Nugroho
Festival Film South to South 2010 “dikejutkan” dengan hadirnya film berjudul Pawang Air karya sutradara asal Purbalingga, Bowo Leksono. Film berdurasi 18 menit 09 detik itu berhasil memperoleh penghargaan khusus dalam event dua tahunan itu. Film ini dianggap memiliki nilai yang tidak dimiliki film lain yang berkompetisi dalam event itu: Special Mention.
Dalam dunia film Indonesia, nama Bowo Leksono mungkin bagaikan jarum di tumpukan jerami. Hampir tidak terlihat. Apalagi, sutradara berusia 33 tahun ini memang menekuni film independen, yang sulit membuatnya muncul ke permukaan. “Entahlah, dunia film independen sepertinya lebih pas untuk saya, karena itu saya memilih jenis film ini,” kata Bowo Leksono pada The Jakarta Post, belum lama ini.
Meski demikian, nama Bowo Leksono di dunia film independen cukup terkenal. Film besutannya berjudul Peronika, hampir pasti diputar di setiap festival film independen yang digelar di Indonesia. Film yang bercerita tentang gagap teknologi canggih itu juga dianggap sebagai film yang bisa dijadikan contoh film independen berkualitas, meski dikerjakan dengan biaya dan peralatan yang sangat sederhana. “Haha,..memang membanggakan bila bicara soal Peronika,” kenangnya.
Peronika bercerita tentang sebuah keluarga kecil yang terlilit konflik karena handphone baru milik sang anak laki-laki di keluarga itu. Saat orang tua sang anak coba menelepon handphone, tapi justru dijawab oleh Veronica, yang tak lain merupakan layanan otomatis milik operator kartu telepon yang dipakai sang anak. Karena pengetahuan yang terbatas, sang bapak merasa anaknya berselingkuh dengan perempuan bernama Veronica (dalam bahasa Jawa disebut Peronika). Konflik pun muncul. Kelucuan pun terjadi. “Banyak orang suka dengan tema sederhana ini,” kenang Bowo.
Sejarah perkenalan Bowo di dunia film berawal dari seringnya laki-laki pendiam ini dengan komunitas film di tahun 2002. Bowo yang ketika itu bekerja sebagai jurnalis di sebuah Koran harian di Jakarta ini tertarik dengan dunia film. Apalagi, Bowo sempat menekuni dunia teater sejak dirinya menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketertarikan itu semakin menjadi-jadi, ketika Bowo memiliki kesempatan kembali daerah asalnya di Purbalingga, Jawa Tengah. “Saya melihat, banyak hal di Purbalingga yang bisa difilmkan,” kata Bowo.
Bowo pun memutuskan untuk berhenti dari profesinya sebagai jurnalis dan menjadi filmmaker. Berbekal kamera analog S-VHS, Bowo memulai memproduksi film pertamanya berjudul Orang Buta dan Penuntunnya. Film pendek yang diilhami novel karta Ahmad Jauhari ini memang bukan karya terbaiknya. Hanya saja, film ini seakan menjadi kunci dari terbukanya kotak pandoro dunia film yang sangat menarik.
“Di film itulah saya mulai belajar bagaimana film yang ternyata tidak hanya urusan gambar, melainkan juga persoalan sound system, dan editing yang serius,” kenangnya. Beruntung, pertemanan Bowo dengan komunitas film maker independen asal Yogjakarta membuatnya bisa menggali lebih banyak tentang film. Semua “ilmu” otodidak yang didapatkannya itu diwujudkan dalam Peronika. “Lumayan juga, Peronika muncul sebagai film pembuka di festival film pendek bergengsi, Confident,” kenang lulusan Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah ini.
Semangat Bowo pun semakin terpelecut. Kali ini, Bowo berencana melebarkan pengetahuan dunia filmnya kepada komunitas anak muda Purbalingga. Dengan biaya sendiri, plus membawa dua filmnya, Bowo melakukan road show ke beberapa sekolah untuk berdialog dengan siswa di sekolah tersebut. “Tujuan saya Cuma satu, ingin menunjukkan kepada anak-anak muda itu tentang mudahnya membuat film dan hasilnya jauh lebih bagus dari pada sinetron di televisi,” katanya.
Langkah itu membuahkan hasil saat beberapa anak SMU di Purbalingga bersepakat untuk membuat komunitas film bernama Cinema Lovers Community atau CLC. Komunitas yang dipimin oleh Bowo ini memiliki satu “agama”: membuat film independen sebanyak-banyaknya. “Saya terpesona dengan semangat anak muda di CLC, sudah tidak terhitung lagi berapa film independen yang sudah dihasilkan, dan beberapa diantaranya menyabet juara dalam festival film,” katanya. Sekitar Midnight, film garapan CLC memebangkan Tawuran Film Nasional, Confident di Surabaya.
Antusiasme itu juga yang membuat CLC memberanikan diri untuk membuka acara nonton bersama di Gedung Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada Maret 2006. Acara yang disebut Bioskop Kita itu pun memperoleh sambutan baik dari publik Purbalingga. “Masyarakat yang sudah bosan dengan film mainstream menonton Bioskop Kita yang diputar di ruang tamu gedung Pemkab,” kenanya. Sayang, semua itu hanya berjalan selama tiga bulan. Tanpa alasan yang jelas, Pemkab Purbalingga menghentikan Bioskop Kita. “Kami sempat demo untuk menolak penutupan, tapi kita orang kecil, tetap kalah,” katanya.
Namun, seperti sebuah film, show must go on. CLC tetap berjalan meski tidak ada lagi tempat untuk memutas film karyanya. “Saya hanya meyakinkan kawan-kawan CLC, untuk tetap bersemangat,” kenangnya. Dewi keberuntungan berpihak padanya. Dengan biaya sendiri, CLC mengcreate sebuah festival film local. Festival bertajuk Purbalingga Film Festival pada tahun 2007 yang juga disertai dengan kompetisi local. “Sekaligus untuk mengasah kemampuang film anggota CLC,” katanya merendah. Dan hasilnya pun tidak mengecewakan Bowo Leksono menyabet penghargaan khusus di South to South Film Festival kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar