Iman D. Nugroho
Bumi sudah beranjak tua. Itu sebuah kepastian. Namun, tidak berarti bumi akan segera “mati” karena “penyakit” polusi yang dideritanya. Campur tangan manusia, dengan diawali oleh peningkatan kepedulian, menjadi kunci utama upaya menyelamatkan bumi. Dengan semangat itulah South to South Film Festival 2010 hadir. “Kami secara khusus mengambil tema We Care,” kata Ferdinand Rachim, ketua pelaksana.
Pusat kebudayaan Jeman, Goethehaus dan Pusat Kebudayaan Prancis Jakarta atau CCF sedikit berbeda pada akhir minggu ketiga Januari 2010 ini. Ruangan yang biasanya selalu tenang itu, kali ini riuh dengan suara anak muda dan rancak perkusi. Beberapa kali gong tanda dimulainya sebuah pertunjukan film terdentang beberapa kali di Goethehause. Yup! Saat itulah, tepatnya 22-24 Januari 2010, digelar South to South Film Festival 2010 di Goethehaus dan CCF.
South to South Film Festival atau StoS adalah sebuah event budaya bertemakan lingkungan yang diselenggarakan oleh sembilan organisasi yang fokus dalam isu lingkungan hidup dan sosial. Seperti Jatam, Walhi, Climate Justice, Kiara, Gekko Studio, E, Sawit Watch, Solidaritas Perempuan dan Indonesia Berseru. Melalui event ini, ke Sembilan organisasi ini menyajikan berbagai hal yang terkait dengan persoalan social dan lingkungan hidup. Sementara nama South to South diambil karena event ini memunculkan persoalan-persoalan di negara bagian selatan hingga ke ujung selatan lain.
StoS pertama kali menggebrak Indonesia pada 2006. Dengan tema Di Balik Kemilau Emas, festival film alternative ini menyita perhatian publik. Dua tahun kemudian, pada 2008, kembali digelar StoS kedua dengan tema besar “Vote for Live.” Meski memakai kata film festival, namun StoS sangat berbeda dengan film festival kebanyakan. Ukuran-ukuran dalam sebuah film, sedikit diabaikan dalam festival ini. “Bukan capaian artistiknya, melainkan bagaimana mengemas sebuah isu lingkungan dalam sebuah film,” kata Ferdinand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar