Senja Medinah
Hujan.
Rinainya menetes satu-satu di atap pertokoan. Aku terjebak di antara lebatnya. Ku rapatkan jaket tipis yang ku pakai. Gigil mulai menyapa kulit air, membuat bulu kudukku berdiri tegak. Merayap hingga ke tulang sum-sum.
Gelap.
Aku tak melihat satupun benda langit, kecuali tangisnya yang begitu merdu. Menderu. Membuat hewan-hewan malam ikut bernyanyi. Katak merintih. Pilu. Di kejauhan ku dengar anjing menyalak. Cahaya hanya ku dapat dari lampu kota yang hanya satu dua menyala. Sesekali dari truk yang melintas, seraya mengibaskan kubangan air ke arah pejalan kaki seperti ku.
Aku menepi. Saat air semakin kerap menetes. Berlindung di depan warung kecil yang telah tutup. Warung yang sederhana, kalau tak mau dibilang sempit. Aku membayangkan pasti sangat panas saat terik menyapa. Sebab atapnya hanya ditutupi seng.
Telah setengah jam aku berdiri di sini. Tapi langit terus menangis. Seperti seorang anak yang belum diberi ASI sang Ibu. Sungguh ingin meneruskan perjalanan. Pulang menuju rumah. Tapi, kuyup membuatku tak bisa berpakaian. Kalau aku nekad menembus deras. Sebab baju yang melekat di badan ini satu-satunya. Pakaian yang lain tak kering. Matahari tak menyapa bumi tempatku berpijak, seminggu ini.
Tiba-tiba ku teringat. Raut wajah yang belakangan mengganggu benakku. Raut yang selalu ingin membuatku berbalik ke arah barat daya. Pulang. Menemuinya. Sekedar memastikan mata indah itu masih bersinar. Sekedar memastikan tawa itu masih renyah. Sekedar memastikan ia baik-baik saja. Ah, wajah itu. mata itu. membuatku selalu ingin memandangnya lekat-lekat. Membuat aku ingin selalu bersujud pada bibirnya yang merah. Merekah.
Ku rogoh telephone selular yang ku simpan dalam tas punggung. Sekedar melepas rindu pada suaranya yang manja, Seperti bergelayut di lenganku. Suara itu mengingatkanku pada suara Atik CB, penyanyi era ‘80an. Serak dan basah. Sial! Batrainya sedang lemah.
Ia pasti gelisah. Segelisah aku yang tak melihat ada tanda-tanda hujan akan berhenti dalam hitungan sepuluh. Ia pasti menunggu. Seperti aku yang sedang terpaku di ujung sendu malam tanpa gemintang. Sayang, tunggulah aku. Batinku mendesah.
Aku terkulai lemas. Melihat lebat air yang terus saja dimuntahkan dari langit. Gigilku semakin menyengat tungkai. Melorotkan badan yang tegak berdiri. Berjongkok memeluk kaki. Dingin menyapu mataku dengan mimpi. Melayang-layang (ku harap) ke barat daya.
***
“Venus? Kau kah itu?” Ku lihat paras cantik venus memakai gaun serba putih. Gaun tanpa lengan itu memperlihatkan punggung yang putih dan halus. Ia menoleh.
“Lena. Aku Lena, Sayang,” Suara manjanya mulai menggelayut di lenganku.
“Tidak, bagiku kau tetap Venus dalam mithologi Romawi. Aphrodite kekasih Hermes dalam kisah Yunani,” Jawabku. Ia tertawa. Tetap manja. Diakhiri dengan nada getir.
“Jadi, kau kah Hermes itu?” Tanyanya. Sejenak aku ragu menjawabnya. Tapi aku memang merasa menjadi Hermes. Aku mengangguk lemah.
“Hahaha,… Iya, aku Aphrodite. Yang akan menikah dengan Hefestus, si buruk rupa dan pincang itu,” Aku menyesal telah mengangguk. Sebab ku lihat kaca hendak pecah dan meluncur dari mata indahmu. Tapi aku memang merasa menjadi Hermes.
“Dan aku adalah perempuan peselingkuh,” Tambahmu.
“Cinta. Kaulah dewi Cinta. Aku tak menyalahkanmu. Karena gairah yang kau miliki,” Aku merangkum kedua tangannya yang lentik. Warnanya memang lebih gelap dibandingkan lengannya. Ah, tangan halus itu tetap tampak liat. Sekeras hatinya yang selalu teguh memegang prinsip. Tapi, keteguhan itu selalu kalah dengan kelembutan sekaligus kelemahan. Lemah, saat melihat mata ayahnya berkata tidak saat meminta restu kebersamaan kami. Sebagaimana Aphrodite yang tak bisa menolak keinginan Zeus yang telah memilihkan jodoh Hefestus, tanpa bertanya.
“Ingatlah, berapa kali Aphrodite harus berselingkuh? Aphrodite juga berselingkuh dengan Ares, sayang,” Sanggahnya.
“Itu karena Hermes meninggalkannya, Sayang. Aku tak kan mengulangi kebodohan yang dilakukan oleh Hermes dalam mithologi itu. Aku akan menjadi bayanganmu. Aku akan datang tak terduga disetiap kesendirianmu, aku akan ada lebih dekat dari nafas mu, bahkan nadimu,” Suaraku parau membakar semangatmu.
“Kerinduan tak bertepi selalu menghadirkan amarah sayang. Amarah itu dapat merobohkan ruang dan waktu. Menghantam malam. Mendobrak pagi. Karena itu, berjanjilah kau selalu merindukanku. Maka aku akan ada, di setiap jengkal ragamu,” Racauku tak terkendali. Kini bukan hanya kaca yang pecah dari matamu. Tapi Tashensini telah berpindah dari Yukon, Alaska, ke pipinya.
“Sebagaimana Hefestus, ia temperamen dan jahat, sayang. Aku tak bisa membayangkan jika dia mengetahuinya. Ia tak kan menumpahkannya padaku. Tapi aku tak mau hal buruk terjadi padamu,” Dia, Venusku, Aphroditeku itu, masih saja mencari celah kemungkinan terburuk. Dulu, aku selalu protes pada pemikirannya yang cenderung negative, seolah tak ada harapan.
“Ingtlah, sayangku, Hefestus adalah orang yang konservatif dan bodoh. Dia tak akan mencium pupuk-pucuk cinta yang terus saja bersemi menjadi rimba raya, belantara. Pohon bernama ours itu akan terus tumbuh, menemukan jalannya untuk beranak-pinak, melanjutkan kehidupan,” Aku terus menenangkan.
“Tapi,…” Tuhan, kenapa kau menciptakan kata ‘tapi’? kata itu membuatku capek untuk terus berpikir.
“Sudahlah, Venus. Aku rela menjadi kekasih yang hanya ada dalam hatimu. Aku rela menjadi kisah rahasiamu. Aku rela menunggu Hefestus tertidur. Aku rela menjadi giliran terakhir. demi cinta kita, Aphroditeku,” Aku mendesah. Mengucapkan segala janji. Meski aku tak terlalu yakin bisa melakukannya.
“Tapi bagaimana kita akan memiliki Hermaphrodite? Seorang putra sekaligus putri sebagai pengejawantahan kebersamaan kita? Sebagai harapan bahwa kita tak kan terpisah? Kita yang abadi?” Seketika eksistensiku rontok. Sebagai kekasih, sebagai laki-laki dalam kisah kita.
“Aku sangat ingin berjumpa mimpi, sayangku. Tapi kau selalu menolaknya dengan kata ‘tapi’. Kerinduan bukanlah dosa, cintaku. Bukan laku yang tercela,” Desisku. Dan berlalu.
***
“Mas, bangun, mas. Sudah pagi. Warung saya mau buka,…” Ku dengar suara seorang lelaki membangunkanku. Sedikit kasar. Aku mengerjap. Mengangkat wajah. Melihatnya sekilas.
“Oh, maaf, mbak. Saya kira laki-laki. Rambutnya cepak gitu,” Ia memperbaiki panggilannya kepadaku.
Tak ku sisakan suaraku untuk didengar gendang telinganya. Aku hanya kembali berjalan. Menyandang kembali tas yang ku peluk, ke punggung. Sedikit membuka resleting jaket hingga sebatas dada. Berjalan. Sambil mengenang mimpi semalam. Dan mengutuk keberadaanku di pulau ini, sekarang.
Aku mendesis pada pagi yang muram. Awan gelap bergerak cepat sekali. Mengingat wajah bulat bermata indah yang selalu ku rindu. Membuatku selalu ingin menancapkan layar. Mendayuh sampan. Hingga ku tautkan di depan rumah. dibawah pohon ours yang telah menjadi belantara.
Aku tiarap pada gempuran rindu yang menusuk seperti jarum. Tapi aku juga bertekuk lutut pada angin. Yang masih terus berhembus ke arah timur. Aku menyerah pada kerinduan yang menyayat.
Ku paksakan selularku bekerja. Meski dalam kondisi lemah. Gelombang selularku menghubungi satelit untuk menyambungkan ke telephon selularmu.
“Halo?” God, kenapa suamimu yang menyapa? Apakah alat itu telah disita?
No comments:
Post a Comment