14 Oktober 2009

Siapa "Pencuri" Ayat yang Hilang di UU Kesehatan?

Iman D. Nugroho

Skandal penghapusan ayat UU Kesehatan yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus berlanjut. Mantan Anggota DPR-RI Periode 2004-2009 yang juga sangat keras mengusung isu regulasi tembakau, Dr. Hakim Sarimuda Pohan mensinyalir nama yang kemungkinan bisa dimintai keterangan lebih lanjut perihal skandal itu. Salah satunya adalah Ketua Komisi IX DPR-RI Ripka Tjiptaning. "Hanya Ripka yang ketika itu ada di Jakarta. Sementara semua orang sudah balik ke wilayahnya masing-masing karena tidak terpilih lagi," kata Hakim Sarimuda Pohan, Rabu (14/10) ini di Jakarta.


Seperti diberitakan sebelumnya, satu ayat di UU Kesehatan yang berkaitan dengan tembakau, yang sudah disahkan pada Rapat Paripurna pada 14 September 2009, justru dicuri ayat kedua dalam pasal 113. Ayat yang berbunyi: Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya, tidak ada lagi di bawah pasal 113. Yang tersisa hanya pasal satu (1) tentang pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif yang penggunaannya tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan, serta pasal tiga (3) yang mengatur tentang peredaran yang masih ada.

Uniknya, dalam bab penjelasan ayat perayat yang terletak di bagian akhir dari UU Kesehatan itu justru masih menjelaskan tentang adanya tiga ayat. Hal itu membuat banyak anggota Komisi IX meradang. Dr. Hakim Sarimuda Pohan adalah salah satunya. Dia meminta Badan Kehormatan DPR-RI dan polisi untuk segera memeriksa skandal ini. "Ini adalah salah satu bentuk pengkhiatan kepada negara, dan itu layak untuk diperiksa," katanya. Rapat Paripurna menurut Pohan adalah meeting tertinggi dalam sebuah mekanisme pembuatan UU, bahkan presiden pun menghormati itu. Karenanya, bila ada yang secara sengaja menghapus maka hal itu adalah sebuah pelanggaran hukum berat.

Hakim menceritakan, saat dirinya menerima salinan naskah asli UU Kesehatan, ayat ke-2 itu masih ada. Namun, saat dirinya menerima salinan resmi dari Sekretariat DPR yang dicover menggunakan logo DPR-RI berwarna emas, justru pasal itu sudah tidak ada lagi. Hal yang paling mencurigakan adalah adanya salinan UU Kesehatan di website DPR-RI. "Sekitar tanggal 7, saat ribut-ribut soal UU Kesehatan ini mencuat kepermukaan, UU Kesehatan itu tidak lagi saya temukan di UU Kesehatan," kata Pohan.

Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan, skandal penghapusan ayat-2 UU Kesehatan tidak membuat mekanisme hukum pembuatan UU menjadi berubah. Meskipun presiden SBY sudah menandatangani hal itu, namun tetap saja tidak sah. "Ada mekanisme yang dilanggar dalam pembuatan UU Kesehatan, dan bila itu ditandatangani Presiden SBY, tetap saja hal itu tidak sah," jegas Tulus di Jakarta. Lebih jauh Tulus menegaskan, skandal itu adalah bukti adanya upaya yang terus menerus oleh pihak-pihak yang ingin meneruskan kekuasaan perusahaan rokok di Indonesia.

Tulus menceritakan sejak tahun 1982 hingga 2009, setidaknya ada enam kasus tuntutan yang dilayangkan ke pengadilan berkaitan dengan kasus regulasi tembakau. Namun tidak semua menuai keberhasilan. Bahkan, dalam beberapa kasus, perusahaan rokoklah menghantam balik dengan kembali menuntut pihak yang mempersoalankan regulasi tembakau. "Tuntutan balik itu sedikit banyak membuat lembaga yang concern di bidang regulasi tembakau sedikit trauma," kata Tulus Abadi. Meski demikian, Tulus meyakinkan, hal itu tidak akan membuat perlawanan kepada upaya penyelamatan masyarakat akan bahaya rokok itu akan berkurang. "Terus akan kita lakukan, untuk kasus UU Kesehatan ini saja, kami akan melaporkannya ke polisi," katanya.

Semangat itu, jelas Tulus terus bersambut dengan regulasi lokal di beberapa kota di luar Jakarta. Bulai Bogor, Bandung, Surabaya, Medan dan Palembang. Di Padang Panjang, justru pihak pemerintah kota bersitegang dengan DPRD setempat hanya karena penetapan daerah bebas asap rokok. Pemkot Padang Panjang rela kehilangan pemasukan dari cukai rokok karena regulasi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar