
Saya tahu hasil dari bazar tersebut untuk disumbangkan kepada para yatim dan faqir miskin jelang Ramandhan. Kenapa saya tahu, karena kegiatan macam itu tergolong warisan. Artinya telah dilakukan turun temurun di kampus kami tercinta. Pastinya aku pun pernah towo-dowo dagangan (menawarkan dagangan) pada semua yang ada di kampus. Awalnya, saya memang akan beli kupon barang 2 atau 3 buah. Belum sempat aku mengajukan pembelian untuk beberapa lembar kupon itu, meluncur dari bibir mahasiswi aktivis ini kalmat yang membuat saya tertahan sebentar. “Ayolah pak beli kuponya. Bonus surga,” kata mereka.
Saya pun tertegun sejenak, lalu saya nyelutuk “Lho kamu koq gitu, mendingan aku nggak jadi beli aku,” kata saya setengah menggoda mereka. “Kenapa? “ jawab mereka serempak. “Karena kalian kapitalis jawabku,” masih dengan nada guyon. “Kapitalis gimana?” kejar mereka seolah makin penasaran. Aku pun jawab sekenanya “Kapitalis pahala.” Para mahasiwi pun serentak “ Kapitalis pahaaalllaaa…?” sejurus kemudian aku mengulurkan tangan untuk meninta kupon dari mereka seraya meyerahkan uang.
“Besok lagi kalau kalian bikin bazaar kayak aq ga mau beli lagi kalau ada bonus surganya,” sahutku ketika mereka pamit dan berucap terima kasih karena aku dah beli beberapa lembar kupon. Mungkin kita sering tak sengaja, melakukan atau menemukan hal yang sama. Tentu dalam bentuk, kapasitas, tempat dan waktu yang berbeda. Tapi catatnya, kapitalisme ini memang telah melintas batas, dan menyeruak masuk di sebagian besar sanubari kita. Tak ada yang salah dari kapitalisme, hanya semua perlu penyikapan yang bening.
Sangkin kapitalisnya kita, dalam bahasa sederhana (jualan-red) Semua cara dipakai untuk memasarkan dagangan, termasuk agama dan aqidah. Disisi lain menggunakan agama sebagai alat penjualan tergolong cerdas, tapi kalau tak hati-hati bisa berubah tak beradab. Siapa tertarik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar