Farida Indriastuti
Bila liburan tiba, cobalah berjalan-jalan ke Jawa Timur, tepatnya di Banyuwangi. Tak perlu jauh-jauh. Selain ongkos murah, ada “keajaiban” yang tak terduga. Saya mengunjungi desa konservasi suku Using bernama Kemiren. Lima kilometer arah barat kota Banyuwangi. Konon desa itu ada, sejak zaman kolonial VOC pada 1830an. Desa yang dibelah jalan beraspal menuju pegunungan Ijen, dibatasi dua sungai Sobo dan Gulung, dihimpit perkebunan kopi, vanila, cengkeh dan karet, warisan kolonial VOC pada abad ke 17.
Desa Kemiren yang luasnya tak lebih 105.771 m2 ini kental dengan identitas, tradisi dan kebudayaannya. Itulah yang melatarbelakangi Kemiren menjadi pusat konservasi Using. Keseniannya beragam, lahan pertaniannya sangat subur dan tradisinya terjaga. Desa ini pun menjadi incaran bagi peneliti dunia dari berbagai ranah ilmu. Sebut saja, peneliti asing seperti Joh Scholte, Robert Wessing, Theodore Pigeaud, Anderson, Paul A. Wolber, Bernard Arps, Philip Yampolsky dan lainnya. Tak heran, banyak gelar akademik; Sarjana, Master dan Doktor telah dilahirkan dari desa kecil ini. Sungguh surga dunia bagi para ilmuwan!
Suhu udaranya berkisar antara 22 - 26 derajat celsius, berada diketinggian 144 m di atas permukaan laut. Iklim yang sangat sejuk. Di hari tertentu, banyak suguhan pesta rakyat, ritual magis, upacara adat dan beragam kesenian tradisi dipertontonkan, seperti pentas gandrung terop, endhok-endhokan, janger, jaran kincak, mocoan lontar, angklung, kuntulan, barongan, kebo-keboan, sang hyang, seblang dan masih banyak lagi. Penduduknya berdialek Using dalam keseharian, serta turut menjaga tradisi warisan leluhurnya.
Dalam literatur Belanda, Pigeaud (Scholte, 1972), menyatakan bahwa orang Using adalah penduduk asli Banyuwangi. Konon, sisa laskar perang Blambangan (Banyuwangi) yang menyingkir ke hutan-hutan, akibat Perang Puputan Bayu di masa kolonial VOC. Puncaknya terjadi pada 18 Desember 1771, yang oleh Belanda sendiri disebut sebagai ”Minggu Kehancuran”, dalam bahasa Belandanya ”De dramatische vernietiging van het Compagniesleger”.
Bagaimana tidak, untuk memperebutkan Blambangan yang kecil, VOC telah menghabiskan delapan ton emas dan tak terhitung banyaknya tentara Eropa (Belanda) yang terbunuh. Bahkan sepuluh tahun setelahnya, orang-orang Using harus menghadapi gempuran dari Kerajaan tetangga seperti, Mataram, Majapahit, Tentara Bayaran Madura, Kerajaan Bali, Mandar dan Bugis. Kini, orang-orang Using terhimpit di antara kebudayaan besar; Jawa, Madura, Bali, Cina, Mandar dan Bugis.
Di desa Kemiren Saya menempati rumah Pak Haji Sokib. Saudagar dan pedagang sapi yang cukup terpandang. Hewan ternaknya lebih 20 ekor, dan memiliki berhektar sawah-ladang. Rumahnya kokoh dan bertegel rapi. Beruntung, Saya menyewa rumah Pak Haji yang memiliki fasilitas kamar mandi dan kakus. Penduduk setempat lebih suka mandi di sungai atau sumber air untuk segala macam urusan. "Lebih enak tak perlu repot!" kilah warga.
Kabut selalu menyelimuti desa di pagi hari. Dinginnya terasa menusuk tulang. Di sepanjang jalan, orang-orang berlalu-lalang menuju sawah dan ladang garapan. Sarapan pagi di Kemiren, cukup sayur urap daun genjer atau sayur buah klentang. Sontak ingatan Saya tertuju pada film "30 S/PKI" garapan sutradara Arifin C. Noor di era Orde Baru. Kata “genjer” telah mengusik benak, ditambah suara liris penyanyi Lilis Suryani mendendang syair “Genjer-Genjer”. "Itu bukan lagunya komunis! Tapi lagu rakyat Using!" cetus Purwadi, Tokoh Adat Using dengan nada sinis. Menurut riwayatnya, lagu Genjer-Genjer diciptakan oleh Seniman Mohammad Arif pada tahun 1942, saat musim paceklik krisis pangan di zaman Jepang, jauh sebelum tragedi di tahun 1965 terjadi.
Konon ceritanya, setiap pagi Mohammad Arif berjalan menyusuri pematang sawah. Tatkala ia menyiangi rumput (gulma) dibawa pulanglah seikat daun genjer. Tak sengaja istrinya memasak daun genjer itu, ternyata rasanya enak dan bisa dimakan. Sebab itulah, sebagai seniman ia menulis lirik lagu berjudul Genjer-Genjer. “Aneh, kok bisa dijadikan lagunya partai komunis...” sergah Purwadi.
Panggung Gandrung
Di ujung desa Kemiren, tersua panggung gandrung terop lengkap dengan panjak dan niyaga pengiring pengantin. Tata panggungnya sederhana. Pencahayaan seadanya. Dari belakang muncul gandrung Temu melenggok, mengibaskan sampur, dan menggoyang pinggulnya yang sintal diiringi gandrung-gandrung muda. Gandrung Temu begitu bertenaga. Tak tersirat usianya telah separuh abad lebih. Di wajahnya tebersit gurat bahagia, pipi merona merah, kulit langsat bersinar dan mata berbinar.
Temu menguasai tembang-tembang klasik gandrung. Begitu piawai menyapa penonton dan melayani pemaju gandrung tanpa pilih-pilih. Sesekali tangannya bergerak menangkis keisengan "nakal" pemaju. Tak ayal, dalam saban pentas gandrung Temu selalu jadi primadona. Berbeda dengan tarian Jawa, Gandrung begitu dinamis, tapi syairnya menyayat hati. Suara Temu melengking jernih tak tertandingi. Liriknya menggambarkan perlawanan rakyat terhadap kolonial VOC, syairnya puitik sarat dengan bahasa sandi.
Keunikan suara Temu menggugah rasa ingin tahu banyak peneliti dan etnomusikolog dari berbagai negara, hingga melahirkan album tembang Banyuwangi, bertajuk “Song Before Dawn” yang dibiayai oleh Ford Foundation dan Smithsonian Institution yang berbasis di Washington D.C, Amerika. Keping CD, kaset dan unduhan MP3-nya telah didistribusikan ke berbagai toko online dari kawasan, Asia Pasifik, Uni Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin, seharga 16,98 dollar dan 20 Euro. Ironisnya, Temu tak menerima royalti atas jerih payahnya.
Di setiap pertunjukan, Temu selalu berinteraksi dengan melewati meja tamu bergantian gandrung lain, sembari bernyanyi. Konon, itu bentuk penghormatan terhadap tamu-tamu dan tuan rumah. Baru di Desa Kemiren, Saya menemui hajatan perkawinan, berlangsung sangat meriah selama 7 hari 7 malam. Sungguh seperti pasar malam, karena banyaknya tamu, penonton dan pedagang. ”Maklumlah warga Using gemar sekali pesta, biar tradisinya terjaga” ungkap seorang warga. Esok harinya, sepasang pengantin pun di arak dengan kereta kencana kuda di iringi kesenian barongan berkeliling hingga ke ujung desa.
Jika ingin mengunjungi Desa Kemiren, pengunjung bisa menyewa rumah tradisional Using yang dikelola warga setempat-- dengan harga terjangkau, atau menyewa rumah warga. Banyak pula sajian kuliner yang menggoda lidah untuk dicoba. Selain rasanya yang lezat, harganya pun sangat murah, berkisar Rp 3 ribu - Rp 5 ribu per porsi.
Gaya Anak Muda
Kemiren di sore hari, riuh dengan tawa remaja (muda-mudi), ada yang bermain gitar dan berjingkrak. Tampilannya modis, rambut di cat pirang di ujung jambulnya dan telinga ditindik. Fesyen dan aksesorisnya tak kalah dengan remaja perkotaan. Sebut saja, Didi (16) penggila musik disco remix. Banyak keping CD yang dikoleksinya. ”Saya lupa, berapa keping?” katanya. Berbeda dengan Arif (15), ia penggemar musik punk rock. ”Cadas dan energik, ” ujarnya.
Mereka tak berbahasa gaul, seperti remaja perkotaan. Arif, Didi dan kawannya berbahasa Using. Mereka mengaku, bangga dengan identitas Using. Bahkan, lagu disco remix dan punk rock yang diperbincangkan berbahasa Using. ”Wah, Peter Pan gak laku disini. Semua lagu berbahasa Using,” kata Arif.
Grup band asal Jakarta, justru tergeser oleh lagu berbahasa Using "Bokong Semok" yang dinyanyikan Gandrung Temu. Bahkan, pengamen jalanan yang berambut ala mohawk-- tak mau menyanyikan lagu Slank. ”Ah, ntar warga gak mau ngasih uang!” kilahnya. Di tengah pusaran arus global, remaja Kemiren bertahan dengan identitas Using. Sekaligus membalikkan logika bahwa; modernitas tak menjadi penting. Meskipun arus teknologi tak terbendung.
Kawah Ijen
Dari Kemiren, perjalanan menuju pegunungan Ijen berjarak 25 km. Cukup menelusuri jalan utama desa ke arah barat, ditempuh dengan menyewa mobil bak terbuka (pick up). Mobil jenis itulah yang digunakan sebagai transportasi lintas desa. Cukup mengeluarkan ongkos Rp 125 ribu, saya pun diantar hingga mencapai pintu masuk area kawah ijen di kawasan Hutan Konservasi Alas Purwo.
Sepanjang perjalanan tampak berhektar-hektar perkebunan kopi, cengkeh, vanila, dan karet-- yang dikelola pengusaha beretnis Cina. Terhampar [pula] sawah dan ladang yang berbentuk terasering (mirip subak di Bali). Tak ayal, bila Kemiren dijadikan sebagai pusat varitas padi terbaik di Jawa Timur. Perjalanan berlanjut ke perbukitan yang dibelah dua hutan tropis. Tapi jangan khawatir, tak ada harimau yang melintas! Cuma truk pengangkut kayu dan belerang yang lalu-lalang.
Sampai di gerbang Hutan Konservasi Alas Purwo “Kawah Ijen”, pengunjung harus mengisi buku tamu, serta membayar uang kas Rp 1.500 per orang. Bagi yang ingin menguji adrenalin, mendakilah hingga kawah Ijen yang berketinggian 2380 m di atas permukaan laut. Di tempuh selama 3-4 jam perjalanan. Di jamin, siapa pun terpesona oleh alam sekelilingnya. Lanskap hijau, lembah, ngarai yang di penuhi beraneka flora, seperti Eidelweiss.
Puncaknya, bertemu lubang bumi bernama “Kawah Ijen” yang berdiameter 910 x 600 m, dengan kedalaman 200 m. Konon, inilah danau asam terbesar di dunia. Kawah Ijen juga memiliki potensi flora beragam. Sedikitnya, 94 jenis flora menghiasi jajaran bukit-- yang didominasi oleh Euphatorium dan Eidelweiss.
Pendakian sebaiknya dilakukan pada pagi hari, sebab tak banyak gumpalan asap-- memudahkan kita melihat gradasi warna kawah. Bagi yang berhasrat keliling kaldera, dapat dilakukan dalam waktu singkat. Untuk menghangatkan tubuh-- ada warung kopi di puncak Ijen yang biasa digunakan para buruh tambang belerang beristirahat. Harganya murah, cukup Rp 2.500 untuk secangkir kopi panas.
Mandi Peluh
Sesekali Saya bertegur-sapa dengan kuli tambang yang memanggul belerang seberat 75 kg hingga 110 kg. Mereka adalah buruh angkut yang dipekerjakan PT. Candi Ngrimbi. Perusahaan tambang yang mengontrak area pertambangan belerang di Kawah Ijen, lebih dari 30 tahun.
Jelas saja, Pengusaha dan Pemda Banyuwangi yang meraup untung. Sedangkan buruh angkut hanya berstatus kuli harian, diupah Rp 400/ per kg belerang. Padahal, kuli angkut bekerja dengan penuh resiko, dari pukul 06.00 hingga pukul 16.00. Dalam sehari, para kuli menambang lebih dari 10 ton belerang. Hasilnya pun dibawa ke pabrik-pabrik pengolahan belerang yang akan dijadikan bahan kosmetik, sabun, pemutih gula, obat-obatan, pupuk urea dan bahan kimia lainnya.
Ada yang lebih 30 tahun bekerja sebagai kuli. Ironisnya, para kuli seolah tak peduli dengan keselamatan dirinya. Tak seorang pun menggunakan masker (penutup hidung) selama menambang belerang. Caranya menambang pun masih tradisional dengan menggunakan linggis. ”Banyak terjadi kecelakaan kerja. Biasanya kaki patah atau terluka,” tukas seorang kuli.
Tentu tak akan ada asuransi bagi Mansyur (35). Sekalipun ia bekerja lebih dari 20 tahun. ”Sehari bisa dua pikul belerang,” ujarnya. Sekali angkut belerang, Mansyur mampu memikul 68 kg hingga 93 kg. Pundaknya hingga cidera, tak lagi proporsional tapi melengkung. Pernah ia memikul hingga 105 kg, bila kondisi tubuhnya bugar. Naik turun gunung setinggi 2380 m, sebanyak tiga kali dalam sehari. ”Lumayan dapat upah Rp. 70 ribu, ”kata Mansyur. Meski tak sebanding peluh dengan pendapatan, Mansyur tetap mensyukuri rejekinya.
Puncak Kawah Ijen, tidak hanya menawarkan lanskap alam yang eksotis, sekaligus melahirkan kisah-kisah pilu tentang perjuangan hidup. Tak terpikirkan oleh Saya, bersua dengan para kuli-kuli tambang di Kawah Ijen. Emosi Saya tumpah tatkala mendengar cerita, bahwa Pak Harudin yang biasa disapa Din meninggal karena paru-parunya menghitam, bahkan tak ada uang untuk berobat. "Selamat Jalan Pak Din!".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar