Iman D. Nugroho
Peristiwa penyerangan Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI) di sebuah pondok pesantren di Kanigoro, Kediri, 13 Januari 1965 lalu masih menyisakan luka hingga kini. Bagi warga desa itu, peristiwa penyerangan yang juga dijadikan adegan awal film G30S/PKI ini menjadi awal konflik horisontal yang turun temurun. "Sayangnya, seringkali hal itu digunakan sebagai komoditas politik," kata Abdul Hakim, Kepala Desa Kanigoro, Kediri.
Peristiwa penyerangan di bagian selatan Kabupaten Kediri itu memang tergolong sadis. Diperkirakan, saat penyerangan yang berlangsung 04.30 pagi itu dilakukan oleh lebih dari seribuan orang aktivis dan simpatisan Pemuda Rakyat dan BTI kepada 127 anggota Pemuda dan Pelajar Indonesia (PII) yang sedang melakukan mental training. Pimpinan PPI ketika itu, Said Koenan, dan KH Djauhari, dianiaya massa. Bahkan, massa penyerang mengobrak-abrik masjid dan kitab suci umat Islam yang ada di dalam mushola itu.
Para penyerang menilai, PPI adalah upaya terselubung Masyumi (yang ketika itu sudah dilarang pemerintah Soekarno) untuk kembali membangun kekuatan guna melakukan kudeta atau makar. Pemuda Rakyat dan BTI yang merupakan organisasi sayap dari Partai Komunis Indonesia (PKI) pendukung Soekarno merasa perlu untuk membubarkan acara itu. "Saya tidak memiliki data, namun berdasarkan informasi dari saksi mata, korban peristiwa itu cukup banyak," kata Abdul Hakim, Kepala Desa Kanigoro.
Di Jawa Timur, mungkin juga dibeberapa daerah lain, konflik yang dimotori oleh underbow PKI kerap berlangsung. Seperti yang terjadi di Kecamatan Genteng di Banyuwangi , Kecamatan Mojang, Kalibaru dan Dampit di Jember serta di Kediri yang terjadi pada tahun 1961. Juga peristiwa di Surabaya pada tahun 1962 dan penganiayaan seorang kiai di Pamekasan Pulau Madura pada tahun 1965. Selain berdasarkan perbedaan politik, konflik horisontal itu berlandaskan semangat untuk memberantas apa yang disebut PKI sebagai Tujuh Setan Desa. Tuan tanah, lintah darat, tengkulak, ijon, bandit desa, pemungut zakat dan kapitalis birokrat desa.
Konflik horisontal itu mendapatkan perlawanan serius di Jawa Timur. Gerakan Pemuda Anshor, organisasi pemuda di bawah Nahdlatul Ulama (NU) mulai melancarkan serangan balik. Kediri adalah kota di mana GP Anshor melakukan perlawanan kepada aktivis BTI yang menyerang seorang pemilik tanah pada tahun 1964. Salah satu kyai dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, KH. Maksum al Jauhari atau Gus Maksum adalah salah satu tokoh yang getol melawan aksi underbow PKI itu.
Gus Maksum ini juga yang mendorong kelahiran Barisan Serba Guna (Banser) di Blitar pada tahun 1964. Saat masyarakat setempat merasa terteror. Dalam peristiwa Kanigoro pun sama. Aktivis PPI yang ketakutan meminta bantuan kepada Gus Maksum dan Banser yang langsung menyerang balik. Menangkapi aktivis Pemuda Rakyat dan BTI yang dianggap bertanggungjawab.
Sikap keras NU dan underbownya terhadap PKI menurut KH. Muchid Muzadi memang tidak bisa dilepaskan dari masa lalu NU dan PKI. Sejarah menyebutkan, NU adalah kelompok yang paling tegas bersikap melawan PKI. "NU memang sejak dulu bersikap untuk melawan PKI, dan sikap itu akan terus diturunkan sampai sekarang," kata Muchid Muzadi. Apalagi, menurut sesepuh NU yang akrab dipanggil Mbah Muchid ini, komunisme tetap ada sampai saat ini.
Salah satu buktinya adalah kedatangan Soemarsono, tokoh PKI yang kini sudah menjadi warga Australia. Soemarsono adalah anak buah Amir Sjarifoedin dan Musso. Mengutip sebuah tulisan di koran Jawa Pos terbitan Surabaya, Mbah Muchid tidak habis pikir mengapa Soemarsono berbalik menyalahkan pemerintah Indonesia dalam persoalan PKI. "Ini artinya komunis tetap menjadi dan akan terus menjadi persoalan di Indonesia," katanya.
Bukti lain yang menurut ulama NU bisa dijadikan bukti tentang adanya komunisme adalah diputarnya lagu Genjer-genjer di sebuah radio di Solo, Jawa Tengah. Menurutnya, lagu itu mau tidak mau diidentikkan dengan PKI dan bisa menyulut kembali kenangan masyarakat atas peristiwa tahun 1965. "Nah, kalau memang diputar kembali, itu namanya provokasi, apalagi saat diputar itu di Bulan Ramadhan," katanya.
Kerasnya gesekan antara NU dan PKI di Kanigoro, dirasakan Kepala Desa Kanigoro Abdul Hakim masih "tersisa" sampai sekarang. Menurutnya, masih ada kerenggangan antara keluarga keturunan PKI dan NU di desa kini berpenduduk 3,3 ribu jiwa itu. "Sebagai kepala desa, saya merasakan itu," katanya. Hal itu semakin tampak bila ada peristiwa politik yang digelar di desa itu. Mulai pemilihan kepala desa (pilkades), hingga pilpres. Abdul Hakim menggambarkan, desas-desus untuk tidak memilih calon tertentu santer terdengar dari masih-masing kelompok.
Meski hal itu tidak secara terang-terangan diakui, namun bagi penduduk Kanigoro, "haram" hukumnya membicarakan peristiwa serangan Pemuda Rakyat dan BTI pada PPI pada tahun 1965 itu. "Banyak korban yang jatuh pada saat itu, dan hal itu masih belum bisa dilupakan oleh anak cucu mereka hingga kini," katanya. Meski begitu, Abdul Hakim sangat menginginkan hal itu segara dicairkan. "Bagi kelompok politik tertentu, janganlah menjadikan kerenggangan itu sebagai komoditi," katanya
a. Feature Anak Pencipta Lagu Genjer-Genjer
b. Feature Poet Mu'inah, Tokoh Gerwani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar