Youtube Pilihan Iddaily: Sejarah Laut Mati

30 August 2009

Spirit of Taksu: Potret Seniman Tradisi

Farida Indriastuti

Seni tradisi sesungguhnya ranah yang rentan, sekaligus korpus ilmu pengetahuan yang unik dan etnik. Kajian akademis telah menunjukkan bahwa selama berabad-abad kepulauan Indonesia telah menghasilkan karya-karya artistik yang luar biasa. Keunikan seni tradisi tari, berbasis nyanyian yang menggabungkan tembang-tembang klasik di panggung pertunjukan.

Seakan menyeruak hingga menggugah rasa ingin banyak akademisi, peneliti, pengamat seni, etnomusikolog, dari dalam negeri dan luar negeri, terutama dari sisi artistik kesenimanan-nya. Seni tradisi tanpa sadar telah membuka ruang dialog antar wilayah, pulau, negara, suku, budaya dan lapisan sosial dalam wacana (discourse) berkesenian di Indonesia.

Tak pelak, seni tradisi merupakan produk ilmu pengetahuan yang khas, bahkan melibatkan kerjasama antara warga dari kalangan akademis, seniman, birokrasi, organisasi nirlaba dan lembaga filantropi internasional, untuk menghasilkan proyek seni budaya melalui penelitian, dokumentasi sejarah budaya, pelestarian dan penguatan kedudukan akademis dari ilmu seni budaya. Kajian dan analisis seni tradisi telah mampu menembus batas negara, melompat ke aras global. Penari legong Bali, Ni Ketut Cenik (91), gerak tubuhnya dikenal hingga negeri jauh: Eropa, Kanada, Amerika Serikat dan Asia Pasifik. Begitu juga, penari topeng Indramayu, Mimi Rasinah (80), serta Temu (58), pesinden cum penari gandrung Banyuwangi, yang kaset, CD dan unduhan MP3 bertajuk “Song Before Dawn” beredar luas di toko online di kawasan; Asia Pasifik, Amerika Serikat, Amerika Latin, Australia, Uni Eropa hingga Eropa Timur.

Walaupun gerak tubuh Temu, kerap [dipaksa] digantikan oleh penari yang berparas ayu, muda dan lebih sintal. Namun, para gadis yang menarikan gandrung Banyuwangi dalam suatu misi kesenian, meski menari sangat bagus, makna tubuhnya berbeda. Karena tak ada yang diperjuangkan seperti gerak tubuh Temu. Yang terjadi adalah produksi replika tubuh yang palsu! Tubuh ‘palsu’ yang menari penuh pesona itu, acapkali bersekutu dengan negara melalui lembaga pendidikan dan pemerintah daerah, dan ditempatkan (di depan) sebagai presentasi ideal dari bangsa di pasar global. Fakta itulah merupakan pil pahit bagi para seniman tradisi yang berusia lanjut (para sesepuh).

Di balik kedukaan, ada semangat luar biasa yang ditunjukkan Karimun (99), penari topeng dalang asal Malang, Jawa Timur. Ia mengaku tak ingin merepotkan pemerintah, meskipun kondisi tubuhnya lumpuh. Sepasang topeng “Panji Asmorobangun” dan “Dewi Sekartaji” di lelangnya seharga Rp. 3,5 juta untuk biaya berobat. “Topeng itu senjata saya selama 80 tahun menari, “ujar Karimun. Begitu juga Ki Ledjar, dengan susah payah ia menciptakan wayang kancil. Toh, akhirnya wayang kancil diakui sebagai karya cipta orang lain dalam sebuah buku yang diterbitkan di Jakarta. "Hati saya menangis, apalagi orang Indonesia yang menulis, "keluhnya. Sedangkan Ki Taham terpaksa mendekam dipenjara Orde Baru tatkala prahara politik 1965. "Entah kesalahan apa? Saya buta politik!" ujarnya.

Begitulah tumpang-tindihnya kepopuleran dan loyalitas seniman tradisi kita di kehidupan nyata. Mereka tak kenal lelah menghidupkan seni tradisi. Pengabdian adalah titik terpenting dalam hidup mereka. Seni tradisi merupakan nafas hidup, yang tersirat hanyalah keiklasan hati tanpa pretensi. Bahkan mereka berjanji tak akan meninggalkan panggung pertunjukan, kecuali tubuh tak mampu digerakkan lagi. Biarpun dengan kekesalan yang membuncah, para seniman generasi tua itu-- selalu mensyukuri apapun yang diperoleh dari karya artistik dan panggung pertunjukan.

Sesungguhnya, bahasa dan gerak tubuh mereka dalam kreasi artistik, mampu mewacanakan kegelisahan sosial di sekitarnya. Suara mereka yang unik dan etnik mampu mewacanakan keadilan.Seniman tradisi generasi tua yang meski tubuhnya rapuh, namun tetap loyal. Kontribusi artistik para seniman generasi tua sungguh luar biasa, tak terhitung jumlah gelar akademis; Sarjana, Master, dan Doktor yang dihasilkan. Ironisnya, sebagian dari mereka kerap diabaikan oleh masyarakat intelektual, dan suara mereka dilemahkan! Padahal perjalanan mereka begitu panjang dan jauh ke belakang, serta melelahkan.

No comments:

Post a Comment