Iman D. Nugroho
Untuk kesekiankalinya, Polisi Republik Indonesia atau Polri membuat langkah tergesa-gesa untuk menyelesaikan kasus terorisme. Setelah penyerbuan yang "over" di Temanggung Jawa Tengah, kali ini Polisi memilih untuk mengawasi para da'i penceramah yang melakukan dakwah Islam selama bulan Ramadhan. Hal ini semakin memperkuat stigma aktivitas Islam adalah teroris.
***
Jumat pertama, setelah gembong teroris Dr. Azahari tertembak di Kota Batu, Jawa Timur, sebuah penugasan meluncur dari editor sebuah media di Jakarta. "Tolong kamu awasi beberapa ceramah Jumat, menarik untuk ditulis, apa yang mereka ceramahkan," kata seorang editor. Penugasan itu unik, karena secara tidak langsung, membuktikan masih adanya image bahwa Islam versi Noordin M. Top dan Dr. Azahari (serta Jemaah Islamiyah-nya) sudah begitu besar. Bahkan, sampai masuk ke ruang-ruang dakwah Islam di masjid-masjid. Tentu saja. Hal itu jauh dari benar.
Logika itu ternyata tidak surut. Melalui Kadiv Humas, Polri Nanan Sukarna secara resmi mengumumkan akan mengawasi kegiatan dakwah Islam selama Bulan Ramadhan. Apakah artinya statemen ini? Secara gamblang, Polri menganggap ceramah agama yang dilakukan dalam Bulan Ramadhan ada kemungkinan disusupi ideologi versi terorisme. Melalui dakwah agama itu, Polri memperkirakan, para da'i kemungkinan akan mengajak atau minimal menghembuskan semangat terorisme versi "teroris" yang belakangan mulai terdefinisikan sebagai "calon pengantin" Noordin M. Top. Bagaimana polisi bisa begitu sederhana melihat aktivitas Islam?
Saya tidak akan menjelaskan tentang aliran Islam yang bermuara pada perbedaan ideologis dan stategi gerakan. Namun, hanya ingin mengingatkan kembali bagaimana pendekatan dilakukan aparat keamanan (dalam hal ini polisi) kepada aktivitas warganya. Ini kekeliruan yang paling mendasar. Polisi menilai, mengawasi kegiatan masyarakat akan bisa meminimalisir radikalisme. Logikanya justru terbalik. Sejarah membuktikan, saat Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, pengawasan kegiatan yang ketat akan memunculkan rejected atau penolakan kepada sistem itu. Acara diskusi "sederhana" tentang isu-isu politik pada jaman itu, berubah menjadi aktivitas subversif di mata rezim.
Hasilnya, selain rakyat makin bodoh, aparat keamanan menjadi common enemy atau musuh bersama. Radikalisme melawan aparat keamanan justru muncul. Nah, bila hal ini dilakukan polisi, bukan tidak mungkin, radikalisme umat Islam kepada polisi yang suatu saat menjadi common enemy akan terbentuk. Polisi yang seharusnya menjadi mitra masyarakat (atau sebaliknya) dalam melawan terorisme, akan berbalik. Belum lagi, ketidakpahaman aparat kepolisian tentang materi-materi ke-Islaman. Apakah ada standarisasi khusus yang diberikan kepada aparat polisi yang bertugas sebagai pengawas da'i? Misalnya, ketika da'i berbicara "Jihad melawan kebodohan", kira-kira apa terjemahan dari polisi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar