Iman D. Nugroho
Ungkapan "pers adalah pilar keempat demokrasi" mungkin akan segera terhapus, bila pers tidak dilindungi kebebasannya. Terutama, bebas dari tekanan yang berasal dari manapun. Untuk itulah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers hadir. "Meski kami sering terengah-engah karena banyaknya persoalan yang harus dihadapi di tengah keterbatasan lembaga ini, tapi kami memilih untuk bertahan," kata Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers.
Ketika pertama kali memutuskan untuk bergabung dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) pada tahun 2000, yang ada dibenak Hendrayana adalah belajar untuk mengimplementasikan ilmu hukum. Tapi yang didapat lebih itu. Sejak bergabung dengan organisasi di bawah Alm. Munir itu, laki-laki kelahiran Majalengka, 21 April 1977 ini mengenal pentingnya menjaga hak asazi manusia. Termasuk hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk bebas berekspresi.
"Banyak hal yang saya pelajari dari Kontras dan Alm. Munir, tapi yang paling penting adalah persoalan HAM," katanya, Senin (10/08/09) ini.
Hendrayana memang tergolong "orang baru" di dunia hukum Indonesia. Namanya, belum sekaliber pengacara kondang seperti Adnan Buyung Nasution, Hotma Sitompul, Juan Felix Tampubolon, Todung Mulya Lubis atau Hendardi. Namun, sosok yang akrab dipanggil Hendra ini memiliki domain kerja yang tidak mudah. "LBH Pers, berkomitmen untuk melindungi pers dari jeratan hukum, sekaligus mengawal kebebasan berekspresi di Indonesia," jelasnya.
Keterlibatan Hendra dalam dunia hukum pers berawal pada tahun 2003. Ketika itu, Hendra yang pernah pekerja di Kontras (2000-2003), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini menjadi salah satu pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. "Komite Penegak Kebebasan Pers yang dibentuk saat kasus Majalah Tempo melawan Tommy Winata pada tahun 2003 mengkristal menjadi LBH Pers," kenangnya. Tepatnya pada 11 Juli 2003 di Tugu Proklamasi, Jakarta, LBH Pers dideklarasikan.
Tidak main-main, kasus pertama yang ditangani bukan kasus enteng. Yakni, menjadi pembela Majalah Tempo dalam kasus pembiaran polisi saat awak redaksi Tempo diserang sekelompok orang yang tidak terima dengan berita berjudul Ada Tommy di Tenabang. Hendra dan kawan-kawan menuntut polisi untuk meminta maaf, karena diam saja saat mengetahui awak Tempo dianiaya.
Melawan polisi dalam ranah hukum, bukan hal yang mudah. Setelah berbulan-bulan, akhirnya Kasasi Majalah Tempo dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Sekaligus meminta mantan Kapolri Da'i Bachtiar untuk meminta maaf secara resmi atas kasus itu. "Sampai kini permintaan resmi itu tidak terjadi, namun setidaknya perjuangan panjang LBH Pers dan Tempo tidak sia-sia," kenang Hendra. Dalam kasus kedua, antara photograper Warta Kota Edy Hariyadi dan Gubernur DKI Jakarta pun, LBH Pers mendulang sukses.
Secara periodik, LBH Pers yang kini dibiayai Yayasan OSI dan TIFA Foundation ini pun mulai kebanjiran kasus pers. Dalam catatan LBH Pers, sudah 200-an kasus pers ditangani lembaga bantuan hukum yang berkantor di Komplek Bier Pancoran ini. Pada periode tahun 2008-2009 saja terdapat 44 kasus sedang running di pengadilan. Mulai kasus hukum pidana, perdata hingga kasus perburuhan. Beberapa kasus menonjol yang ditangani antara lain Gugatan PT. Asian Agri kepada Majalah Tempo dalam kasus pemberitaan Majalah Tempo atas berita "Akrobat Pajak".
Juga kasus Khoe Seng Seng atas Surat Pembaca di Kompas dan Suara Pembaruan melawan PT. Duta Pertiwi dan Jupriadi Asmaradhana melawan mantan Kapolda Sulawesi Selatan-Barat Irjen Pol. Sisno Adiwinoto. "Semua kasus-kasus itu merupakan pertaruhan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang coba diciderai oleh beberapa pihak," kata Hendra. Karena begitu penting, LBH Pers biasanya menggandeng lembaga lain yang juga perhatian dengan isu kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Memang, tidak semua kasus bisa berakhir menggembirakan. Setidaknya dalam beberapa kasus besar LBH Pers berhasil menang. Sebut saja kasus Majalah Tempo vs Pemuda Panca Marga (PPM) yang menang dalam dua kali gugatan oleh PPM. Juga kasus Koran Tempo melawan Munarman, kasus Harian Transparan (Palembang) vs Bupati Banyuasin, Legal Standing AJI vs Kapolri Dai Bachtiar, dan kasus Khoe Seng-seng vs PT Duta Pertiwi dalam gugatan perdata Perdata. "Kita sedikit lega, tapi juga tetap waspada karena banyak hal mengancam pers bebas," kata Hendra.
Suami Intan Diah Pitaloka ini mengingatkan tiga hal yang kelak menjadi batu sandungan pers bebas. Yakni Rancangan Undang-Undang Intelijen, UU Internet dan Transaksi Elektronik (ITE)dan Sanksi Penjara dalam Pasal Pencemaran Nama Baik. LBH Pers bersama koalisi NGO mencoba menghadang tiga regulasi itu. UU ITE misalnya, sudah coba dirombak dengan Yudicial Review melalui MA. Juga dua regulasi lain yang coba dihambat. "Tapi, sepertinya ada pihak lain yang tidak suka dengan pers bebas dan terus berusaha menggolkan regulasi itu," kata lulusan hukum Universitas Jenderal Sudirman, Banyumas ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar