
***
Meski sempat mewarnai pemberitaan media massa Indonesia belakangan, namun berita tentang dugaan adanya penyelundupan senjata buatan PT. Pindad berjenis SS1- V1 di Filipina, tidak menjadi besar. Padahal, bila ditelisik lagi, berbagai spekulasi bisa muncul atas pemberitaan itu. Dan yang paling mengkhawatirkan, kasus itu kembali mencoreng nama Indonesia dalam hal pertahanan negara. Apalagi, senjata selundupan itu bercampur dengan senjata dari Israel yang dibawa oleh kapal asal Panama dengan kru asal Georgia dan Afrika. Buru-buru, PT. Pindad membantah hal itu. Menurut keterangan humas PT. Pindad sebagaimana dilansir Metro TV, sebenarnya senjata-senjata itu bukanlah senjata ilegal. Namun dipesan oleh organisasi menembak Filipina dan Mali. Namun hingga kini masih diadakan penyelidikan lebih lanjut mengenai hal itu.

Secara sederhana, regulasi pembelian dan penjualan peralatan tempur atau alat utama sistem persenjataan (alutsista), di Indonesia tergolong cukup ketat. Indonesia hanya membuka jalur jual beli senjata dengan negara-negara yang memiliki kerjasama secara resmi. Dalam negeri, sebuah lembaga bernama Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) memegang kendali penuh atas hal ini. Di dalamnya, terdapat beberapa departemen terkait, sepertti Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Menteri Negara BUMN dan tentu saja Departemen Pertahanan. Melalui departemen terakhir inilah lembaga TNI juga ikut diajak bicara.
Saat ini, bukanlah hal yang mudah untuk berbicara tentang alutsista. Problem pendanaan menjadi hal paling utama. Data dari Departemen Keuangan menyebutkan, dari tahun 2004 hingga tahun 2008, alokasi utang pengadaan alutsista mencapai Rp.26 triliun dan pinjaman luar negeri setara Rp.20,1 triliun. Hal itu digunakan untuk menutup pembiayaan alutsista dalam negeri yang semakin tahun semakin menurun saja. Hingga dikenal istilah "minimum essential force" (pemenuhan anggaran minimum pertahanan) bagi alutsista.
Meski demikian, riset media menyangkut pemenuhan alutsista, tetap saja penuh dinamika.Salah satunya adalah hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang sempat renggang dalam hal pertahanan. Kasus pelanggaran HAM jaman Orde Baru di bawah Soeharto, membuat Parlemen dan Senat AS tidak pernah "menghitung" TNI dan memutuskan embargo. Namun, pelan-pelan hubungan itu kembali membaik. Bahkan, ada rencana pembelian pesawat jenis F-16 dari AS menggunakan uang pinjaman LN, tentunya. Di tengah upaya itu, eh,..ada kasus senjata ilegal Pindad di Filipina.
Foto: flickr dan wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar