Iman D. Nugroho
Kekaguman tersirat di wajah keluarga besar Muhammad Hatta, saat Surat Wasiat Proklamator RI itu dibacakan pada tahun 1980, tak lama setelah kematiannya. Di salah satu lembaran yang ditulis langsung oleh Bung Hatta dan ditujukan kepada Guntur Soekarno Putra itu tertera sejarah kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945. "Bahkan, dalam surat wasiatnya pun Bung Hatta sangat nasionalis," kenang Halida Nuriah Hatta putri bungsu Bung Hatta.
Saat-saat menjelang Hari Ulang Tahun RI pada 17 Agustus selalu menjadi momen istimewa bagi keluarga Proklamator Muhammad Hatta atau Bung Hatta. Di medio inilah, keluarga besar yang hingga kini masih mendiami rumah pribadi Bung Hatta di Jl. Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat itu kembali mengingat sosok sederhana yang juga penoreh sejarah dalam Proklamasi yang menandai merdekanya Indonesia bersama Ir. Soekarno.
"Sebagai keluarga proklamator, kami menyadari betapa penting posisi Ayah kami ketika itu," kata Halida, mengawali pembicaraan awal pekan lalu. Tidak terbantahkan, Bung Hatta bersama Ir. Soekarno memang menduduki posisi penting ketika itu. Di sela-sela ancaman dari berbagai pihak, dua tokoh Indonesia itu memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Bagi keluarga besar Hatta, peringatan HUT RI tidak ubahnya seperti acara reuni keluarga. Pemerintah RI selalu mengundang ketika anak Bung Hatta; Mutia Hatta, Gemala Hatta dan Halida Hatta untuk hadir dalam upacara detik-detik Proklamasi di Istana Negara. Setelah usai, ketiganya memiliki tradisi mengunjungi makam Bung Hatta. Makam itu bercampur dengan makam penduduk di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan. "Sedapatnya kami bertiga datang," kata Halida.
Sosok Bung Hatta bagi keluarga besarnya, memang tidak tergantikan. Selama 24 tahun Halida berkumpul dengan Bung Hatta, sejak kelahirannya di Jakarta 25 Januari 1956 hingga 1980, adalah pelajaran hidup yang sangat berharga. Terutama bagaimana Bung Hatta memperkenalkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa meninggalkan nilai-nilai kesederhanaan sosial.
Halida tidak pernah lupa, bagaimana Bung Hatta selalu mengajarkan anak-anaknya mengatur seluruh hidupnya. "Dalam hal kecil misalnya, sejak dulu ayah selalu meminta pertanggungjawaban uang belanja yang diberikan kepada kami anak-anaknya," kenang Halida. Meski awalnya menganggap aneh, akhirnya anak-anak Bung Hatta terbiasa untuk belajar bertanggungjawab kepada pekerjaan dan kepercayaan yang diberikan. Termasuk terbiasa untuk membuat hidup lebih sederhana, tidak konsumtif, hemat dan tidak besar pasak dari pada tiang. "Semuanya harus dilakukan dengan hitungan yang matang," kenangnya.
Bung Hatta, jelas perempuan yang bekerja sebagai Unit Head Corporate Secretary TRANS TV ini, selalu mengingatkan peran rumah tangga sebagai unit sosial terkecil yang sekaligus menjadi sumber kekuatan. Karakter masing-masing orang dalam keluarga yang berbeda-beda, tidak harus menjadi alasan bagi keluarga itu untuk rapuh. "Tolong menolong, saling percaya dan punya integritas dan komitmen masing-masing anggota keluarga adalah kekuatan," kata lulusan Ilmu Pemerintahan & Politik Universitas Indonesia dan International Relation University of Japan ini.
Dalam keluarga Bung Hatta, keberagaman pilihan politik pun begitu tampak. Dua putri Bung Hatta, Mutia dan Halida Hatta memiliki jalur politik yang berbeda. Mutia menjadi Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan mendukung Susilo Bambang Yuhdoyono, sementara Halida memilih berada di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan mendukung Prabowo Subiyanto. "Kakak kedua, Gemala memilih untuk tidak berpolitik, tapi tetap mensuport kami berdua," kata Halida.
Dalam skala yang lebih luas seperti negara, sudut pandang seperti itu akan sangat berguna. Indonesia yang memiliki karakter "anggota keluarga" yang berbeda-beda, justru menjadikan negeri ini semakin kuat. Masing-masing warga bangsa memberikan dukungan kepada warga bangsa yang lain demi "keluarga besar" Indonesia. Keberagaman yang dimiliki Indonesia, jelas Halida, harusnya menjadi sumber daya manusia dan alam yang bisa dimanfaatkan. "Indonesia harusnya bisa menjadi sangat kuat dengan keberagaman itu," katanya. Belajar dari sejarah Jepang, kata Halida, yang mampu menyerap esensi dari barat, tanpa meninggalkan tradisionalitas.
Halida menyadari, hal itu bukan hal yang mudah. Dalam hal rasa memiliki atau sense of belonging misalnya. Halida merasa sense of belonging pada Indonesia mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Generasi muda juga seakan tidak tertular rasa memiliki Indonesia secara utuh. Masuknya budaya-budaya barat, seringkali diserap kulitnya saja, tanpa tahu apa yang sebenarnya diperlukan oleh modernisasi ala barat itu. "Bung Hatta itu berlatarbelakang pendidikan di Eropa dan Barat, tapi ketika pulang ke Indonesia, tidak lantas menjadi orang barat," kenanganya.
Tidak berlebihan bila kemudian, Halida membayangkan sebuah keadaan di mana generasi muda Indonesia kembali memiliki sense of belonging. Tidak harus menjadi sangat nasionalis layaknya pejuangan jaman Bung Hatta, tapi menjadi nasionalis versi kekinian. "Sebut saja kepedulian kepada lingkungan, seperti menjaga kebersihan sungai, tatakota, melestarikan hutan, binatang, banyak lagi," kata Halida. Dikap itu adalah bentuk dari nasionalisme dan patriotisme.
Dalam bentuk yang labih esensial, bagaimana orang Indonesia menjaga sikap mental, terus mengintrospeksi diri dan meningkatkan etos kerja untuk membangun Indonesia, adalah hal yang penting. Bila itu dilakukan, maka seruan Bung Hatta pada 11 Februari 1954 lampau pasti akan terlaksana. "Salah satu usaha yang terpenting dalam pembangunan ekonomi negara ialah mengubah dasar ekonomi,..produksi harus ditujukan ke dalam, untuk memenuhi keperluan rakyat," kata Bung Hatta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar