Iman D. Nugroho
Bulan Ramadhan baru saja berjalan beberapa jam, ketika Jumat (21/08) sore MetroTV menyiarkan berita dari Riau dan Lamongan. Di Riau, sekelompok orang mendatangi komplek prostitusi. Memukuli dinding, mengeluarkan perabotan, dan pada titik klimaks, mereka membakar rumah-rumah petak yang ada di sana. Di Lamongan, aksi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), merasia tempat mangkal pekerja seks, dan menangkapi mereka. Dalam sebuah adegan, seorang pekerja seks dibawa oleh empat Satpol PP yang masing-masing menjinjing dua tangan dan dua kakinya. Perempuan itu meronta-ronta.
Tontonan tragis itu, di mata saya bagaikan sayatan arti bulan penuh rahmat, Ramadhan. Bagaimana di awal bulan agung ini, orang tiba-tiba menjadi sangat "Islami" dan melakukan pengerusakan? Atau Satpol PP itu yang menjadi beringas dengan para pekerja seks? Dan ironisnya, hal ini selalu terjadi di setiap Ramadhan. Lihat saja di Ramadhan tahun-tahun lalu, dan mungkin dalam beberapa hari ini akan pula menghiasi layar kaca. Polisi melakukan rasia di hotel, restauran dan bar yang tetap buka. Atau---semoga saja tidak---sekelompok orang yang mengaku sangat cinta dengan Ramadhan, datang ke tempat-tempat yang dianggap "gelap" dan melakukan pengerusakan.
Saya tidak pandai mengkutip ayat atau mecuplik hadist. Hanya bisa merasakan, ada yang keliru dengan tindakan semacam itu. Dalam sebuah renungan sangat sederhana, prostitusi dan tempat hiburan malam adalah bagian dari kehidupan sosial di Indonesia yang (meskipun saya tidak sepakat), harus dilihat sebagai realita. Mereka-mereka yang ada di dalam lingkungan itu, adalah orang-orang yang mungkin bila diberi keleluasaan rahmat dan perubahan garis nasib, akan mampu pergi dari kehidupan yang (oleh banyak orang) dinilai sebagai dunia gelap.
Saya melihat Ramadhan justru sebagai pintu bagi kita, umat Islam, untuk menumbuhkan rasa cinta bahkan iba untuk mereka. Dengan semangat kasih sayang sebagai sesama umat di dunia, orang-orang yang "gelap" ini, harus ditemani dan dibimbing, dengan cara dan bahasa yang mereka paham, untuk keluar. Minimal sejenak berhenti. Dan cara itu bukan pentungan, razia apalagi kobaran api di rumah mereka. Tindakan-tindakan itu akan memunculkan rejected atau penolakan. Tidak hanya dari orang yang akan "diluruskan", tapi juga orang-orang lain yang tidak setuju dengan cara itu. Apakah itu yang kita inginkan?
Seorang kawan mengingatkan perlunya kita berlomba-lomba dalam kebajikan. Terutama di bulan-bulan baik. Ramadhan adalah salah satunya. Saya mungkin bodoh atau dungu dalam beragama. Tapi, saling bakar dan seret seperti yang terjadi di Riau dan Lamongan itu menurut saya bukan kebajikan. Apa bedanya dengan tindakan kekerasan lain yang juga mengatasnamakan "kebajikan" untuk sekelompok tertentu, namun menyusahkan untuk sekelompok lain?
Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga Ramadhan menjadi rahmat bagi semua,..
*link berita metrotv:http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2009/08/21/88732/Kompleks.Lokalisasi.Sepakat.di.Pelalawan.Dibakar.Massa
Ada dua kepentingan. Yang satu butuh uang, uang, dan uang tanpa peduli halal atau haram. Satunya lagi butuh menegakkan syariat, itu haram, haram, dan haram - sekalipun eksekutornya mgkn juga gak peduli halal atau haram. Ada solusi titik temunya............
BalasHapusLalu, apakah solusi itu harus mengabaikan cara yang lebih beradab?
BalasHapus