Basyirun Adhim
Sebuah potensi yang besar namun belum termanfaatkan secara benar manakala kita melihat temuan data berikut, di Jakarta (19.350 santri), Jawa Barat (620.712 santri), Jawa Tengah (442.862) dan Jawa Timur, (1.169.256). Ya. Ternyata jumlah santri di Jawa Timur menduduki peringkat pertama alias terbanyak se-Indonesia. Mereka tersebar di tiga ribu lima ratus delapan puluh dua pesantren. Para santri ini kebanyakan berusia remaja. Mereka adalah kaum muda potensial yang kenyang ayat-ayat motivasi dari kitab suci, dan menghafal dogma tentang amal berpahala serta imbalan syurga. Dari segi jumlah, mereka ini adalah kader militan sekaligus “carrier” yang bisa menyebarkan virus perubahan positif kepada komunitasnya. Sungguh sebuah potensi yang layak digali. Karena mereka ini akan mewarisi keberlangsungan perjuangan ibu Pertiwi. Mari kita bangunkan mereka dengan semangat pekik revolusi: “Wake up, Bro!”
Sejarah perjalanan panjang pesantren setidaknya telah mengantarkan lembaga pendidikan ini pada dua peran besar, yaitu peran sebagai “lembaga pendidikan agama” dan peran sebagai lembaga sosial kemasyarakatan (Amin Haidari : 2005)
Bila ditarik ke era revolusi kemerdekaan, rekam jejak peran pesantren sungguh luar biasa. Salah satunya adalah sebagai wadah penggodokan ideologi patriotik para pejuang dalam mempertahankan eksistensi republik. Laskar Hizbullah merupakan wadah santri dalam jihad melawan penjajah. Panglima TNI Jendral Sudirman juga pernah berguru di pesantren.
Insitusi pendidikan tertua di negeri ini juga turut andil dalam mendukung berbagai front pertempuran melawan penjajah. The Battle of Surabaya 10 November 1945, menyuguhkan kisah heroik kaum santri yang datang bergelombang dari Gresik, Lamongan, Jombang, Lumajang, Mojokerto, Pasuruan, dan daerah basis santri lainnya dalam rangka mempertahankan Surabaya dari gempuran Sekutu Inggris-Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya hingga kini, pesantren tetap eksis bertahan di tengah kepungan lembaga pendidikan formal (seperti sekolah) yang lebih diakui keberadaannya oleh masyarakat dan fasilitasnya dipermudah pemerintah.
Sayangnnya, usia keberadaan pesantren yang telah mapan belum diiringi kualitas pelayanan masyarakat yang memadai dan riil dirasakan langsung. Setidaknya itu yang terpotret saat ini. Peran Pesantren seolah mengerdil dan tenggelam dalam wacana kitab agama dan pembahas fatwa saja. Sedang peran nyata social lingkungan kemasyarakatan diambil alih oleh instusi sipil seperti CSO (civil society organization), lembaga peduli, akademisi kampus, aktifis LSM, komunitas peduli, individu tertentu, dst.
Kaum santri, kenali Lingkunganmu! Banguankan Potensi dan Catat Prestasi!
Apa yang akan kita lakukan bila melihat rekaman berita seperti di URL berikut ini: ???
Indonesia Juara Perokok Remaja Terbanyak di Dunia
http://www.indonesiaindonesia.com/f/33388-indonesia-juara-perokok-remaja-terbanyak-dunia/
Selama ini pesantren belum tersentuh dalam pemberdayaan kesehatan. Pesantren terkesan kumuh, manakala ada santri yang sakit (menular), tidak menutup kemungkinan santri yang lainpun akan terjangkit penyakit tersebut.
http://www.hupelita.com/baca.php?id=225
Disinyalir terdapat 500 lebih cuplikan film porno yang menggambarkan hubungan sex orang-orang Indonesia yang dibuat dengan menggunakan Handphone dan Vidio Kamera. 90% adegan cuplikan film porno dilakukan oleh anak muda SMA dan Mahasiswa. 8%nya berasal dari rekaman prostitusi, para pejabat pemerintah (DPR dan Pegawai Negeri). 2% nya adalah cuplikan kamera pengintai yang mengambil gambar para wanita-wanita muda yang sedang bugil tanpa sadar di toilet ataupun dikamar hotel.
http://tvlab.blogspot.com/2007/04/kampanye-nasional-anak-muda-indonesia.html
Tentu kita kaum santri akan miris dengan fakta diatas. Sebagai bagian dari kaum muda dan generasi penerus bangsa, sepantasnya kita malu dengan kekonyolan perilaku itu. Namun alangkah baiknya bila kita bijak untuk refleksi ke diri untuk selajutnya mempersiapkan aksi nyata perbaiki segera. Dari pada menyalahkan pihak lain untuk dicaci maki.
Revolusi peran. Dari yang semula hanya berkutat dengan kitab dan meja diskusi, sekarang harus bergerak dinamis dengan rumusan isu strategis. Lekas mengambil peran sosial kemasyarakat yang bisa di lakukan sesuai kompetensi dan kecakapan. Menjadi seorang santri Sosio-Enterpreneur. Kaum santri yang memiliki nalar kecerdasan spiritual, kesalehan sosial, bernilai jual dalam kerja profesional serta berwawasan universal.
Di pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan, ada remaja kader Wali Lingkungan yang setiap waktu berkampanye tentang kebersihan dan demo aksi cinta lingkungan. Mereka terwadahi dalam Kelompok Santri Pecinta Alam dan Lingkungan atau KSATRIAKU. Setiap hari mereka berlomba membersihkan kompleks pesantren dan lingkungan RT tanpa tergantung jadwal piket regular. Mereka juga punya program Biogas Santri. Sebuah percontohan pemanfatan limbah manusia untuk energi alternatif/bahan bakar. Untuk aksi peduli dan pendidikan kebencanaan, ada unit kegiatan Santri Tanggap Bencana (SANTANA) yang telah melayani masyarakat dari Aceh hingga Papua.
Mereka mendedikasikan itu sebagai amalan kauniyah sebagai sesama hamba Allah yang harus saling bantu. Itu contoh kecil revolusi peran yang boleh ditiru. Intinya kerja. Jangan banyak bicara. Apalagi hanya hapal dalil agama tanpa ada niat melaksanakannya.
Penulis yang sejak sejak 1997 aktif di berbagai kegiatan community development membuktikan bahwa peran santri sangat luar biasa jika dikelola dengan seksama. Di Aceh selama kurun 2005-2007, penulis banyak terlibat kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mengangkat peran santri. A.l kampanye pencegahan dan penghapusan pekerja anak (IPEC-WFCL/International Program on the Elemination of Childlabor-Worst Form Child Labour) bersama UN-ILO. Segitiga dukungan Thaliban (santri), institusi Dayah (pesantren) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang menjadi vocal point, sangat membantu suksesnya program tersebut. Keberhasilan yang sama melalui peran mereka juga penulis rasakan ketika menggiatkan program internet masuk gampong dengan fasilitas Pre-Wimax. Sebuah proyek ujicoba bersama Yayasan SPMAA, Yayasan Air Putih dan Intel Corporation.
Dengan peran nyata ini, stigma buruk yang selama ini lekat dengan ‘penampakan’ santri akan terkikis dengan sendirinya. Penulis sendiri beberapa kali mendengar sindiran, “santri tumo sarungan”, “santri nihil prestasi” dan julukan tak enak lainnya.
Revolusi Informasi. Remaja dan kaum muda menjadi bidikan pangsa pasar potensial para penjaja ideology, penyebar informasi dan juga produsen consumers good. Di sinilah informasi menggerojok telinga, mata dan pikiran remaja secara terus-menerus lewat berbagai media. Terutama ajakan melalui iklan. Kalau tidak jeli menyerap informasi, maka remaja dapat tersesat. Contoh sederhana tentang isu kesehatan reproduksi. Kalau tidak hati-hati mengolah-menyampaikan dan menangkap pesannya, kaum muda seolah digiring untuk memasuki wilayah bebas norma bernama ZINA.
Maka para remaja khususnya santri harus revolusi. Imbangi informasi. Jangan hanya puas menerima, membaca, dan mendengar dari buku teks saja. Buatlah informasi pembanding yang setara. Tulislah informasi penyeimbang. Cerahkan benak masyarakat dengan informasi yang kita buat. Tebarkan jejaring informasi di antara puhak peduli.
Ayat-ayat kitab suci yang menukil isu kesehatan, lingkungan, hidup hemat, larangan konsumtif berlebihan dan ajakan kebersihan sangatlah banyak. Pakailah itu sebagai bahan penahan iklan dagangan yang kadang keterlaluan menyesatkan.
Santri SPMAA terlibat dalam aksi Environment Parliament Watch (EPW). Sebuah aksi pemantauan dan advokasi pengawalan siapa wakil-wakil rakyat di parlemen yang betul-betul peduli lingkungan dan kesehatan. Ini adalah contoh santri bisa melakukan revolusi informasi.
Revolusi informasi juga dapat diejawentah melalui tafsir AlQuran yang relevan dengan dinamika jaman. Selanjutnya tafsir itu diamalkan melalui kegiatan yang bermanfaat nyata untuk umat. Persoalan gap kemiskinan, sistem pendidikan, fatsun politik, madzhab ekonomi, isu lingkungan semuanya pararel dengan misi suci para santri. Tinggal bagaimana upaya connect the unconnect dan melibatkan berbagai potensi yang ada. Itu keterampilan dasar yang belum dimiliki santri saat ini.
Revolusi Waktu. Bila selama ini pola belajar di pesantren harus lama dan menamatkan tumpukan kitab berjenjang-jenjang, maka pemahaman itu harus diubah. Yang benar dan efektif adalah, sekali menerima materi dari kitab suci, amalkan segera. Jangan ditunda sedetikpun. Terima materi langsung dipraktikkan. Satu teori satu praktik perbuatan. Satu dalil satu pekerjaan riil. Mendapat satu ayat harus berwujud satu kerja yang bermanfaat untuk umat. Begitu seterusnya.
Dengan pola belajar seperti ini, maka santri akan menjadi manusia pembelajar yang produktif. Bukan sekadar santri yang hapal dalil aqli dan naqli tapi nihil dari segi pengamalannya. Bukan orang BUTA (Banyak Ucap Tanpa Amal). Dengan pola belajar ‘satu dalil satu pekerjaan riil”, waktu belajar di pesantren bisa dihemat. Selebihnya untuk pelayanan kepada masyarakat.
Kita bisa belajar dari kisah KH. Ahmad Dahlan ketika mengajarkan surat Al Maaun kepada santrinya. Surat Al Quran itu menerangkan pesan bahwa seseorang bohong dengan pengakuan beragamanya jika acuh dan tak mau kampanye peduli nasih anak yatim. Surat/ayat ini terus diajarkan kepada santri meski secara teks mereka sudah hafal.
Suatu saat ada santri yang berani menanyakan tentang hal itu. Lalu KH. Ahmad Dahlan bermaksud menguji mereka. Beliau mengajak para santri jalan-jalan. Saat bersua seorang anak yatim, para santri diam berlalu begitu saja. Mereka abai terhadap keadaan si yatim. Padahal kalau sudah mengerti terjemahan konstektual dari surat/ayat Al Quran yang selalu diajarkan sang Kyai tadi, para santri itu bisa menghibahkan bekal makanan yang dibawanya untuk sedikit mengurangi beban hidup si yatim. Setelah dijelaskan, para santri mengerti kenapa KH. Ahmad Dahlan terus saja mengajarkan surat Al Quran itu kepada para santri.
Revolusi paradigma. Penting untuk menghindari pola pikir santri yang berdiri di menara gading, yang tak tersentuh dan tak menyentuh bumi (baca:kebutuhan umat). Karena selain akan menghadapi murka Allah / kaburo maqtan indallaah an taquuluuna ma laa taf'aluun, juga akan menghadapi stigma masyarakat bahwa menjadi santri itu "tidak produktif".
Otokritik bagi para pengelola pesantren untuk berani mengubah dua paradigma pendidikan pesantren : 1) kelompok Salaf yang memprioritaskan pada ritual dan kajian kitab/tekstual. Sehingga kurang hemat waktu karena butuh masa belajar relatif lama tinggal di pesantren. Keberpihakan riil terhadap isu-isu aktual sosial kemasyarakatan juga lemah. 2) Sementara kelompok modern (Kholaf) merasa sudah modern karena memberikan skill tambahan yang berorientasi ekonomi kewirausahaan. Namun yang luput disadari dari sini adalah lahirnya keluaran alumni yang bermadzhab ”binatang ekonomi”, melupakan ciri khas santri yang lebih mengedepankan kebersamaan. Sehingga yang dihasilkan adalah (lagi-lagi) skilled person yang individualis nan jauh dari kepekaan sosial.
Menarik bila mengamati apa yang ada di pesantren SPMAA. Mereka membangun pondasi kejiwaan santri melalui model pesantren yang mendekatkan santri pada realitas kebutuhan ummat. Yakni dengan cara membangun suatu komunitas kaum papa dalam satu kompleks pendidikan.
Dalam kompleks ini tinggal para penyandang masalah sosial dari usia baliat hingga lanjut usia. Ada anak jalanan, lansia telantar, sexual child abuse, perempuan korban traffickking, suami korban tindak kekerasan, ex nara pidana, bekas pecandu narkoba, anak autis, dst. Sehingga santri benar-benar live in bersentuhan langsung dengan apa yang akan mereka hadapi dan bagaimana seharusnya mereka bersikap. Monitoring bisa dilihat langsung dilakukan atas respon dan prilaku santri bagaimana mereka mengejawantahkan materi ajar yang diterima dengan lingkungan sekitar.
Sebagai usulan dari tulisan ini, kita berharap para pihak yang selama ini concern terhadap pergerakan kaum muda Indonesia supaya melibatkan peran aktif para santri. Sungguh potensi pesantren tidak kalah bagusnya bila dikelola dan di explore secara memadai. Kaum santri lebih fanatik karena mereka menyandarkan (setidaknya dalam teori) pikiran, ucapan dan tindakannya pada teks-teks dogma yang berlaku kontemporer.
Akhirnya seruan kita bersama adalah: WAKE UP BRO!! Saatnya Revolusi Kaum Santri.
He"em............. ayO baNggun-BangUn.......!!!!!
BalasHapus