03 Juli 2009

Luthfi Assyaukanie coba Menjaga Sisi Humanisasi

Iman D. Nugroho

Bagi banyak orang, "pekerjaan"-kalau memang bisa disebut sebagai pekerjaan- yang dilakukan Luthfi Assyaukanie memang tergolong "nggak banget". Bagaimana tidak, laki-laki kelahiran 27 Agustus 1967 ini memilih untuk “bekerja” sebagai penjaga kemanusiaan dalam terminologi agama Islam. Tidak hanya sulit karena harus berhadapan dengan berbagai sudut pandang yang beragam, tapi sekaligus menciptakan ketidaksukaan kelompok yang tidak sepaham. “Memang pernah ada ancaman, tapi itu dulu. Setelah tahun 2005 tidak ada lagi ancaman yang serius,” katanya.


Kemanusiaan atau humanisme memang tidak pernah habis dibicarakan. Ilmu yang memiliki arti gerakan untuk membangkitkan kembali ilmu-ilmu kemanusiaan dan hal lain yang berhubungan dengan manusia itu selalu muncul dalam berbagai persoalan. Dalam dunia global, kemanusiaan selalu menjadi bagian terdasar. Pelanggaran terhadap kemanusiaan, bisa memunculkan reaksi dari berbagai kelompok. Di Indonesia, hal tentang kemanusiaan juga tidak pernah surut dibicarakan. Dalam ranah kemanusiaan yang berhubungan dengan agama Islam inilah seorang Luthfi Assyaukanie berada.

“Kalau ada anggapan agama Islam tidak humanis, itu justru keliru. Karena kalau kita kaji dalam kitab umat Islam, al Quran, banyak sekali pendekatan kemanusiaan,” kata Luthfi pada The Jakarta Post. Bahkan, dalam catatan Direktur Freedom Institute ini gerakan kemanusiaan dalam Islam pun dimulai jauh sebelum gerakan kemanudiaan barat muncul. Yakni ketika seorang filsuf besar Islam bernama Ibn Nadim menerbitkan al Fihrist pada pertengahan abad ke sepuluh. Dan berbagai karya lain dari ilmuwan-ilmuwan berbasis keislaman yang juga memuliakan manusia.

Sayang, dalam perkembangannya justru seringkali pendekatan kemanusiaan dalam Islam itu dirusak oleh umat Islam sendiri. Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) bersama Ulil Abshar Abdalla ini mengingatkan protes kelompok Organisasion of Islamic Conference atau OKI pada Piagam Hak Asasi Manusia (HAM) tentang pindah agama. “OKI mengatakan pasal kebebasan beragama itu tidak seiring dengan al Quran, padahal dalam al Quran jelas mengatur tidak ada paksaan dalam beragama,” katanya.

Kedekatan dosen senior di Universitas Paramadina, Jakarta ini dengan dunia analisa Islam berasal dari background keislaman di keluarga. “Keluarga besar saya adalah keluarga santri. Kakek saya seorang kiai. Kami dididik secara religius dan cukup konservatif,” kenangnya. Kemampuan berislam ayah tiga anak ini semakin terasah ketika dirinya masuk ke Pesantren Attaqwa, Bekasi. Apalagi ketika melanjutkan pendidikannya di University of Jordan, Yordania. Hingga berlanjut ke jenjang lebih tinggi di jurusan Philosophy, International Islamic University, Malaysia dan University of Melbourne, Australia untuk mendalami Political Islam.

Pengetahuan yang dimiliki dan pandangan-pandangan pria berkacamata ini mendorong dirinya untuk mendirikan Jaringan Islam Liberal pada tahun 2001. Bersama intelektual muda Islam lain, seperti Ulil Abshar Abdalla. Melalui JIL, Luthfi dan kawan-kawannya menyebarluaskan keislaman yang lebih memiliki pendekatan manusiawi. Para aktivis JIL meyakini, dialog yang bebas dari tekanan konservatisme akan membuka pikiran dan gerakan Islam yang sehat. Dan pada akhirnya menciptakan struktur sosial yang adil dan manusiawi. Jauh dari image Islam yang selama ini dikenal.

Pandangan “baru” dan jauh menyimpang dari muslim kebanyakan yang masih konservatif itu mendapat dukungan penuh dari pihak keluarga. Sang ayah, Muhali dan ibunda Hamidah merupakan dua orang yang cukup toleran. Di mata Luthfi, sang ibu pun tetap mempercayai dirinya ketimbang orang lain. “Orang lain yang menyebarluaskan isu tidak benar. Mereka selalu mendukung saya, dan tidak pernah memusuhi apalagi mengkafirkan. Hubungan kami sangat baik,” katanya. Dukungan yang sama juga didapatkan dari istri Titi Sukriyah (35) dan anak-anaknya, Gabriel Shaukan (13), Melika Bilqis (11) dan Amadea Ayunina (5).


Hukum Qisas, atau hukuman setimpal, sering dianggap sebagai hal yang tidak memanusiakan dalam Islam. Bagi Luthfi, itu cara pandang yang keliru. Karena dalam qisas menyaratkan adanya sisi legal yang disepakati bersama. Harus ada upaya membangun argumen dengan perdebatan tentang hal itu. Bila disepakati akan ditetapkan menjadi hukum positif di sebuah negara. “Kalau memang tidak disepakati, ya tidak ditetapkan. Di negara yang menetapkan hukum Qisas sendiri ada banyak aliran,”kata pengarang buku Islam Benar versus Islam Salah (Right Islam versus Wrong Islam) ini.

Dalam perkembangan politik belakangan, Islam kembali menjadi bahan pembicaraan, ketika ada partai politik yang mengaitkan kebiasaan berjilbab istri calon presiden dengan sisi religius mereka. Bahkan, ada juga mengusung isu mengganti sistem parlementer dengan sistem kekhilafahan. Bagi Luthfi, hal itu seperti kembali seperti masa-masa lalu, saat Indonesia belum tegas sistem pemerintahannya. “Hal itu erat hubungannya dengan pencarian massa di tingkat grassroad yang masih saja "membeli" isu-isu seperti ini. Termasuk isu syariat Islam, yang sudah "selesai" ditingkat pusat,” jelasnya.

Luthfi menyadari, apa yang dilakukan adalah bagian dari perjalanan panjang umat Islam di Indonesia untuk benar-benar memahami esensi dari keislaman. Juga untuk tidak terjebak dalam politisasi simbol-simbol keislaman semata. “Jangan sampai sisi humanis Islam hilang karena hal-hal semacam itu,” katanya. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar