Iman D. Nugroho
…Dan dari semua itu adikku
Jangan lemah walau ayah tidak ada
Jadikan semua ini awal dari perjalanan hidupmu
Untuk menjadi lelaki sejati dan pemberani
Paragraf terakhir puisi berjudul Rindu Adik Pada Ayah yang dibuat pada 7 Desember 2005 itu, menutup dengan manis performa Fitri Nganthi Wani, Selasa (16/06) malam. Anak perempuan seniman asal Solo Widji Thukul itu membuat pengunjung terpesona. Tak sedikit dari mereka yang meneteskan air mata karena terharu. Termasuk Suciwati, istri aktivis HAM Alm. Munir, yang hadir pada malam peluncuran buku puisi karya Fitri Nganthi Wani yang diberi judul Selepas Bapakku Hilang itu.
Taman Ismail Marzuki Jakarta Selasa malam, adalah malam yang tidak terlupakan bagi Wani, panggilan akrab Fitri Nganthi Wani. Tidak terbayangkan bagi gadis kelahiran Solo Jawa tengah 6 Mei 1989 ini, acara peluncuran bukunya bisa sedemikian meriah. Tak kurang Iwan Fals dan Oppie Andaresta, menunjukkan kebolehannya dalam acara itu. Iwan Fals bahkan menyanyikan lagi baru yang syairnya dikutip dari salah satu puisi Wani. “Saya tidak menyangka bisa seperti itu,” katanya.
Wani dan puisi memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Terutama dengan sejarah hidupnya beserta keluarga yang sangat kental dengan dunia kesastrawanan. Widji Thukul, sang ayah adalah seorang seniman yang hingga saat ini masih hilang. Kabar terakhir, Thukul dinyatakan sebagai buronan oleh Pemerintah di bawah Mantan Presiden Soeharto. Meski demikian, semangat berpuisi Thukul yang juga dikenal dengan penggalan kalimat, “Hanya satu kata, lawan!” itu, tetap melekat pada Wani. “Saya ingat betul, bapak sangat suka kalau saya menulis,” kenang Wani.
Ketika Thukul hilang, Wani masih berumur 9 tahun. Gadis itu tinggal bersama Diyah Sujirah alias Sipon untuk membesarkan adiknya, Fajar Merah. Meski hanya sembilan tahun tinggal bersama sang ayah, Wani masih bisa dengan jelas mengingat sosok ayahnya. Terutama pada masa-masa terakhir ketika Thukul sudah tergabung dalam Jaringan Kesenian Rakyat atau Jaker dan selalu dicari-cari polisi dan tentara.
“Saya ingat, bapak mengajari saya untuk teriak keras kalau ada polisi datang, biar polisinya dikira maling, haha,” katanya. Suatu hari ditahun 1996, Wani kecil pernah menyaksikan rumah mereka di Solo, diobrak-abrik oleh petugas keamanan untuk mencari Widji Thukul. Aparat juga menyita surat dan buku-buku milik Thukul. Kenangan itu masih tertanam hingga kini.
Ketika Wani sudah bisa menulis dan corat-coret gambar sederhana pada umur 6 tahun, Thukul dan Sipon istrinya menyediakan berbagai kebutuhan seperdi kertas gambar dan buku-buku. Kebetulan, saat itu Thukul memiliki sanggar kesenian bernama Sanggar Suka Banjir. Salah satu gambar gadis yang kini sudah duduk di semester dua Universitas Sanata Dharma Yogjakarta ini dimuat sebagai cover bukunya. Puisi-pusi sederhana yang dihasilkan Wani pun dengan telaten dikumpulkan oleh sang ibu, Sipon. “Karya puisi saya berserakan di mana-mana, tapi ibu yang mengumpulkannya,” kenang Wani.
Peran Sipon memang menjadi kunci bagi keluarga Widji Thukul. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit di Kawasan Sorogenen, Solo Jawa Tengah itu harus menjadi ibu dan ayah di saat bersamaan. Bagi Wani dan Fajar Merah, Sipon itu benar-benar Wonder Woman di keluarganya. “Pokoknya ibu adalah Wonder Woman, benar-benar my hero deh..” kata Wani. Terutama dalam persoalan puisi. Sipon-lah yang menjadi “organizer” dari lembaran-lembaran berjumlah puluhan milik Wani. “Apa jadinya kalau tanpa ibu,” kenangnya.
Hingga kemudian Wani mendapatkan hadiah agenda dari Richard Curtis, warga Australia yang juga sahabat Widji Thukul. Sejak saat itu puisi-puisi milik Wani tidak lagi berserakan. Dalam kata pengantar di buku Selepas Bapakku Hilang, Richard mengatakan, menulis puisi bagi Wani sekaligus sebagai salah satu upaya untuk keluar dari trauma yang dirasakan pada masa-masa Thukul masih menjadi buronan. “Wani mengalami trauma berat dalam jangka waktu yang panjang akibat dari kekerasan dan intimidasi yang tertuju pada keluarganya,” tulis Richard Curtis.
Untungnya, Wani sangat menyukai aktivitasnya itu. Hingga pada tahun 2002 di Jakarta, Wani diundang untuk membacakan sebuah puisi dalam acara penganugerakan Yap Thiam Hien Award. Saat itu, Widji Thukul menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award. Dalam kesempatan itu, Wani membawa sebuah puisi berjudul Untukmu, Bapak dan Orde Baru. “Salah siapa: Bapakku atau Orde Baru? Bapakmu membela rakyat tertindas. Bapakku membela hak buruh dan rakyat. Termasuk kami, kami golongan rendah. Sedangkan Orde Baru. Apa yang dilakukannya? Memeras otak rakyat. Menindas hak rakyat. Merampas tanah rakyat. Adilkah ini?” teriak lantang Wani ketika itu.
Nama Wani sebagai seorang sastrawan muda pun mulai berkibar sejak itu. Undangan membaca puisi datang silih berganti. Mulai tahun 2003 di Hari Bumi Salatiga, 2004 pada acara IKOHI, hingga pada 2005 menjadi juara lomba menulis Gramedia. Di televisi, Wani muncul di Metro TV pada acara Kick Andy dan di Trans TV. Di luar negeri, khususnya di Australia, puisi-puisi Wani digunakan sebagai kurikulim bahasa Indonesia di Regional Univercities Indonesian Language Initiative (RUILI). “Semua itu benar-benar di luar dugaanku,” kata Wani merendah. Dan puncak dari prestasi Wani itu adalah dibukukannya puisi karya Wani oleh Universitas Sanata Dharma Yogjakarta.
Namun, dibalik semua prestasi itu, duka masih saja dirasakan Wani dan keluarganya, ketika dirinya diajak bicara soal ayahnya, Widji Thukul. Sang ibu Sipon misalnya, masih tidak memahami mengapa kebencian pemerintah Orde Baru begitu rupa kepada suaminya. “Bahkan, sampai putriku (Wani) sudah siap dinikahi, ayahnya tetap tidak pulang,” kata Sipon. “Saya masih kangen sama bapak, tapi saya rasa bapak sudah tidak ada (meninggal),” katanya sambil berkaca-kaca.
Meski sedih, Wani bertekad tetap ada pada “jalur”nya, sebagai sastrawan muda. Wani menginginkan teman-teman seusianya, yang mungkin bernasib buruk dengan tidak memiliki orang tua, tetap tegar seperti dirinya. “Tidak perlu berkecil hati, dan bisa tetap melawan keadaan itu dengan hal postif, seperti membuat puisi,” kata Wani. Semangat perlawanan yang sama dalam puisi berjudul “Peringatan” yang ditulis Widji Thukul pada tahun 1986.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar