22 Juni 2009

Jusuf Kalla Menilai Pencabutan SIUPP Pers Adalah Hal Biasa

Iman D. Nugroho

Calon Presiden Yusuf Kalla mengatakan pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) oleh pemerintah, seperti yang diatur dalam UU Pemilu adalah hal yang biasa. Karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semua memiliki sanksi. "Itu masih lumayan, pers cuma dicabut SIUPP-nya, kita harus terima. Itu suatu konsekuensi. Sekali lagi, semua ada sanksinya," kata Yusuf Kalla dalam dialog Komitmen Calon Presiden Menjamin Kebebasan Pers yang digelar Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di Jakarta Media Center, Jakarta, Senin (22/06/09) ini.


Statemen pasangan Calon Wakil Presiden Jendral Purnawirawan Wiranto dana Pemilu Presiden 2009 itu menjawab pertanyaan Abdullah Alamudi dari Dewan Pers yang mengatakan dalam UU Pemilu seperti yang termuat dalam Pasal 99 ayat F UU no.10 tahun 2008 yang berbunyi sanksi bagi media yang melanggar iklan kampanye adalah pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Pasal-pasal itu menurut Abdullah akan membahayakan kebebasan pers di Indonesia.

Sebelumnya, Jusuf Kalla menjelaskan, hal kebebasan pers di Indonesia juga sempat ditanyakan pada dirinya lima tahun lalu, saat dirinya mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2004. Bagi JK setelah lima tahun berlalu, saat ini persoalan kebebasan pers sudah lebih baik karena saat ini pers sudah diatur dalam konstitusi tersendiri. Seperti adanya UU no.40 tahun 1999 tentang pers. Meski demikian JK menekankan perlunya pers yang bertanggungjawab yang definisinya adalah tidak memperburuk kondisi di Indonesia. "Kalau ada demonstrasu yang merusak, seperti yang terjadi di Papua, jangan dieksploitasi habis-habisan karena akan menjadi virus negatif bagi daerah lain," katanya.

Dalam kenyataannya, meski pers sudah memiliki UU sendiri, namun masih ada UU lain yang justru menghalangi kebebasan pers. Dalam catatan tahunan AJI Indonesia, ancaman kebebasan pers itu adalah kekerasan peradilan dan regulasi hukum. Sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009 misalnya, terdapat 44 kasus kekerasan. Mulai pemukulan (19 kali), ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat kerja jurnalistik (7 kali). Disamping itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan. Kekerasan paling sering terjadi di Jakarta (6 kali), Sulawesi Selatan (5 kal Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur (masing-masing terjadi 4 kali), Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua (meliputi Irian Jaya Tengah) (masing-masing terjadi 3 kali). Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali).

Di samping itu terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh (masing-masing 3 kali), oleh mahasiswa, pengusaha dan preman (masing-masing 2 kali). Sementara itu, tindakan hukum juga menjadi hambatan. Tindakan hukum tersebut meliputi pemidanaan dan gugatan perdata. Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus hukum yang sedang diadili di berbagai tingkat peradilan. Semua kasus hukum tersebut merupakan kasus hukum pencemaran nama baik (defamation law), baik itu pidana (criminal defamation) maupun perdata (civil defamation).

Karena kondisi itulah, Ketua AJI Indonesia Nezar Patria yang juga hadir dalam dialog itu meminta JK menjelaskan komitmen 100 hari pertama, bila dirinya terpilih menjadi Presiden RI. "Apakah sebagai JK akan mendeklarasikan atau perintahkan Kejagung untuk tidak memakai pencemaran nama baik untuk tidak mempersoalankan pers?" tanya Nezar. Sementara Ketua IJTI Imam Wahyudi meminta JK fokus pada rencana disahkannya UU Rahasia Negara yang akan kembali memasung kebebasan pers. Sayangnya, lagi-lagi JK lebih memilih untuk tidak memihak kepada pers. "Kalau saya melakukan itu (memerintahkan Kejaksaan Agung), berarti saya mengintervensi hukum, soal UU Rahasia Negara, saya pikir negara pasti tidak boleh telanjang, sama sekali tidak ada maksud menghalangi," kata JK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar