Iman D. Nugroho
Berdiri di sini sepi sekali
Sendirian menantang badai sambil memicingkan mata, silau melihat bendera yang lusuh
Lenganku terluka
Duri tajam di bunga mawar yang aku berikan kepadamu sore tadi, masih terasa perih
Saat keringatku mengaliri luka itu, kudengar detak jantungku berdetak kencang
Tak usah bingung
Semua tentangmu selalu membuat jantungku berdetak keras
Tak tahu mengapa,..
Tepat di bawah telapak kakiku juga ada luka
Dugaanku, kerikil di atas aspal di depan kampus biru itu penyebabnya
Ingatkah?
Saat itu aku mengejarmu
Kau yang menangis berusaha meninggalkanku
Sejuta kata yang aku siramkan padamu tak ada guna
Kau terus berlari
Aku memilih mengejarmu
Begitu sering kelopak mataku berkedip tak sengaja
Katanya, ada seseorang berkata-kata tentangku
Aku harap itu kau
Kau,..
Entah, aku yakin kau sedang membicarakanku
Berbicara tak harus berkata-kata
Rasanya, hatimu selalu menyebut namaku
Apa tak kau rasakan hal yang sama?
Berdiri di sini terbungkus dingin
Hatiku membeku tanpa alasan yang aku tahu
Tiba-tiba saja hatiku membatu
Batu yang terpahat berupa-rupa
Rupa suka, rupa duka, rupa nirwana dan angkara
Oops, juga rupa asmara
Awan tiba-tiba memeluk tanpa bicara
Mengurung, menyesakkan kesadaran religiku
Dia pasti tahu, meski tak sering aku terpaku dalam sujudku, namun rindu padanya tak pernah terhapus sekejap pun
Aku juga tahu kau tak peduli
Kau tak lagi percaya, ketika aku mengajakku meniti tangga menuju langit
Barangkali karena kau sering terbang ke sana
Begitu seringnya aroma langit terbawa olehmu, walau kau terus mengaku sedang berdosa
Kau dan langit seperti dua sisi yang berpekat erat
Seperti pahala dan dosa
Seperti setan, manusia dan malaikat-Nya
Sepi ini membuatku tetap berdiri
Menatap ibumu yang menantiku
"Kau tak lagi peduli," katamu
Haruskah luka ini aku jadikan bukti?
Mungkin ada baiknya aku biarkan menganga, untuk membuatku selalu bisa menikmati rasa perihnya.
Berdiri di sini tak lagi sepi
Ada luka yang selalu menemani
JAKARTA
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar