Iman D. Nugroho
Persidangan pertama kasus gratifikasi yang melibatkan tiga pejabat Pemerintah Kota Surabaya, Sekretaris Kota Sukamto Hadi, Asisten II Pemerintah Kota Muklas Udin, Kepala Bagian Pengelola Keuangan Purwito digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (23/3) ini. Dalam persidangan itu terungkap Walikota Surabaya, Bambang Dwi Hartono menyetujui secara lisan pemberian uang Rp.720 juta yang diduga uang suap kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya.
"Di rumah dinasnya, Walikota Bambang DH memberikan persetujuan secara lisan atas usulan para terdakwa dan menyetujui dana sebesar Rp.250 juta untuk 45 anggota dewan," kata Jaksa Penuntut Umum Djatmiko saat membacakan dakwaan dalam persidangan. Tidak hanya itu, Bambang DH juga menandatangani penyerahan uang Rp. 720 juta kepada DPRD Surabaya. Diduga, itu adalah uang suap untuk memuluskan proyek pembangunan Surabaya Sport Centre (SSC) dan Bus Rapid Transit.
Kasus gratifikasi itu berawal dari statement Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf yang mengingatkan Sekota Surabaya Sukamto Hadi tentang uang jasa pungutan pajak daerah. Menurut Rouf, uang itu adalah "hak" anggota DPRD Surabaya. Melalui Asisten II Surabaya Muklas Udin, diserahkan yang sebanyak Rp.470 juta.Beberapa minggu kemudian, Musyafak kembali meminta uang jasa pungutan. Kembali, Pemerintah Kota Surabaya memberikan sejumlah uang senilai Rp.250 juta.
Uang itu kemudian dibagikan kepada seluruh anggota DPRD Surabaya dengan perincian Rp.10 juta untuk tiga pimpinan DPRD Surabaya, Rp. 7,5 juta untuk 17 anggota panitia anggaran, Rp. 5 juta untuk 11 anggota panitian musyawarah dan Rp.2,5 juta untuk 14 anggota dewan yang lain.
Apa yang dilakukan pejabat pemkot melanggar UU No. 18 tahun 1997 tentang pajak dan retribusi daerah, Permendagri No.35 tahun 2005 tentang pedoman alokasi pemungutan pajak daerah, dan Perwali Surabaya No.7 tahun 2006 tentang pengaturan dan pembagian pemungutan pajak daerah. "Ketiga terdakwa melanggar UU No.20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dengan pidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta," kata Djatmiko.
Sayangnya, meski menyebut nama Walikota Bambang D.H, namun dalam persidangan kali ini Bambang DH tidak ikut "terjerat" sebagai terdakwa. Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum Djatmiko mengatakan bahwa sejauh ini Walikota Bambang DH hanya berstatus sebagai saksi. “Saudara Bambang DH hanya berstatus sebagai saksi," kata Djatmiko. Meski demikian berdasarkan persidangan yang berlangsung akan ada perubahan. Termasuk berubahnya saksi Bambang DH menjadi terdakwa. "Bukan tidak mungkin pertimbangan hakim akan mengubah status Bambang DH," kata Djatmiko.
Sementara itu, dari pihak terdakwa tetap meyakini apa yang dilakukan tiga terdakwa itu masih dalam koridor hukum yang diatur dalam perundangan. Termasuk pemberian uang jasa pungut kepada DPRD Surabaya. "Soal suap dan tidak suap itu tersepsi jaksa saja, aturannya jelas soal ini," kata Eddy Jumindra, penasehat hukum terdakwa usai persidangan. Hingga saat ini ketiga terdakwa tidak ditahan. Selain kasus di Surabaya, sebuah kasus korupsi besar juga menunggu untuk "meledak" di Jember Jawa Timur. Yakni sebuah kasus korupsi Proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) senilai Rp 85 milliar. Hingga saat ini kasus itu sedang diperiksa oleh Kejaksaan Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar