Iman D. Nugroho, Surabaya
Tak perlu bicara soal komik Jepang atau manga seperti Naruto, Crayon Shincan, Dragon Ball, Neon Genesis Evangelion hingga Pokemon. Atau mencari komik Amerika seperti Superman, Fantastic Four, Green Lantern bahkan Spider Man. Karena, Indonesia punya jagoan-jagoan komik sendiri. Di antaranya beradu aksi di Cergambore di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya. Secara visual dan ide cerita, apa yang tersaji tidak kalah menarik dengan komik import. Sayang, keterbatas dana dan menggunungnya idealisme sering menjadi kendala masuk ke wilayah industri.
Geliat komikus lokal kembali terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Melalui event bernama Cergambore, Festival Komik dan Seni Urban Surabaya, sejumlah 19 komikus dan seniman urban dari berbagai tempat di Indonesia memamerkan karya-karyanya.Sebut saja, Beng Rahardian, Azizah Noer, Tita Larasati, kelompok Bajingan Komik, kelompok Bunuh Diri, kelompok Imaji Sungsang, kelompok Karya Anak Bangsa dan kelompok Komik Palsu. Ada juga kelompok Nasi Putih, kelompok Neo Paradigm, kelompok Outline Reborn, kelompok Syndicate, kelompok Virgin is Suck, kelompok Wind Ryder dan kelompok Wipe. Yang tak kalah menarik, dua komikus Prancis, Silvain Moizie dan Alfi Zackyelle pun ambil bagian.
Melihat komik Indonesia di Cergambore seperti menembus mesin waktu, masuk ke era 70-80an ketika komik Indonesia yang kala itu menjadi “raja” di negeri ini. Sebut saja Ko Ping Ho, Gundala Putra Petir dan Jaka Sembung. Tentu saja, ada perbedaan kualitas visual yang mencolok. Sebagian dari komik-komik itu juga memiliki kualitas cetak yang juga lebih bagus. Tidak hanya itu, sebagian dari komik-komik Indonesia juga memiliki souvenir bergambar tokoh komik mereka. Mulai tas, gantungan kunci hingga kalung.
Beng Rahardian, salah satu komiskus Indonesia menilai, dalam banyak hal, komik lokal Indonesia belakangan ini memiliki banyak kemajuan. Tidak hanya persoalan visual, termasuk juga pengemasan. Namun, perkembangan lain yang patut diacungi jempol adalah adanya keberanian dalam hal mengusung idealisme. “Kalau dilihat lagi, komik-komik nasional lebih berani mengusung kebebasan berkespresi gaya mereka, tidak hanya meniru komik yang lagi ngetrend,” kata Beng Rahardian pada The Post. Beng mengamati, kondisi yang berbeda terjadi beberapa saat lalu. Padahal, dalam era sebelumnya, ketika komik Jepang atau manga masuk ke Indonesia, tiba-tiba komik lokal Indonesia pun ke-manga-mangaan. Dan dari Surabayalah, komik manga di Indonesia berasal. Dua tokoh komik manga lokal Indonesia asal Surabaya itu adalah Calista Takarai dan Anzu Hazawa.
Namun perlahan-lahan hal itu mulai berubah. Originalitas komik nasional pun kembali muncul. Beng melihat hal itu berawal dari Jogjakarta. Komunitas komikus bernama Daging Tumbuh menjadi salah satu pelopor originalitas. Dan belakangan, ketika komik Benny and Mice dirilis dan mendapat respon dari pasar, hal originalitas pun kembali mendapat perhatian. Kehadiran Benny and Mice yang juga merupakan tokoh Comic Strip di Harian Kompas itu pun mengingatkan sisi originalitas yang juga “ramah baca”. “Bahwa komik itu bisa terkenal dengan tetap tampil original,” kata Beng Rahardian.
Di Surabaya, originalitas komik sempat ditandai dengan hadirnya komik Surabaya Romantis pada tahun 2008. Komik yang merupakan kumpulan komunitas film, komunitas musik indie label dan (tentu saja) komunitas komik itu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. “Kami juga sempat heran dengan respon yang luar biasa atas Surabaya Romantis itu,” kata Broky, komikus Surabaya yang juga anggota komunitas komik Outline Reborn pada The Post. Karena itulah, pada 2009 ini akan hadir Surabaya Romantis jilid-2 yang akan dilaunching pada 10 Nopember mendatang. Bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Selain Surabaya, komikus di Jember, sekitar 190 Km arah timur Surabaya, juga memiliki sejarah dalam menciptakan komik lokal yang original. Sebuah komunitas bernama Nasi Putih secara berkala menerbitkan komik dan Buletin berjudul Nasi Putih. Selain itu, komunitas yang berisi anak muda dari berbagai background pendidikan itu giat memprakarsai event-event seni di kota yang dikenal dengan sebuatan Kota Suar Suir (makanan berbahan baku tape) itu. “Kami ingin memberi ruang kepada semangat untuk berkarya tanpa mempertimbangkan apapun selain karya,” kata Gunawan, salah satu aktivis Nasi Putih pada The Post.
Tidak berhenti pada Outline dan Nasi Putih, ke-19 seniman dan komikus yang berpartisipasi dalam Cergambore ini, hampir seluruhnya pernah menelorkan karya berupa komik indie. “Komik Indie, adalah kekuatan komikus Indonesia yang masih original, namun, sekaligus menjadi kelemahan,” kata Beng Rahardian. Karena dengan berada di jalur indie, maka pesan-pesan yang disampaikan komikus kepada khalayak hanya akan bisa ditranformasikan kepada khalayak sangat terbatas. “Jadi ada baiknya, komikus tidak berhenti mengembangkan karyanya dalam wilayah indie saja, harus juga bergerak ke arah industri,” kata komikus pemrakarsa Kelas Komik Akademi Samali ini.
Kathleen Azali, pemerhati komik Surabaya memiliki persepsi berbeda. Justru pemilik Labrary, Cinematheque and CafĂ© H2O ini beranggapan komik lokal jalur indie layak untuk dipertahankan sebagai ruang idealisme bagi komikus. Kathleen lebih condong menyarankan komikus untuk meneruskan budaya lama main job dan side job. Main job yang dimaksud di sini adalah komik Indie. “Sementara side job adalah komik-komik yang justru bernapaskan industri banget, agar ada subsidi silang uang hasil komik industri yang berdimensi profit, untuk membiayai komik indie yang idealis,” kata Kathleen.
Perempuan yang akrab dipanggil Kat ini mencontohkan komik buatan Wind Ryder Studio berjudul Wind Ryder. Namun di sisi lain, Wind Ryder juga menerbitkan karya indie berjudul Komikugrafi yang dicetak black and white. Juga yang dilakukan oleh komunitas Neo Paradigm yang menerbitkan komik full colors berjudul Aquanus, Benua ke Tujuh. Tapi, komunitas yang sama juga menerbitkan komik black and white yang berjudul Defragment. “Komik hitam putih itu dibuat dengan biaya minim, cetak ulangnya bisa dilakukan dengan fotocopy, “ kata Kathleen.
Apapun bentuknya, jelas Kathleen, komik lokal Indonesia yang masih original tetap tetap harus dihargai. Selain perlu dukungan banyak pihak, komik jenis ini harus terus diberi ruang untuk hidup. Bila perlu, secara kontinyu digelar pameran khusus bagi komik-komik dalam negeri. “Saya yakin, suatu saat, komikus lokal yang lahir secara indie akan diterima layaknya band-band indie, kita tunggu saja waktunya,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar