Iman D. Nugroho
Malam sudah beranjak larut, ketika Majelis, Petugas Dinas Purbakala di Kecamatan Wringin, Kabupaten Bondowoso berjaga-jaga di situs bantu Glingseran. Di temani tiga temannya, bapak empat orang anak ini ingin menggagalkan aksi pencurian benda purbakala yang sedang marak di wilayahnya. Tiba-tiba, menyeruak sejumlah orang dengan bersenjatakan clurit (senjata tajam khas Madura-RED). Dua kelompok itu saling berhadapan. Tragedi pun terbayang di depan mata.
“Kalau saat itu mereka menyerang, kami pasti kalah, tapi sebelum itu terjadi, saya jelaskan pada mereka tentang ancaman hukuman pencurian benda purbakala, Beruntung, mereka langsung pergi, mengurungkan niat untuk mencuri,” kenang Majelis pada The Jakarta Post. Kejadian suatu malam di tahun 1982 itu masih jelas terkenang di benak Majelis. Apalagi, hal itu berlangsung dua tahun setelah dirinya diangkat menjadi pegawai tetap dinas purbakala Kabupaten Bondowoso, di bawah Dinas Purbakala Trowulan, Jawa Timur. “Setelah kejadian itu saya baru menyadari, benda purbakala haruslah dijaga, karena masih dilirik pencuri,” kata laki-laki kelahiran 7 Januari 1962 ini.
Majelis dan benda purbakala di wilayah Bondowoso dan Situbondo, memang tidak bisa dipisahkan. Laki-laki itu adalah petugas jaga paling senior, di antara 42 orang petugas jaga lain yang bertugas di kabupaten yang berjarak 200-an Km dari Surabaya itu. Sejak tahun 1978, laki-laki murah senyum ini sudah diminta untuk menjaga situs batu di Desa Glingseran, Kecamatan Wringin. Di Desa Glingseran terdapat 67 situs batu peninggalan jaman megalitik. “Pada tahun 1978, Abdussomad, petugas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bondowoso menawari saya kerja, karena lagi butuh, saya terima saja,” kenangnya.
Bagi lulusan SD ini, bekerja sebagai penjaga batu bukan pekerjaan yang sulit. Apalagi, situs batu yang menjadi “beban” tugasnya, sudah dikenalnya sejak kecil. Di tengah bersawahan itulah Majelis kecil mencari jangkrik, bermain layang-layang, atau sekedar meluangkan waktu bersama teman-temannya. Terutama situs batu Sarkofagus yang terletak 1 Km dari rumahnya. “Orang desa sini mengenal situs batu sarkofagus ini sebagai batu kendang, karena tiap malam, terutama pada malam Jumat Legi (penanggalan Jawa) entah mengapa batu-batuan itu mengeluarkan bunyi-bunyian,” katanya. Majelis pernah mendengarkan batuan itu mengeluarkan bunyian. “Seperti gamelan,” kenangnya.
Karena sisi mistik itulah, warga setempat menghormati keberadaan situs batu itu, dan mengganggapnya sebagai peninggalan dari nenek moyang. Pada masa tanam dan masa panen, warga selalu mempersembahkan sesajian di lokasi situs batu. Dengan kesan hormat itulah, Majelis bekerja sebagai pegawai honorer Dinas Purbakala. Pekerjaanya menyapu, mencabuti rumput, menyikat lumut yang ada di sekitar situs batu. “Untuk pekerjaan itu, saya mendapatkan honor, Rp.5000,-/bulan. Untungnya saya belum menikah saat itu, haha,” katanya. Pada tahun 1980, Majelis diangkat menjadi pegawai tetap, dengan gaji Rp.17,500,-/bulan.
Majelis mengaku tidak pernah “mempertimbangkan” gaji selama dia bekerja sebagai penjaga situs batu. Apalagi, dia punya kebun dan sawah yang hasilnya cukup bisa dijadikan sandaran hidup. Termasuk menyekolahkan keempat anaknya. “Tapi saya tidak pernah bosan. Seperti sudah menilai ini takdir Saya. Walau saya harus bekerja malam-malam, saya pasti melakukannya,” kata Majelis. Karena tekunan menjalani profesi itu, agaknya tertular pada anak pertamanya, Hariyadi Susanto. Anak Majelis dan Turiana yang lahir pada 1984 itu juga menjadi penjaga situs di Desa Jatisari, Bondowoso.
Menjelaskan jenis pekerjaan sebagai penjaga situs batu kepada anak, adalah salah satu hal yang sulit dilakukan. Apalagi, pekerjaan Majelis “hanya” menjaga bebatuan. “Sulit juga menjelaskan pada anak-anak saya, karena mungkin pekerjaan ini tidak biasa dilakukan orang. Tapi tetap saya jawab, saya penjaga benda purbakala. Benda purbakala itu adalah peninggalan nenek moyang,” katanya sambil tersenyum. Namun, justru penjelasan sederhana itu yang membuat anak-anaknya memahami pekerjaan sang ayah. “Mereka bangga juga, buktinya ada yang memilih untuk menjadi penjaga situs batu,..haha,” katanya.
Selama 31 tahun bekerja sebagai penjaga situs batu, Majelis merasakan naik turunnya perhatian pemerintah. dalam memberikan dana bagi kelangsungan proses perbaikan situs batu. Sejak dirinya bekerja hingga jaman pemerintah di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, pemerintah memberikan dana sebesar Rp.7000,-/bulan untuk membayar pajak tanah. Namun, bantuan itu terhenti saat krisis moneter yang bertepatan dengan naiknya Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI. “Sampai sekarang, saya dan ketiga teman honorer dinas purbakala yang ada di daerah, urunan dengan uang pribadi untuk membayar uang itu,..” kata Majelis.
Meski demikian, Majelis tetap menaruh harapan, bila suatu saat kondisi sudah normal, maka pemerintah akan kembali memperhatikan situs batu peninggalan jaman megalitikum itu. Apalagi dia mendengar rencana pembangunan museum lapangan di Bondowoso. “Kalau itu sudah terlaksana, mungkin nasib situs batu tidak akan merasa seperti sekarang ini, termasuk nasib penjaga situs batuan itu pasti lebih diperhatikan,..” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar