Iman D. Nugroho, Situbondo
Sekilas, kawasan perkebunan Kabupaten Bondowoso dan Situbondo, Jawa Timur memang tidak istimewa. Seperti perkebunan pada umumnya, kawasan di lereng pegunungan itu banyak ditanami jagung, padi, kopi dan coklat. Namun, keberadaan batu-batu besar yang tersebar di banyak tempat di wilayah ini membuatnya unik. “Batu-batu itu bukan batu biasa, itu batu-batu peninggalan jaman megalitik yang masih bisa dilihat hingga saat ini,” kata Majelis, petugas Dinas Purbakala Trowulan di Desa Glingseran, Kecamatan Wringin, Bondowoso, Minggu (22/02/09) ini.
Kabupaten Bondowoso yang selama ini terkenal dengan sebutan Kota Tape, memliki potensi tersembunyi sebagai daerah megalitik. Berdasarkan catatan Dinas Purbakala Trowulan, ada 1000-an lebih batuan jaman megalitik yang ditermukan di kabupaten yang terletak 192 Km dari Surabaya ini. Di Kecamatan Grujugan misalnya. Di wilayah ini ditemukan lebih dari 400 buah batuan berbagai bentuk. Sementara di Kecamatan Maesan dan Kecamatan Pujer, masing-masing ditemukan 140 batuan. Juga Kecamatan Wringin, Kecamatan Tlogosari dan Kecamatan Wonosari yang hingga kini menyimpan 60 lebih batuan megalitik. Situs batu terbesar ada di Kecamatan Wringin, berupa dua batu menhir setinggi 6 meter. Diperkirakan, jumlah riilnya jauh lebih banyak, lantaran tidak semua batuan yang ditemukan dilaporkan ke Dinas Purbakala.
Jaman megalitik adalah jaman yang hadir sekitar 2000 tahun sebelum Masehi. Sejarawan membagi jaman itu sebagai megalitik tua dan megalitik muda. Orang-orang yang hidup di jaman megalitik tua, lebih memfokuskan diri pada kebiasaan bercocok tanam dan berburu. Orang purba baru saja belajar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri, setelah jumlah binatang yang diburu berangsur-ansur berkurang. Dan jaman megalitik muda, ditandai dengan hadirnya kebudayaan pahat batu dan logam. Dihin Ikhtiardi, sarjana sejarah yang juga guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) menilai, dari situs-situs yang ada di Bondowoso dan Situbondo menunjukkan ciri-ciri jaman megalitik muda.
Secara geografis, kata Dihin, Bondowoso memang pas untuk dijadikan tempat pemukiman penduduk di jaman megalitik. Apalagi, secara geografis kabupaten ini diapit oleh berbagai penugungan. Mulai Gunung Ijen, Gunung Argopuro, Gunung Raung, Gunung Krincing, Gunung Keong, Gunung Saeng, Gunung Gugur, Gunung Rampe, Gunung Suket, Gunung Kalisat, Gunung Lebang dan Gunung Malung. “Kondisi geografis yang subur, dengan berbagai fasilitas mendukung pas digunakan sebagai habitat hidup,” kata Dihin pada The Post.
Analisa itu dikuatkan dengan berbagai hal yang ditemukan di Bondowoso dan sebagian Situbondo yang lengkap fungsinya. Mulai batu kenong, kubur batu, dolmen, menhir dan sarkofagus (peti mati batu). Batu kenong adalah salah satu batu yang digunakan untuk alas tonggak bangunan rumah, sementara dolmen dan menhir berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sarkofagus dan kubur batu merupakan penanda dari tempat pemakaman. “Semua itu adalah penanda bahwa di sini (Bondowoso dan Situbondo) adalah wilayah tempat orang-orang jaman megalitik berada,” katanya.
Sayangnya, meskipun situs batuan dari jaman megalitik itu sangat berharga, namun berbagai kendala membuat situs-situs itu dalam kondisi mengenaskan. Dalam pengamatan The Post di Kecamatan Wringin, Bondowoso misalnya. Dari 60-an situs batu megalitik yang terletak 15 Km dari Kota Bondowoso itu, hanya 20 situs batu saja yang dirawat dengan baik. Itupun dalam kondisi minimalis. Situs batu kendang, Sarkofagus dan dolmen yang sempat dikunjungi oleh The Post, dipenuhi dengan lumut. Lokasinya yang berada di tengah perkebunan membuat situs batu itu dipenuhi oleh dedaunan berserakan di sekitarnya.
Begitu juga dengan situs batu yang terletak di Kecamatan Grujugan, 5 Km dari Bondowoso. Meski pun secara fisik dalam kondisi yang lebih baik dari situs baru di Kecamatan Wringin, namun tetap saja tidak terawat. Tiga sarkofagus yang terletak di tengah persawahan kawasan itu, terpecah menjadi beberapa bagian. Sebuah Kubur Batu yang ada di samping rumah penduduk pun tidak lepas dari serangan lumut dan umur yang membuatnya hancur. Begitu juga dengan kumpulan situs batu yang ada di dalam lokai pabrik kayu. Bagaikan barang tidak berguna, kumpulan situs batu bersejarah itu dibiarkan tergeletak di bagian samping belakang pabrik.
Majelis, petugas Dinas Purbakala Trowulan di Desa Glingseran, Kecamatan Wringin mengungkapkan kondisi situs batu di Bondowoso dan Situbondo tidak terlepas dari pendanaan yang diberikan pemerintah. Laki-laki yang sudah bertugas sejak 1978 ini mengatakan, selama ini, pemerintah hanya memberikan dana untuk membayar pajak tanah tempat batu-batu itu berada. Di Kecamatan Wringin misalnya, dari 60 situs batu yang ada, pajak tanah yang diberikan hanya cukup untuk 20 situs batu, dengan jumlah Rp.7 ribu/situs batu. “Pendanaan itu pun sempat berhenti saat Indonesia diterpa oleh krisis moneter jaman Presiden Megawati Soekarno Putri. Selama ini, kami (petugas dinas purbakala di daerah), patungan dana pribadi untuk membayarnya,” kata Majelis.
Kondisi itu diperparah dengan hadirnya aktivitas pencurian situs batu. Biasanya, situs-situs batu berbentuk patung yang dijadikan incaran pencuri. “Aksi pencurian pernah marak pada tahun 1980-an. Saat itu petugas sampai harus berjaga-jaga hingga malam hari untuk menghindari aksi pencurian itu,” kata Majelis. Di tahun-tahun itu, juga sempat beredah isu adanya situs batu yang mengandung emas. Karenanya, masyarakat setempat pun memecahi situs batu untuk ditambang emasanya. Bisa dibayangkan, berapa banyak situs batu yang rusak karena aktivitas itu.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah jumlah petugas Dinas Purbakala yang ada di Bondowoso dan Situbondo. Di Bondowoso, hanya ada 35 petugas yang harus menjaga 1000 lebih situs batu yang tersebar di hampir seluruh Kabupaten Bondowoso. Sementara di Situbondo, hanya ada 8 petugas dinas purbakala yang menjaga 50-an situs batu. “Pernah dalam suatu malam, empat petugas harus melawan 14 pencuri, untung kami semua selamat,” kata Majelis.
Budayawan Ayu Sutarto melihat apa yang terjadi pada situs batu Bondowoso dan Situbondo tidak bisa dilepaskan dari persoalan klasik berupa tidak adanya dana. Namun, persoalan mind set tentang tidak pedulinya pemerintah pada peninggalan bersejarah, juga menjadi hambatan. “Pemerintah kabupaten setempat tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan situs batu itu karena tidak ada dana, apalagi mereka tidak ada awarenes dan memandang situs batu itu menjadi sesuatu yang penting,” kata Ayu pada The Post melalui telepon, Senin (23/02/09)
Dalam kondisi itu, kata Ayu, hal yang paling bisa dilakukan hanyalah menjadikan Bondowoso sebagai field museum atau museum terbuka. Hanya saja, field museum pun memerlukan adanya campur tangan pemerintah dan dana yang tidak sedikit. Pemerintah harus berani membeli lahan di sekitar situs batu itu, dan membangun infrastruktur di sekitarnya. Hal serupa sudah dilakukan di Mojokerto dengan situs jaman kerajaan Majapahit di daerah Trowulan, Mojokerto. Tidak berhenti di situ saja, pemerintah pun bisa memaksimalkan kegunaan museum lapangan itu dengan memperkenalkan sistem belajar di ruang kelas kepada murid-murid sekolah di Bondowoso dan Situbondo. “Tinggal bagaimana pemerintah memaksimalkan potensi yang ada,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar