Iman D. Nugroho, Surabaya
Mendung sore ini tidak begitu tebal. Tipis saja, namun warnanya masih mengabu-abu bak kabut. Sekilas, ada yang bilang masih berwarna putih. "Mendung tipis yang putih." Begitu aku penyebutnya. Hanya menggelantung di barat dan timur kota. Tak juga berarak bagai bagai karnaval. Apalagi seperti pusara badai. Tapi, di kedua tempat itulah kisah ini tertulis.
Di bawah mendung putih tipis itulah, taman kota tempatku selama dua tahun terakhir ini menghabiskan waktu. Tamannya sih sederhana saja. Ada pohon akasia tua berdaun lebat, yang tumbuh ditemani rumput hijau dengan sepihan kuning kering. Duduk di atas rumput itu, menyandarkan punggung di batang akasianya sejenak; nyaman. Bila ada rezeki, di tempat inilah aku nikmati legit durian, ayam bakar plus lalapannya, tahu goreng yang tersaji daun jati dan, sorry, sebatang rokok dalam negeri dengan cengkeh pilihan itu.
Dua tahun yang indah itu, memang indah. Setiap pagi, selalu ada pelangi di atas kepalaku. Ketujuh warnanya terang, namun terselimuti warna hijau yang juga tipis. Mejikuhibiniu kehijauan. Bila hujan datang, siang atau malam, warna-warna itu semakin tegas. "Melihatnya, bisa sembuh sakit mata hati yang selama ini aku rasakan," Apalagi ketika warna menyeret senja. Kuning keemasan yang ada di langit, memakin mengaya.
Suara adzan. Tanpa bermaksud sok religius, terdengar keras di sini. "Allahuakbar,.." Pujian kepada Tuhan itu menghunjam-hunjam. Hatiku memang tak selalu tergetar. Justru menciptakan resonansi. Resonansi yang justru tidak berhenti setelah suara adzan itu tak lagi ada. "Memang tidak setiap saat aku beribadah, tapi tak pernah lupa menyapa Sang Esa di sela-sela detakan jantungnya,.."
Siang. Saat matahari dan matahati menyinari, aku datang ke taman itu siang ini. Tetap indah. Seperti ratusan tahun tak bertemu, aku peluk akasia itu. Menyandarkan kepalaku di salah satu sisinya. Hangat. Damai. Surga. Sampai seekor semut menggigit leherku, menciptakan kemarahan. Dan meninggalkan taman indah itu. Keindahan dua tahun pun luruh karena gigitan itu. Hmmm,...
Bila tiba-tiba mendung bergulung mundur, itu karena itu napas besar penyesalanku yang belum sempat aku hembuskan...
No comments:
Post a Comment