26 Desember 2008

Gema Natal Gereja Madura Sumberpakem

Iman D. Nugroho, Jember

Adhu Yesus Alla kasokan se toron,..
Rabu e alam dunya karsa merokon,..
Enggi e antarana reng-oreng se odhi,..
Jugan kaula neka ampon e tembeli,..


Lagu pujian bertemakan kelahiran Yesus Kristus berbahasa Madura itu mengalun dalam perayaan Natal di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sumberpakem, Jember, Rabu (24/12) malam ini. Puluhan orang yang hadir dalam kebaktian malam Natal itu seakan terhanyut dengan lagu pujian berjudul Menjelang Kelahiran Tuhan Yesus itu. "Ampon kaula ngartetresna panjenengan, paneka sengatore ajunan sampiyan (aku telah merasakan cinta dari-Mu, semua yang terjadi atas kehendak-Mu," kata Pendeta Sapto Wardoyo di atas mimbar gereja dalam bahasa Madura.


GKJW Sumberpakem, Kecamatan Sumber Jambe, Kabupaten Jember ini memang berbeda dengan gereja lain di Indonesia. Aktivitas keagamaan di gereja yang terletak 35 Km dari pusat kota Jember ini menggunakan tiga bahasa, Indonesia, Jawa dan Madura sebagai bahasa pengantar. Bahkan, Alkitabnya pun memakai edisi khusus berbahasa Madura bernama Alketab. "Hal ini dilakukan agar ada pemahaman yang sama menyangkut materi Alkitab," kata Sapto.

Penggunaan bahasa Madura di GKJW Sumberpakem sudah berlangsung lebih dari 128 tahun. Menurut buku berjudul Babad Zending Ing Tanah Djawa yang ditulis JD. Wollterbeek, kedatangan seorang misionaris Kristen bernama Dr. Esser di desa yang dulu bernama Soemberpakem itu, adalah awal dari semuanya. Esser piawai berbahasa Madura dan Jawa, karena belajar di Solo, Jawa Tengah.

Pastur asal Belanda itu berhasil memperoleh satu pengikut setia berdarah Madura bernama Ebing. Ebing, juga merupakan penduduk pertama di Jember yang beragama Kristen yang dibaptis pada 23 Juli 1882. Pendeta Esser dan Ebing memberikan pelayanan di daerah itu lebih dari tujuh tahun. Selama itu, keduanya tidak berhasil mengkristenkan satu orang pun. "Dokter Esser pun frustasi dan memindah konsentrasi gerejanya di Slateng dan Bondowoso yang berjarak 35 Km dari Sumberpakem," kata Sapto.

Meskipun sedikit mendapatkan "angin" ajaran Kristen di Bondowoso pun dinilai gagal. Dokter Esser pun kembali ke Belanda. Seorang Pendeta bernama H. Van Der Spiegel datang menggantikan pada tahun 1889. Kondisi tidak berubah, Van Der Spiegel pun terpaksa kembali ke Belanda dan digantikan oleh P.A. Otto Lander pada 1890, H. Dekker pada 1891, H. Hendrik pada 1897-1908.

"Pendeta Hendrik yang paling lama dan paling berhasil," kata Sapto. Meskipun sukses, kehadiran Hendrik di Sumberpakem berakhir rusuh, saat Gereja Kristen di Slateng dan perumahan pendeta di Sumberpakem dibakar massa.

Sejak saat itulah, tidak ada lagi misionaris dari Belanda yang "turun" ke Jember dan sekitarnya. Tongkat estafet misionaris dipercayakan kepada Ebing dan anaknya, Sulaiman. Pendekatan lokal yang kuat ala Pendeta Ebing menjadikan agama Kristen lebih bisa diterima. Apalagi, Ebing menggunakan pendekatan bahasa Madura yang lebih mudah dipahami oleh penduduk sekitar. "Peran Ebing dan anaknya, Sulaiman membuat pemeluk kristen di Sumberpakem dan Slateng meningkat tajam," kata Sapto.

Peningkatan paling tajam saat memasuki tahun 1965, pasca peristiwa Gerakan 30 September yang disebut-sebut dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Konflik horisontal yang berujung saling serang antara penduduk berideologi komunis dan non komunis terjadi di Jember dan sekitarnya. Saat itu, Jember merupakan basis kelompok yang kontra dengan ajaran komunisme. Anggota PKI yang ketakutan, memilih untuk memeluk Kristen, dan bergabung menjadi jemaat gereja setempat.

"Saat keadaan kembali normal, kondisi pun berbalik, jumlah pengikut kristen di Sumberpakem pun tak lebih dari ratusan orang," kata Sapto. Meski demikian, bukan berarti gereja berbahasa Madura ini berhenti berdetak. Kehadiran Pendeta Alphius pada tahun 1972 meneruskan semangat Ebing dan anaknya, Sulaiman. Hingga pada tahun 2002 Sapto Wardoyo datang sebagai pendeta, menggantikan Pendeta sebelumnya, Kukuh Supitono.

Sapto yang lulusan Institut Pendeta Theologia (IPTh) Malang, Jawa Timur ini menganggap kedatangannya di Sumberpakem sebagai tantangan dari Tuhan, untuk meneruskan misi Dr. Esser pada 1880. Apalagi, menyebarkan Kristen di tengah-tengah penduduk Jember yang mayoritas Islam, menjadi hal yang tidak pernah dilupakan. "Saya harus secara khusus belajar bahasa Madura untuk bisa menjalankan misi saya di sini," kenangnya.

Memperlajari budaya Madura, adalah hal pertama yang dilakukan Sapto. Hal itu bukan hal yang mudah bagi bapak dua anak kelahiran Yogyakarta ini. Apalagi, Sapto mengaku termasuk orang yang termakan oleh stereotipe orang Madura. Ternyata semua berubah saat anak ke 7 dari 8 bersaudara ini pindah ke Situbondo, 70Km dari Jember, dan mengenal dengan baik budaya Madura. "Terutama budaya bertoleransi yang sangat tinggi," kenang Sapto.

Selama tinggal di Situbondo dan Jember, Sapto sama sekali tidak pernah dimusuhi oleh masyarakat setempat, gara-gara memiliki agama yang berbeda. Bahkan, Sapto mengaku sangat dekat dengan beberapa kyai atau pimpinan pondok pesantren di wilayah tempat tinggalnya. "Terlebih lagi ketika saya tinggal di Sumberpakem, masyarakat di daerah ini menganggap saya sebagai saudara," katanya.

Namun, hal itu tidak membuat Sapto gegabah. Dirinya mengaku perlu menugaskan dua "penasehat" bahasa Madura untuk mengawasi dirinya saat berkotbah menggunakan bahasa Madura. Kedua orang yang asli Sumberpakem itu diminta mengkoreksi ucapannya di atas podium. "Ini penting, karena meskipun bisa berbahasa Madura, namun bahasa yang digunakan di atas podium itu kebanyakan bahasa Madura halus," katanya. Tidak sia-sia, kini, setelah enam tahun berlalu, Sapto yang orang Jawa asli ini, fasih menggunakan bahasa Madura.

Sapto bahkan "berani" mewarnai budaya Madura dengan ajaran-ajaran Kristen. Namun, ini hanya dikhususkan untuk warga setempat yang beragama Kristen saja. Seperti mengubah budaya konjengan (selamatan) bila ada warga yang meninggal dunia. Dalam konjengan, biasanya ada budaya melepaskan ayam dan selamatan selama tujuh hari beturut-turut. "Namun, untuk warga kristiani, tidak lagi ada upacara pelepasan alam, selamatannya pun hanya dilakukan selama tiga hari, 1, 3 dan ke 7," katanya.

Penentuan hari itupun berdasarkan kisah tentang Yesus Kristus. Hari pertama menandakan kelahiran Yesus Kristus, sementara hari ketiga adalah hari dimana Yesus diangkat ke Surga setelah meninggal dunia. Hadi ketujuh berarti hari dimana Tuhan menciptakan alam semesta selama tujuh hari. "Saat itulah ada kehidupan baru, dan saya menginginkan tidak perlu kesedihan akibat kematian itu berlangsung lebih dari tujuh hari, karena ada kehidupan baru pada hari ketujuh," jelasnya.

Yang menarik, Sapto juga mengalkan pohon Natal khas Sumberpakem, yang tidak harus menggunakan pohon cemara. Melainkan bisa diganti dengan pohon kelapa atau pohon pisang. "Pohon Natal itu adalah pertanda kemeriahan dan kuatnya iman kristen, dan semua bisa diwakili dengan pohon apapun, seperti kelapa dan pisang," kata Sapto.

Budaya Madura yang saling toleran ini juga yang membuat warga Madura asli Sumberpakem, bisa dengan tenang menjalankan agamanya. Keluarga Soeyatno adalah salah satunya. Bapak dua anak dan tiga cucu ini mengaku sudah menjadi penganut kristen sejak jaman kakek buyutnya. "Sejak dulu hingga kini, tidak ada istilah bentrok dengan saudara-saudara kita yang beragama muslim, di sini (Sumbepakem), semua adalah saudara," katanya pada The Post.


5 komentar:

  1. Anonim9:47 AM

    Jadi ingin pulang. Mas Iman saya salah satu pembaca setia blog anda. Saya lahir dan besar di Jember, dan selama ini saya tinggal di Aussie untuk sekolah. Saya akan kirim email japri ke anda. Makasih tulisan-tulisannya selama ini.

    BalasHapus
  2. Anonim8:06 AM

    Indonesia memang beragam ya

    BalasHapus
  3. Anonim12:06 PM

    luar biasa mas sapto,saya juga termakan oleh stereotipe madura,tetapi kini aku merdeka.mereka sama dengan kita di ciptakan sesuai dengan citra Tuhan,maafkan saya saudara-saudaraku dari madura dulu aku bodoh sekali.engkau punya harkat yang sama dihadapan Tuhan.Batal kristenku kalau aku tidak dapat menjadi ambon,batak,dayak,madura....Kristus Mengasihimu

    BalasHapus
  4. Tuhan menciptakan dengan kasih

    BalasHapus
  5. Tuhan maha pengasih menghendaki ciptaanNya saling mengasihi, komentar juga ya di blog saya www.goocap.com

    BalasHapus