23 Desember 2008

"Berdarah-darah" Melayani Buku Murah


Iman D. Nugroho, Surabaya

Setelah memiliki 17 cabang toko buku di Jawa-Bali, apa lagi yang ingin anda lakukan?Pertanyaan The Jakarta Post itu sempat membuat Johan Budhi Sava terdiam beberapa saat. Mulutnya terkatup. "Saya menginginkan buku bisa merata di seluruh Indonesia. Saya akan berusaha untuk membuka toko buku di seluruh Indonesia, mulai Papua sampai Aceh. Mungkin ini tidak mudah, tapi akan saya coba," katanya sembari menggela napas panjang.



-----------

Delapan belas tahun lalu, ketika Johan membuka toko buku Togamas pertamanya di Malang Jawa Timur, laki-laki 44 tahun ini sama sekali tidak pernah menyangka, usahanya bakal menjadi besar. Apalagi, niatan membuka toko buku di rumah mertuanya tahun 1990 itu, hanya sebuah upaya darurat untuk menyambung hidup. Modal Rp.35 juta yang digunakan untuk membuka toko buku itu pun adalah softloan dari orang tua istrinya, Swandayani.

"Saat itu, yang ada di kepala hanya upaya menjual buku untuk makan," kenangnya. Selain menjaga toko buku miliknya, Johan tak lupa "melirik" toko buku saingannya di Malang. Sederhana saja. Tindakan itu dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah kendaraan yang terparkir di depan toko buku saingannya itu. "Kalau jumlah motor dan mobil yang terparkir di sana lebih banyak, artinya saya harus memutar otak untuk mencari kreativitas baru guna menarik pengunjung,..haha," kata ayah dua anak, Bayu Dharma Saputra Sava dan Aditya Dharma Putra ini.

Dewi Fortuna berpihak pada Johan. Delapan tahun kemudian, pada 1998, Johan mendapatkan mobil baru dari undian sebuah bank swasta. Mobil station itu dijual untuk uang muka sebuah rumah toko tak jauh dari toko miliknya. Sial, saat kontrak jual beli ditandatangani, ternyata uang Rp.70 hasil penjualan mobil itu pun kurang. "Bingung juga, untung ada saudara yang meminjami uang arisan," kata laki-laki murah senyum itu.

Singkat kata, toko buku barunya pun berdiri. Kedekatannya dengan dosen dan mahasiswa, membuat Johan mengerucutkan segmentasinya di dunia buku mahasiswa. Terutama, mahasiswa jurusan ekonomi, teknik, politik dan kedokteran. Tak jarang, dirinya menggelar diskusi dengan para dosen untuk mengetahi jenis buku yang sedang dibutuhkan. Angin keberuntungan terus berhembus. Kedekatannya dengan motivator Tung Dasem Waringin dan Dosen Universitas Indonesia, Amir Abadi membuahkan terobosan membuka cabang Togamas di Jogjakarta pada tahun 1999.

Setahun kemudian, Johan kembali membuka "cabang" di Semarang pada 2001, Jember pada 2002, Surabaya pada 2004, Bandung dan Denpasar pada 2007. "Pada tahun 2008, Togamas buka juga di Jakarta, Surabaya untuk kedua kali dan Kediri, sementara pada tahun 2009, akan ancang-ancang membuka di Probolinggo, Mojokerto, Blitar dan Banyuwangi," katanya. Wow! Total ada 17 toko buku yang dibuka sejak 18 tahun lalu.

Sebegitu menguntungkannyakah toko buku? Tidak juga. Meski secara kalkulasi masih ada pasar 93 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang belum tersentuh buku, namun kerugian di bisnis ini tergolong besar. Di Jogjakarta, Johan dan rekanannya sempat merugi hingga Rp.600 juta. Sementara di Surabaya, laki-laki lulusan Universitas Narotama Surabaya ini merugi Rp.3 miliar, hanya dalam waktu delapan bulan. "Untung dan rugi seperti datang dan pergi dalam dunia buku, yang penting terus bergulir dan menunjukkan progres positif," katanya.

Keyakinannya itu juga membuat Johan melebarkan jangkauannya ke Timika, Provinsi Papua. Johan menceritakan, saat ini dirinya sedang berpikir keras untuk membuka toko buku di Papua. Apa yang terjadi di Papua, membuat Johan mengelus dada. Kurikulum yang dipakai di propinsi paling timur Indonesia itu, katanya, masih menggunakan kurikulum tahun 1978. "Sangat berbeda dengan di Jawa atau Bali. Di sana, sangat sulit mendapatkan buku, karena distribusi buku tidak sampai ke sana, karena itulah kondisi pendidikan di Papua jauh tertinggal," katanya.

Tidak hanya itu, Johan juga mendukung upaya pemerintah untuk menggratiskan buku melalui program Buku Sekolah Elektronik atau BSE. Bagi sebagian orang, BSE bisa secara tidak langsung membunuh pengusaha dan penerbit buku. Namun tidak bagi Johan. "Jangan lupa, buku berhubungan dengan peningkatan intelektual, semakin meningkat intelektual penduduk Indonesia melalui BSE, maka pasar buku juga semakin luas. Jadi BSE harus didukung," katanya bersemangat.

Kalau perlu, tegas jebolan jurusan pertanian dan manajemen ini, perlu ada lompatan intelektual di Indonesia. Terutama bila dikaitkan dengan maraknya penggunaan internet di Indonesia. Dengan bahasa lain, penduduk Indonesia harus "dipaksa" mengikuti perkembangan zaman yang ada. Bila tidak, maka Indonesia akan sangat jauh tertinggal dengan negara-negara lain di dunia. "Sekarang ini, perkembangan di negara maju seperti AS misalnya, juga bisa dirasakan, untuk itu harus ada percepatan untuk mengejar ketertinggalan," jelasnya.

Hal itulah yang dipraktekkan Johan di keluarganya. Dua anak Johan dan Swandayani yang kini masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Dasar (SD), sudah dibiasakan untuk membaca buku dan mencari data di internet. Data yang ditemukan itu yang kemudian digunakan untuk memperluas cakrawala berpikir kedua anaknya. "Waktu mertua saya sakit, anak saya justru menyodorkan data internet, dan menunjukkan bagaimana efek terburuk dari penyakit yang diderita mertua saya, haha,.." katanya.

Johan menyadari, keyakinannya kental dengan idealisme. Karena memang hal itulah yang diperlukan oleh pengusaha yang bergerak di bidang perbukuan. Keinginan mendapatkan untung besar, jelas tidak bisa diraih di dunia buku. "Kalau ada pengusaha yang mau join dengan saya dan meminta untung besar, lebih baik saya tolak, karena bisnis buku memang tidak bisa seperti itu," jelasnya. Johan mencontohkan dirinya sendiri. Meski sudah belasan tahun menggeluti dunia buku dengan 17 toko buku di berbagai kota, namun Johan tetap tinggal di rumahnya di Malang. Rumah yang juga toko buku pertamanya.


1 komentar:

  1. Anonim9:59 AM

    Hi Pak Johan. Membaca kisah bapak di iddaily seperti melihat masa depan saya. Pede banget sih. Karena memang seperti itu. Saya sangat ingin membuka toko buku (dan sukses) seperti bapak. Dan saya sangat mendukung keinginan bapak untuk terus memperjuangkan buku murah. Salam dari sumbawa. maya

    BalasHapus