Iman D. Nugroho
Magang kerja bagi siswa sekolah menengah, menjadi salah satu trik perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Padahal, di balik praktek magang kerja itu, tersimpan berbagai pelanggaran serius. Salah satunya mempekerjakan anak-anak yang jelas-jelas dilarang dalam UU Perlindungan Anak. Ironisnya, praktek magang kerja itu terus dilakukan, bahkan menjadi silabus resmi banyak lembaga pendidikan. Hal itu dikatakan Koordinator Divisi Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Ridjal Alifi Ramadhan pada The Jakarta Post.
Sayangnya, kata Ridjal, kesadaran mengenai hal ini tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Hal itu terbukti dengan masih adanya lembaga pendidikan yang membuka program magang kerja bagi siswa-siswinya. "Bahkan ada yang membuka MOU dengan perusahaan untuk bersedia menerima siswanya sebagai tenaga Magang Kerja, padahal itu sebuah pelanggaran," kata Ridjal. Dalam MOU itu, ungkap Ridjal ada yang menyelipkan insentif dari perusahaan setempat kepada oknum di lembaga pendidikan itu.
Dan masyarakat "menyambut" hal ini dan cenderung memilih sekolah yang sekaligus mampu membuka peluang kerja bagi siswa-siswinya. Masyarakat tidak menyadari, apa yang dilakukan lembaga pendidikan dan “diamini” oleh masyarakat itu secara jelas melanggar UU Perlindungan Anak no.23 tahun 2002. Terutama Pasal 13 yang menyebutkan perlunya melindungi anak dari eksploitasi ekonomi. Perlakuan yang didapatkan siswa magang tidak berbeda dengan buruh pabrik yang bekerja di tempat yang magang.
Ketidaksadaran lembaga pendidikan dan masyarakat ini disambut mayoritas lembaga usaha dengan membuka kesempatan magang seluas-luasnya bagi siswa. Menurut Ridjal, hampir semua lembaga usaha sektor formal membuka kesenpatan magang. “Ironisnya, lembaga usaha dari perusahaan besar pun melakukan itu, begitu juga dengan perusahaan milik asing (PMA) yang banyak membuka cabangnya di Surabaya,” jelas Ridjal.
Dalam pengamatan The Jakarta Post, perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perhotelan, makanan cepat saji (fast food) dan supermarket kerap kali digunakan sebagai tujuan peserta siswa magang. Seperti yang tampak pada sebuah supermarket bermerk Eropa di kawasan Surabaya Pusat. Di tempat itu, ada beberapa siswa sekolah menengan kejuruan (SMK) yang bertugas sebagai kasir. "Jatah saya magang selama tiga bulan, ini tiga bulan pertama saya magang," kata Murni (bukan mana sebenarnya) pada The Post.
Yang membedakan Murni dengan buruh yang lain hanya seragam yang dikenakan. Bila karyawan supermarket itu menggunakan seragam berwarna biru, Murni menggunakan baju bebas. ID Card yang dikenakan Murni tidak berisi data-data diri, melainkan berisi nomor magang. "Tapi yang lain tidak berbeda dengan pekerja yang lain, semacam latihan bekerja bagi siswa SMK agar siap bersaing setelah lulus nanti," kata Murni yang bekerja magang 8 jam/hari itu.
Bagi Murni, magang kerja seperti yang dilakukannya sekarang adalah bagian dari proses belajar sebagai rangkaian proses belajar di sekolah. Hanya saja, kali ini dilakukan di luar sekolah. Dalam magang kerja ini pun ada penilaian yang diberikan supervisi dari pihak perusahaan. “Kalau nilai saya baik, selain akan mendapatkan nilai baik di raport, juga besar kemungkinan saya akan dipanggil magang kerja lagi di supermarket ini, saya sangat menunggu kesempatan itu,” katanya. Teman-teman Murni, sampapi beberapa kali melakukan magang kerja di supermarket ini. “Bahkan ada yang magang sampai 1,5 tahun,” katanya.
Masuknya Murni sebagai siswa magang di sebuah supermarket di Surabaya berawal dari tawaran sekolah kejuruan miliknya. Murnis mengetahui sejak pertama masuk di sekolah itu. "Sejak awal masuk di sekolah itu, sudah diberitahukan bahwa pada kelas terakhir, akan diberi kesempatan magang di sebuah instansi swasta, biasanya sih di supermaket atau hotel," jelasnya. Saat masa magang kerja itu tiba, Murni supermarket sebagai tempatnya magang kerja.
Magang kerja tidak bisa dilkukan sembarangan. Harus ada izin dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) bagi lembaga pendidikan yang memiliki program magang. Sejauh ini, di Surabaya ada 100 lembaga pendidikan yang sudah terdaftar di Disnaker Surabaya sebagai lembaga yang diberi izin memagangkan siswanya. Magang kerja pun tidak boleh dilakukan serampangan. Harus ada pembagian waktu 70:30. Sejumlah 70 persen untuk pendidikan teori, 30 persen untuk kerja praktek.
Yang dialami Murni tidak seperti itu. Di supermarket itu Murni bekerja layaknya buruh biasa. Shift kerja dipilih antara jam 08.00-15.00 atau jam 15.00-20.00. "Saya diminta memilih, karena saya harus tetap beraktivitas pada siang hari, saya memilih shift malam," jelasnya pada The Post. "Untung"nya, Murni mendapatkan "gaji, yang disebut sebagai uang saku. Jumlahnya lebih kecil dari UMK.
Hal yang sama juga dilakukan Andy (bukan nama sebenarnya) yang melakukan magang kerja di sebuah hotel sebuah group di kawasan pusat kota Surabaya. Andy yang juga siswa sekolah kejuruan di Surabaya ini mengaku sudah beberapa kali mengajukan permohonan perpanjangan magang di hotel itu. “Saya sih inginnya bisa bekerja di hotel ini, tanpa status magang lagi,” kata Andy. Namun, keinginan itu masih harus menunggu dirinya lulus dari sekolah kejuruan. Itupun kalau hotel tempatnya magang sedang membuka lowongan dan mau menerimanya. Tidak dengan status magang tentunya.
Namun, meskipun bekerja layaknya buruh, baik Murni dan Andy mengaku tidak mendapatkan pendapatan yang layak atas magang kerjanya ini. Hanya uang lelah yang jumlahnya tidak lebih dari Rp.250 ribu. “Bukan bagi, melainkan hanya uang lelah, tapi ada yang memberi tips, baru ada uang,” kata Andy.
Di hotel, magang kerja disebut dengan buruh casual. Magang kerja jenis ini hanya dibuka bila hotel-hotel menghadapi waktu-waktu khusus yang memerlukan tenaga tambahan. Seperti saat masa liburan, hari raya atau long week end. "Pada masa-masa itu, banyak hotel membuka kesempatan untuk magang kerja," katanya. Tidak seperti Murni, sebagian besar hotel memberikan uang saku rata-rata di bawah Rp.500 ribu.
Pelanggaran kasus perburuan terjadi pula di restoran cepat saji yang banyak muncul di Surabaya. Sejak empat tahu lalu, hampir semua restoran cepat saji di Surabaya menerapkan sistem kontrak untuk pekerjanya. Lama masa kontrak paling panjang adalah tiga bulan. Setelah masa kontrak habis buruh diminta untuk mengajukan permohonan lagi. Ironisnya, buruh kontrak yang seharusnya tidak bekerja dalam sektor pekerjaan pokok, sebagaimana diatur di Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, justru terjadi.
Seperti yang terjadi di restaurant cepat saji di Surabaya Pusat. Restaurant yang memiliki cabang di hampir seluruh dunia ini menempatkan buruh kontrak sebagai pekerja utama. Seperti kasir dan bagian dapur. Tidak hanya itu, mereka juga menempatkan sanksi yang berat bila ada kesalahan kecil yang dibuat. "Kalau salah, perusahaan tidak segan-segan memecat kita," kata Wawan (bukan nama sebenarnya). Wawan sendiri, adalah pekerja kontrak tiga bulan. Meski tidak setuju dengan mekanisme yang ada, laki-laki kurus ini mengharapkan perusahaan kembali memperpanjang kontraknya. "Tidak ada pekerjaan lain," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar