07 September 2008

Hasan Ali, Si Penjaga Budaya Suku Using

Iman D. Nugroho

Bagi Hasan Ali yang kini berusia 75 tahun, keunikan Kesenian Suku Using benar-benar menunjukkan keindahan budaya masyarakat Banyuwangi. Karena itu, Hasan menilai perlu adanya upaya terus menerus untuk mempertahankan Seni Using, dengan mengajarkannya pada anak-anak di sekolah. “Kalau tidak seperti itu, Saya khawatir kesenian Banyuwangi akan hilang tergerus budaya modern,” katanya mengawali pembicaraan dengan The Jakarta Post.




Hasan Ali memang tak lagi muda. Penyakit "tua" yang dideritanya, membuat laki-laki kelahiran Banyuwangi 1933 itu hanya bisa menghabiskan hari di atas sofa di ruang tengah rumahnya. Tapi semangat masih terasa melalui sorot mata yang selalu memandang lurus, dan nada suaranya yang tegas dan keras. Apalagi, ketika dirinya diajak bicara soal kesenian. Terutama seni Tari Gandrung dan Bahasa Using. Dua hal yang dicintainya. "Saya sudah mengalami tiga zaman, Belanda, Jepang dan Republik, tapi selama itu, Tari Gandrung dan Bahasa Using tetap membuat saya jatuh cinta," katanya pada The Jakarta Post saat menemuinya di Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Hasan yang juga ayah dan kakek dari penyanyi Emilia Kontesa dan Dedana Tambunan ini memang tidak bisa dilepaskan dari budaya Suku Using. Sejak mengenal kesenian yang disebut-sebut sebagai “sisa” masyarakat Kerajaan Blambangan itu saat dirinya remaja, Hasan tidak pernah bisa melupakannya. Karena itu juga, ketika teman-teman sebayanya memilih bermain di sawah, Hasan muda justru berlajar kesenian Using. "Sejak remaja saya suka kesenian Using," kenangnya. Kegemarannya berkesenian semakin mendapatkan “tempat” saat Hasan tergabung dalam kelompok kesenian di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI).

“Karena kesenian jugalah, akhirnya saya dipercaya PNI menjadi anggota DPRD Banyuwangi hingga tahun 1966,” kenang Hasan Ali. Ironisnya, pertikaian politik jaman itu juga sempat memposisikan Hasan dalam “bahaya”. Apalagi saat Muhammad Arif, pencipta lagu Genjer-Genjer bersama ratusan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) lainnya hilang usai peristiwa Gerakan 30 September. Peristiwa itu juga yang membuat kesenian Banyuwangi, “tiba-tiba” diidentifikasi sebagai seni milik PKI.

Padahal, kenang Hasan, yang terjadi justru sebaliknya. PKI-lah yang sebenarnya ingin menghapus seni Banyuwangi. Karena dianggap sebagai seni yang mendorong merosotnya moral masyarakat. “Memang benar, PKI menggunakan lagu Genjer-Genjer sebagai lagi perjuangan, tapi di samping itu, justru PKI yang melarang tari Gandrung Banyuwangi, karena dianggap merosotkan moral masyarakat,” katanya.

Lagu Genjer-Genjer, kata Hasan, diciptakan Arif pada jaman Jepang, sebagai penyemangat masyarakat yang kala itu diselimuti kemiskinan. Sementara Tari Gandrung Banyuwangi tak lebih dari tarian pergaulan. Tidak ada makna lain. Lagu-lagu yang dinyanyikan penari Gandrung juga berupa pantun-pantun lokal yang memiliki nilai kearifan. “Biru-biru godonge manggis jeruk purut digawe gemparan, buru-buru omongi manis serto diturut gak paran-paran,” Hasan menyanyikan sebuah syair yang biasa dinyanyikan dalam Tari Gandrung.

Kesan amoral dalam tarian itu muncul karena ada orang tertentu yang memperlakuan gandrung dengan tidak semestinya. Dengan mempertontonkan tarian itu di lokalisasi-lokalisasi di Banyuwangi. “Pelan-pelan, Tari Gandrung pun diidentikkan sebagai tarian mesum,” katanya.

Keadaan berubah pasca tahun 1965. Hasan yang ketika itu sudah bertugas sebagai pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) Banyuwangi, diminta mantan Bupati Joko Supaat Slamet untuk “menyelamatkan” tari Gandrung. “Saya dan teman-teman membuat rumusan untuk kembali membina Tari Gandrung menjadi tari pergaulan anak mua dengan cara yang santun dan bagus,” katanya. Puluhan seniman lokal pun dikumpulkan dan diajak berdiskusi. Singkat kata, Tari Gandrung pun kembali “dipandang”. Bahkan sempat diundang ke Istana Negara saat Mantan Presiden Soeharto masih berkuasa. Tari Gandrung kini menjadi simbol Kabupaten Banyuwangi.

Di sela-sela memperbaiki image Tari Gandrung Banyuwangi itu, Hasan menemukan “permata” Banyuwangi lain yang juga diambang kepunahan. Yakni bahasa Using milik Suku Using Banyuwangi. Bahasa yang digunakan Suku Using ini pelan-pelan mulai hilang di masyarakat. Tidak ada lagi warga Banyuwangi, bahkan warga Suku Using yang menggunakannya. “Entah, tiba-tiba mereka malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri,” kata Hasan.

Hasan lantas mengajak beberapa seniman Banyuwangi lain untuk mengadakan seminar kecil bertema cara mempertahankan Bahasa Using. Rumusan terpenting dari seminar yang digelar pada tahun 1980-an itu adalah memperkenalkan Bahasa Using di pendidikan dasar. “Tapi hal itu bukan hal yang mudah, tidak seperti bahasa Jawa yang sudah turun temurun terbukukan dengan baik, selama ini tidak ada buku panduan berbahasa Using,” katanya. Untuk itu, agenda pertama penyelamatan Bahasa Using adalah membuat buku panduan Bahasa Using.

Hasan lantas mengumpulkan semua data tentang Suku Using yang dimilikinya. Termasuk 28000 kata bahasa Using yang hingga kini sebagian besar masih digunakan. Hingga 10 tahun kemudian, Hasan Ali secara resmi mengeluarkan tiga buku Tata Bahasa, Pedoman Ejaan dan Kamus bahasa Using. "Bahasa Using memiliki spesifikasi dan kekhasan pada pengucapan dan perbedaan kosakatanya," jelas Hasan. Dari tiga buku yang diciptakan Hasan, yang paling sulit adalah buku Tata Bahasa Using. Dalam prosesnya, mantan Ketua Dewan Kesenian Banyuwangi ini harus belajar bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Bali sebagai bahan perbandingan.

Kekhasan Bahasa Using terletak pada paratalisasi unsur, M, N, NYE, ENG, R, LE, W dan Y yang dalam pengucapanya ditambahi huruf I atau U. Selin itu, ada penekakan dan kedalaman pengucapan. misalnya siro (kamu-JAWA) menjadi sihrho. Limo (lima-JAWA) menjadi lhimho. Begitu juga dengan kuno (lama-JAWA) jadi kunho. "Saya menduga, bahasa Using itu juga ada keterkaitan dengan bahasa Bali yang terlihat dari adanya kata yang memiliki arti yang sama," kata Hasan.

Hingga kini, Bahasa Using terus diajarkan di sekolah-sekolah dasar. Ada yang memuji keindahannya, ada pula yang tetap bersikukuh dengan ketidaksukaannya. Yang pasti, karena Hasanlah, Bahasa Using masih digunakan. "Bahkan, orang Banyuwangi yang tingal di luar Banyuwangi pun masih terus menggunakan bahasa Using bila berkomunikasi dengan orang Banyuwangi lainnya, seperti Saya dan Emilia Kontesa, haha,.." katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar