22 Agustus 2008

Sri Sultan Himbau "Eko Sexual" Untuk Melawan Kerusakan Lingkungan

Iman D. Nugroho

Gubernur DI Jogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menghimbau kepada semua pihak, terutama para pemimpin, untuk mengkampanyekan “Eko Sexual” sebagai usaha kedepan dalam mencegah kerusakan lingkungan dan mengatasi perubahan iklim (climate change) di Indonesia. Hal itu dikatakan Sultan dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, yang diselenggarakan Departemen Ilmu Ekonomi Fak. Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 20-21 Agustus 2008 ini.


Ekosexual atau ekologi seksual adalah merupakan budaya tanding dari hiteroseksual. Jadi ekoseksual adalah gaya hidup secara individu (baik pria dan wanita) yang mengedepankan tindakan dan upaya-upaya yang sifatnya perduli terhadap penyelamatan lingkungan. Oleh karena itu ekoseksual merupakan “kontra” dengan hiteroseksual yaitu individu yang sadar penampilan karena ditopang oleh pola konsumtif.

”Dengan senantiasa setiap individu memikirkan dan mempertimbangkan tindakannya demi pengamanan lingkungan, kita berharap kerusakan lingkungan bisa dicegah,” kata Sri Sultan HB. Selain Sri Sultan, juga tampil sebagai pembicara adalah Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, Dr. Tjuk K. Sukiadi (Unair), Prof. Armida Alisjahbana (Univ. Padjadjaran). Sedangkan Rabu (20/8) lalu menampilkan Ir. Max Hasudungan Pohan, CES., MA (Bappenas), Dr. Suparto Widjoyo (ahli hukum lingkungan Unair), Rina Oktaviani, Ph.D (IPB), dan Drs. Ec. Bambang Eko Afiatno, ME (Unair). Simnas ini dilaksanakan dalam rangka Dies Natalis FE Unair ke-47.

Dengan bergaya hidup ekosexual, lanjut Raja Jogyakarta itu, senantiasa setiap individu akan sadar konsumsi karena ia memahami secara ekologis bahwa setiap benda atau apapun yang dieksploitasi (dipakai) selalu berbasis untuk keberlanjutan (sustainable). Ia mencontohkan gaya ekoseksual tersebut misalnya sikap hemat energi, hemat air, pemakaian benda ramah lingkungan, dan tanggap terhadap perubahan lingkungan yang lain.

Sri Sultan mengedepankan hal itu dengan dilatari oleh pengalamannya ketika wilayah yang dipimpinnya terpaksa harus mengeluarkan anggaran yang sangat besar untuk melakukan recovery pasca-gempa di sekitar Jogyakarta akhir 2006 lalu. Dari peristiwa akibat perubahan iklim semacam itulah dia sudah membuktikan bahwa dampaknya sangat berpengaruh besar terhadap pola pengelolaan perekonomian negara.

Hancurnya sektor industri dan perumahan akibat bencana sangat besar pengaruhnya
terhadap penurunan pendapatan masyarakat, penurunan PDRB, dan berlanjut pada anjloknya pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan penyelamatan lingkungan setidaknya akan bisa dihemat anggaran secara signifikan. Tidak jauh berbeda dengan pengalaman Sri Sultan, Bupati Sidoarjo pun menyatakan senada, bahwa dampak bencana sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian. Ia sebut sebagai dampak luapan lumpur Lapindo yang merugikan semua pihak, baik masyarakat, daerah dan pemerintah.

Prof. Armida Alisjahbana secara senada juga menyatakan demikian. Dampak kekeringan sebagai akibat dari gagalnya menjaga kelestarian hutan sebagai daya tampung sumber air sudah terbukti menurunkan hasil pertanian. Sehingga untuk mengembalikan produksi sesuai semula, atau bahkan diharapkan bisa meningkat, diperlukan usaha-usaha baru melalui eksploatasi teknologi dan modal. Misalnya untuk menyuplai air untuk kepentingan pertanian maka dibuat hujan buatan. ”Nah, daripada anggaran kita keluarkan untuk membuat hujan buatan yang biayanya mahal, lebih baik kita kembalikan reboisasi pada hutan kita sebagai daerah penyimpan air,” kata pakar ekonomi pertanian dari Unpad Bandung itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar