Tiga puluh satu tahun menjadi warga negara RI, belum sekali pun pernah memiliki paspor atau Surat Perjalanan Republik Indonesia (SPRI). Sekali-kali ingin mengurus paspor, harus eyel-eyelan dengan petugas Loket VI. "Pak, ini sudah keputusan atasan, maaf ijazah Anda tidak bisa digunakan untuk mengurus paspor," kata Reta, petugas loket VI Imigrasi Klas I Surabaya. Kok?
Wajah Kirman, sebut saja begitu, seorang calo pembuat paspor menegang. Jidatnya mengerut, membuat kedua alisnya hampir bertemu. "Memangnya sekarang tidak bisa titip Anda untuk membuat paspor, kenapa?" katanya melalui telepon seluler, pada seseorang yang menurut Kirman adalah salah satu petugas Imigrasi Klas I Khusus Surabaya. Setelah mengangguk-angguk, Kirman menghela napas panjang. "Hmmm,..ada petugas KPK (komisi Pemberantasan Korupsi-RED) yang sedang mengawasi,..oke,..terima kasih," katanya.
Begitulah, Kirman adalah calo paspor yang Saya tuju saat akan membuat "pass" keluar negeri itu. Menurut laki-laki paruh baya ini, belakangan banyak petugas Imigrasi yang enggan melayani permintaan "side job" membantu pembuatan paspor. "Ya itu tadi, ada petugas KPK yang mengawasi, mungkin ada baiknya sampeyan mengurus sendiri saja," katanya.
Saya pun menurut, dan memutuskan untuk pergi ke Imigrasi Klas I Khusus Surabaya di Waru, Sidoarjo. Dalam hati, ada sedikit rasa malu karena memilih untuk pergi ke calo paspor. "Ternyata imigrasi sudah berubah, tidak ada lagi calo yang bisa dimintai "tolong" untuk membuat paspor," kata Saya dalam hati.
Rasa malas mengurus surat resmi yang biasanya terasa, kali ini hilang. Perjalanan ke kantor Imigrasi Surabaya yang sudah berubah "budaya", benar-benar membuat bersemangat. "Lewat samping, beli formulir, isi dan selesai sudah!," kata petugas parkir. Wah, petugas parkir pun bisa menjelaskan mudahnya mengurus paspor. Sebegitu mudahkah? Tunggu dulu.
Masuk ke pintu samping, Saya langsung disambut seorang laki-laki yang entah mengapa begitu ramah. "Mau urus paspor, bisa saya bantu,.." katanya. Ya ampun, seorang calo di dalam komplek Imigrasi! So sweet,..Ah, mungkin hanya kebetulan. Saya menggeleng tanda menolak, sambil menuju ke Koperasi Imigrasi untuk membeli formulir seharga Rp.6500,-.
Di salah satu ruang tunggu imigrasi, Saya mengisi formulir itu. Di depan saya berdiri petugas keamanan imigrasi berbaju coklat muda. Aman rasanya. "Pertama kali bikin paspor ya mas? Bisa Saya bantu, Saya bukan calo, hanya ingin membantu saya," kata seorang pemuda ramah. "Kalau sama Saya urusnya, bisa empat hari sudah jadi, kalau urus sendiri, bisa seminggu,.." katanya promosi. God! Calo ini beraksi di hadapan petugas imigrasi! Tidak ada tindakan padanya..
Lagi-lagi Saya menolak. Terus mengisi form kosong Perdim 11 yang ada. Usai mengisi, Saya siapkan persyaratan permohonan paspor. Ada empat kelengkapan permohonan paspor. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku, Kartu Susunan Keluarga (KSK), Akte Lahir atau ijasah dan kelengkapan penunjang. Akte Kawin, Kekerangan Kelakuan Baik, Ijin Kantor atau Perusahaan, Pertanyaan tidak bekerja hingga Surat bukti penerimaan pemberitahuan belajar di luar negeri dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Karena Akte Kelahiran tidak ada, Saya memilih menggunakan ijasah asli sekolah tinggi tempat saya menuntut ilmu S1 di Surabaya. Singkat kata, Saya pun mengantri. Waktu berlalu, setelah 30 menit berdiri di antrian, tibalah saatnya giliran Saya. Petugas Loket VI pun menerima berkas Saya. Membolak-balik dengan serius berkas itu, untuk mengcheck kelengkapan.
"Pak, ijasah Anda tidak bisa digunakan,!" kata Reta, petugas loket. "Kenapa?" tanya Saya. Asal tahu saja, ijasah saya memang bukan ijasah universitas atau sekolah tinggi negeri. "Hanya" ijasah sekolah tinggi ilmu komunikasi tertua di Indonesia Timur. Meski begitu, tetap saja ijasah itu ijasah asli yang dikeluarkan Dirjen Dikti Depdiknas. "Tapi tidak bisa, pak. Kami hanya menerima ijasah SMA atau SMP yang ada nama orang tua," katanya. Kali ini dengan sedikit menarik ujung bibirnya.
"Kenapa? Kan nama orang tua saya ada di KSK? Yang Saya bawa ini adalah ijasah asli," saya coba berargumentasi. Reta bergeming, sambil memasukkan seluruh surat-surat Saya ke dalam map. "Pak, ini sudah keputusan atasan, maaf ijazah Anda tidak bisa digunakan untuk mengurus paspor," katanya, sambil mengembalikan seluruh permohonan Saya.
Saya tetap tidak bisa terima. Kalau memang harus ijasah SMA atau SMP atau yang ada nama orang tua, mengapa tidak disebutkan dari awal. Bahkan, bila kita buka website Imigrasi Surabaya, tepatnya di kolom SPRI, maka akan tampak tidak adanya persyaratan yang dikatakan Reta. Di sebutkan dalam situs itu persyarakat permohonan paspor RI hanya Keterangan Identitas Diri, berupa Bukti domisili yang ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Resi Kartu Tanda Penduduk. Dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) bagi daerah yang telah mengeluarkan KK, atau keterangan bertempat tinggal dari Kecamatan.
Bagi WNI yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia (Penduduk Luar Negeri), berupa Tanda Penduduk negara setempat atau bukti/petunjuk/keterangan ijin yang menunjukkan bahwa pemohon bertempat tinggal di negara tersebut. Bukti Identitas Diri, pun hanya berupa Akte kelahiran atau Akte perkawinan/Surat nikah atau Ijasah atau Surat baptis. Lalu apa yang salah?
Yang salah adalah dugaan awal Saya. Imigrasi sepertinya belum berubah,..capek dech!
whehehehe... klo capek, apa perlu dipijeti?
BalasHapusWah, kalo ternyata utk ke luar negri harus pakai ijazah SMP atau SMA krn ada nama ortu, lalu gimana para dosen PT yang belajar ke luar negri.
Apa mereka juga pake ijazah SMP atau SMA dalam lampiran permohonan paspor ya?
Makin hari, makin lucu :D