Otot-otot di lengan tangan kanan Painem (70) mulai menegang, saat perempuan itu mengangkat jirigen yang penuh dengan air. Begitu juga saat tangan kirinya merangkul, dan melilitkan selendang biru tua ke jirigen, dan pundaknya. "Meskipun berat, ini jauh lebih baik, sebelum ada kincir angin ini, saya harus mengambil air dari jurang sana, dan membawanya ke rumah," kata Painem dalam bahasa jawa.
----------
Seperti sore-sore yang lain, sore di Minggu (27/03/08) ini adalah waktu bagi penduduk Desa Joho, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk untuk mengambil air bagi kebutuhan keluarga. Dari rumah yang tersebar hingga 1 Km, mereka berjalan menuju ke sumber air terdekat untuk mengangsu (mengambil air dalam bahasa jawa-RED).
Bedanya, sejak dua bulan lalu penduduk Desa Joho tidak perlu mengangsu ke sumber air di dasar jurang Padas Ombo. Melainkan, cukup datang ke ujung desa, tempat kincir angin berada. Dua hidran umum di bawah kincir angin itu sudah terisi air untuk "diangsu" secara gratis. Tinggal memasukkan selang ke dalam wadah, memutar kran dan,..curr, air pun mengalir deras.
Pembangunan kincir angin di Desa Joho adalah program Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk memenuhi kebutuhan air di lokasi-lokasi yang sulit air. Desa Joho, adalah salah satu kawasan yang terpilih karena air tergolong langka di desa ini.
"Memang di Desa Joho membutuhkan air bersih, penduduknya yang miskin membuat air semakin sulit didapatkan, apalagi penduduk tidak punya uang untuk memberli pompa dan menyedot air dari sumbernya," kata Nugroho, Kepala Seksi Penyediaan Sarana dan Prasarana Air Bersih Kabupaten Nganjuk.
Karenanya, penduduk menyambut baik pembangunan kincir angin bermerk Yellowtail buatan Australia ini. Sebuah lahan berukuran 25 M2 pun diberikan secara gratis oleh warga untuk membangunan kincir angin berpakasitas 21 ribu liter perhari itu. "Kita membayangkan mudahnya mengambil air," kata Mairin, penduduk Joho.
Harapan itu menjadi kenyataan, ketika kincir angin itu tegak berdiri. Air yang berada 80 meter di bawah permukaan tanah itu terpompa ke atas dan mengalir ke hidran sebagai tempat penampungan sementara. Penduduk yang membutuhkan air, bisa mengambilnya di kran air yang terletak di bagian bawah hidran.
Penggunaan kincir angin khas Australia ini memang pas dibangun di Nganjuk. Kota yang terkenal dengan sebutan Kota Angin itu memiliki "bahan baku" angin untuk memutar kipas kincir angin. "Tidaknya itu, kincir jenis ini tetap berputar hanya dengan kecapatan angin 3.5 m/s," kata Geoffrey J. Moore, Managing Director W.D. Moore & co, perusahaan asal Australia Barat, tempat pembuatan kincir angin ini.
Geoffrey datang secara khusus ke Nganjuk dan Tulungagung untuk mengawasi pemasangan kincir angin. Geoffrey menjelaskan, di Australia, kincir angin adalah teknologi yang sudah digunakan bertahun-tahun. "Kurang lebih 146 tahun penduduk Australia menggunakan kincir angin," katanya.
Kondisi geografis di Indonesia, menurut Geoffrey hampir sama dengan di Australia. Karenanya, sama seperti di Australian, kincir angin pun bisa digunakan di Indonesia. "Kedalaman sumber air yang bisa diangkat oleh kincir angin jenis ini hingga 100 meter di dalam tanah," jelasnya.
Meski memiliki berbagai keunggulan, kincir angin jenis ini memiliki harga yang tergolong tinggi untuk ukuran Indonesia. Satu set kincir angin yang kini bahan-bahannya diproduksi oleh PT. Steel Pipe Industry of Indonesia (SPINDO) berharga Rp.130 juta. Sepadankan harga itu dengan pemenuhan air di sebuah daerah miskin?
Entahlah. Yang pasti, kincir angin yang ada di Desa Joho mampu membuat Painem dan penduduk Desa Joho yang lain tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengambil air dari dasar jurang. Karena karena kincir air bisa mengalir,..
No comments:
Post a Comment