Belasan "kerbau" liar mengamuk di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Minggu (20/1) ini. Ribuan orang yang berkumpul di jalanan desa menjadi sasaran amukannya. Uniknya, orang-orang yang menjadi korban srudukan itu tidak meringis kesakitan, tapi malah tertawa. Dengan "luka" berupa arang hitam dan lumpur yang tertoreh di sekujur tubuh.
Begitulah gambaran acara Kebo-keboan yang digelar di Desa Alasmalang. Acara yang didasari dengan filofosi tingkah laku kerbau yang tidak kenal lelah membantu manusia membajak sawah itu adalah salah satu bentuk terima kasih warga desa kepada Tuhan atas berkah berupa hasil sawah yang melimpah. Sekaligus merupakan ritual yang dipercaya mampu menjauhkan penduduk dari penyakit yang akan menyerang desa.
Kebo-keboan dipercaya pertama kali digelar sekitar 300 tahun yang lalu. Buyut Karti, adalah sosok yang menjadi mencetus ritual itu. Indra Gunawan, keturunan keenam Buyut Karti menceritakan, ketika Kebo-keboan itu pertama kali dilakukan, Desa Alasmalang sedang diteror pagebluk. Atau penyakit aneh yang membuat penderitanya meninggal dunia hanya dalam hitungan jam.
Buyut Karti yang juga merupakan sesepuh Desa Alasmalang mendapatkan wangsit untuk melakukan ritual Kebo-keboan. Tentu saja, ritual itu bukan bukan tanpa alasan dan hitungan. Seperti penentuan tanggal 10 Muharram (bulan pertama penanggalan Islam) atau 10 Suro (bulan pertama penanggalan Jawa). Bulan Muharram dan Suro dipercaya sebagai bulan yang penuh berkah. Sementara Kebo atau Kerbau, diambil sebagai simbol binatang yang sangat setia membantu manusia dalam bercocok tanam.
Kebo-keboan diawali dengan Slametan Pembuka yang dilakukan tepat tanggal 1 Suro. Dalam ritual itu, dilakukan selamatan di empat penjuru desa. Keesokan harinya, dilakukan upacara penanaman Gapura Palawija. Sebagaimana namanya, ritual ini adalah pembuatan gapura (pintu masuk) desa yang terbuat dari berbagai palawija hasil bumi Alasmalang.
Selanjutnya, pada tanggal 10 Muharam atau 10 Suro, dilakukan ijab kabul yang dirupakan dengan sesembahan 12 tumpeng. "Angka 12 itu didapat dari jumlah hari dalam seminggu ditambahkan dengan jumlah hari pasaran (Kliwon, Wage, Pahing, Pon dan Legi)," kata Indra. Dan yang terakhir dilakukan Ider Bumi (berputar desa) yang dilakukan oleh penduduk Desa Alasmalang yang didandani seperti Kebo atau Kerbau.
Penentuan Kebo atau Kerbau pun tidak sembarangan. Ke-18 orang yang ditunjuk sebagai kebo atau Kerbau haruslah penduduk asli Desa Alasmalang sebagai bentuk totalitas. Juga ada sosok Dewi Sri (sang Dewi Kesuburan) yang diperankan oleh penduduk Desa Alasmalang yang masih perawan, sebagai simbol kesucian. Yang terakhir dibuat sosok buruk rupa atau ogoh-ogoh yang digambarkan selalu menari-mari mengejar Dewi Sri. Bila semua prasyarat sudah ada, ritualpun dimulai.
Lengkap dengan rambut palsu warna hitam, tubuh dilumuri arang dan lonceng kayu yang biasa dipasang di kerbau, seluruh kebo terlebih dahulu dimandikan dulu di bendungan desa yang terletak di sebelah barat desa. Bersamaan dengan dimandikannya Kebo, ke-12 tumpeng yang sudah disiapkan pun didoai dan dimakan bersama-sama oleh penduduk desa.
Usai dimandikan, biasanya ke-18 kerbau itu akan kemasukan danyang atau makhluk gaib penunggu desa. Saat itulah, tingkah laku kebo akan seperti binatang kerbau. Dengan ditali di bagian perut, kebo atan menyeduruk atau menabrak siapa saja yang ada di depannya. Air bendungan pun dialirkan ke jalanan desa, seperti areal sawah yang siap ditanami. Kebo pun menari-nari di jalanan.
Usai menunjukkan kebolehannya, ke-18 kebo pun menuju ke areal sawah untuk menunjukkan kebolehannya. Mereka membajak sawah, sambil sesekali mengejar penonton untuk diceburkan ke dalam sawah. Sorak-sorai pun tidak terbendung. Penonton yang tertangkap kebo harus rela bermandi air sawah plus tanah liat yang menempel di seluruh tubuh.
Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari mengatakan, budaya Kebo-keboan hendaknya menjadi salah satu kekayaan budaya Banyuwangi yang terus dijaga kelestariannya. Ratna tidak menginginkan budaya Kebo-keboan akan berubah dan terpengaruh oleh budaya daerah atau bahkan negara lain. "Budaya semacam ini harus dijaga, jangan sampai hilang atau dipengaruhi oleh budaya daerah atau negara lain," kata Bupati Ratna Ani Lestari.
Dalam acara Kebo-keboan kali ini, dimeriahkan pula oleh hadirnya bentuk kesenian lain seperti Reyog Ponorogo, Terbangan khas Pasuruan dan Ogoh-ogoh khas Bali. Selain itu, pelaksanaan juga menyediakan panggung hiburan musik dangdut yang digelar usai kebo-keboan berakhir.
Teks foto:
Masyarakat desa Alas Malang Banyuwangi Jawa Timur menggelar tradisi Kebo-keboan, Minggu (20/1) ini. Dalam acara yang digelar setiap tanggal 10 Muharram (penanggalan Islam) atau 10 Suro (Penanggalan Jawa) itu sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada Sang Pencipta atas berkah panen berlimpah yang dirasakan desa itu saat musim panen tiba. Sekaligus doa untuk menjauhkan malapetaka di desanya. Kebo-keboan berasal dari kata kebo atau kerbau. Dalam upacara itu 18 orang desa berpakaian layaknya kerbau dan menari di sepanjang jalan desa.
Begitulah gambaran acara Kebo-keboan yang digelar di Desa Alasmalang. Acara yang didasari dengan filofosi tingkah laku kerbau yang tidak kenal lelah membantu manusia membajak sawah itu adalah salah satu bentuk terima kasih warga desa kepada Tuhan atas berkah berupa hasil sawah yang melimpah. Sekaligus merupakan ritual yang dipercaya mampu menjauhkan penduduk dari penyakit yang akan menyerang desa.
Kebo-keboan dipercaya pertama kali digelar sekitar 300 tahun yang lalu. Buyut Karti, adalah sosok yang menjadi mencetus ritual itu. Indra Gunawan, keturunan keenam Buyut Karti menceritakan, ketika Kebo-keboan itu pertama kali dilakukan, Desa Alasmalang sedang diteror pagebluk. Atau penyakit aneh yang membuat penderitanya meninggal dunia hanya dalam hitungan jam.
Buyut Karti yang juga merupakan sesepuh Desa Alasmalang mendapatkan wangsit untuk melakukan ritual Kebo-keboan. Tentu saja, ritual itu bukan bukan tanpa alasan dan hitungan. Seperti penentuan tanggal 10 Muharram (bulan pertama penanggalan Islam) atau 10 Suro (bulan pertama penanggalan Jawa). Bulan Muharram dan Suro dipercaya sebagai bulan yang penuh berkah. Sementara Kebo atau Kerbau, diambil sebagai simbol binatang yang sangat setia membantu manusia dalam bercocok tanam.
Kebo-keboan diawali dengan Slametan Pembuka yang dilakukan tepat tanggal 1 Suro. Dalam ritual itu, dilakukan selamatan di empat penjuru desa. Keesokan harinya, dilakukan upacara penanaman Gapura Palawija. Sebagaimana namanya, ritual ini adalah pembuatan gapura (pintu masuk) desa yang terbuat dari berbagai palawija hasil bumi Alasmalang.
Selanjutnya, pada tanggal 10 Muharam atau 10 Suro, dilakukan ijab kabul yang dirupakan dengan sesembahan 12 tumpeng. "Angka 12 itu didapat dari jumlah hari dalam seminggu ditambahkan dengan jumlah hari pasaran (Kliwon, Wage, Pahing, Pon dan Legi)," kata Indra. Dan yang terakhir dilakukan Ider Bumi (berputar desa) yang dilakukan oleh penduduk Desa Alasmalang yang didandani seperti Kebo atau Kerbau.
Penentuan Kebo atau Kerbau pun tidak sembarangan. Ke-18 orang yang ditunjuk sebagai kebo atau Kerbau haruslah penduduk asli Desa Alasmalang sebagai bentuk totalitas. Juga ada sosok Dewi Sri (sang Dewi Kesuburan) yang diperankan oleh penduduk Desa Alasmalang yang masih perawan, sebagai simbol kesucian. Yang terakhir dibuat sosok buruk rupa atau ogoh-ogoh yang digambarkan selalu menari-mari mengejar Dewi Sri. Bila semua prasyarat sudah ada, ritualpun dimulai.
Lengkap dengan rambut palsu warna hitam, tubuh dilumuri arang dan lonceng kayu yang biasa dipasang di kerbau, seluruh kebo terlebih dahulu dimandikan dulu di bendungan desa yang terletak di sebelah barat desa. Bersamaan dengan dimandikannya Kebo, ke-12 tumpeng yang sudah disiapkan pun didoai dan dimakan bersama-sama oleh penduduk desa.
Usai dimandikan, biasanya ke-18 kerbau itu akan kemasukan danyang atau makhluk gaib penunggu desa. Saat itulah, tingkah laku kebo akan seperti binatang kerbau. Dengan ditali di bagian perut, kebo atan menyeduruk atau menabrak siapa saja yang ada di depannya. Air bendungan pun dialirkan ke jalanan desa, seperti areal sawah yang siap ditanami. Kebo pun menari-nari di jalanan.
Usai menunjukkan kebolehannya, ke-18 kebo pun menuju ke areal sawah untuk menunjukkan kebolehannya. Mereka membajak sawah, sambil sesekali mengejar penonton untuk diceburkan ke dalam sawah. Sorak-sorai pun tidak terbendung. Penonton yang tertangkap kebo harus rela bermandi air sawah plus tanah liat yang menempel di seluruh tubuh.
Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari mengatakan, budaya Kebo-keboan hendaknya menjadi salah satu kekayaan budaya Banyuwangi yang terus dijaga kelestariannya. Ratna tidak menginginkan budaya Kebo-keboan akan berubah dan terpengaruh oleh budaya daerah atau bahkan negara lain. "Budaya semacam ini harus dijaga, jangan sampai hilang atau dipengaruhi oleh budaya daerah atau negara lain," kata Bupati Ratna Ani Lestari.
Dalam acara Kebo-keboan kali ini, dimeriahkan pula oleh hadirnya bentuk kesenian lain seperti Reyog Ponorogo, Terbangan khas Pasuruan dan Ogoh-ogoh khas Bali. Selain itu, pelaksanaan juga menyediakan panggung hiburan musik dangdut yang digelar usai kebo-keboan berakhir.
Teks foto:
Masyarakat desa Alas Malang Banyuwangi Jawa Timur menggelar tradisi Kebo-keboan, Minggu (20/1) ini. Dalam acara yang digelar setiap tanggal 10 Muharram (penanggalan Islam) atau 10 Suro (Penanggalan Jawa) itu sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada Sang Pencipta atas berkah panen berlimpah yang dirasakan desa itu saat musim panen tiba. Sekaligus doa untuk menjauhkan malapetaka di desanya. Kebo-keboan berasal dari kata kebo atau kerbau. Dalam upacara itu 18 orang desa berpakaian layaknya kerbau dan menari di sepanjang jalan desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar