15 Desember 2007

1242 Keluarga Korban di Pulau Semeulue Belum Tersentuh Bantuan Rumah

Sejumlah 1242 keluarga korban gempa bumi dan tsunami di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) belum mendapatkan bantuan rumah. Data mereka bahkan baru saja masuk ke Asisten Perumahan dan Pemukiman (Asperkim). Sementara dari 7746 rumah yang dijatahkan akan dibangun di Pulau Simeulue, baru 3310 saja yang selesai. Paling tidak, ada sekitar 5678 rumah yang dijadwalkan selesai sebelum BRR mengakhiri masa tugasanya pada April 2009.

Hal itu dikatakan Kepala Distrik Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias, Muhammad Iqbal Abbas di Sinabang, Pulau Simeulue, Sabtu (15/12) ini. Dalam pertemuan itu Iqbal menunjukkan data-data berbagai progress kegiatan di Pulau Simeulue. Dari semua progress yang terjadi di pulau yang paling dekat dengan pusat gempa yang berakibat tsunami itu, pembangunan rumah menunjukkan progress yang paling rendah. “Dari 7746 unit rumah yang dijatahkan akan dibangun oleh BRR dan NGO di Pulau Simeulue, baru 3310 unit rumah yang selesai,” kata Iqbal.

Lambatnya progress pembangunan rumah bernilai Rp.83-Rp.89 juta di Pulau Simeulue itu memang bukan tanpa alasan. Iqbal mengatakan, ada beberapa hal yang membuat pembangunan rumah di Pulau Simeulue menjadi terhambat. Yakni sentralisasi kontrol yang dilakukan langsung dari Banda Aceh dan susahnya infrastruktur jalan yang menghambat penyebaran material pembangunan. “Juga persoalan cuaca, di sini curah hujannya sangat tinggi, maka pembangunan pun terpambat,” kata Iqbal.

Meski begitu, di Pulau Simeulue minim persoalan sengketa rumah yang banyak terjadi di kawasan tsunami lain. Seperti kasus rumah ganda, rumah bantuan yang tidak layak huni atau kasus kontraktor yang meninggalkan tugasnya. “Sejauh ini baru ada kasus 5 kontraktor yang tidak sesuai jadwal, itupun terpaksa kita hentikan kontraknya,” kata Syaiful Anwat, Satuan Kerja Pembangunan Rumah BRR Simeulue.

Johan, dari salah satu kontraktor yang ikut membangun rumah di Simeulue mengatakan membangun rumah di Pulau Simeulue berhadapan dengan berbagai kendala yang mungkin tidak ada di tempat lain. Seperti tidak adanya kayu untuk membangun dinding rumah. Padahal, kayu adalah salah satu prasyarat utama yang harus didapatkan untuk membangun rumah yang tahan gempa. “Kayu-kayu sebenarnya bisa kita dapatkan di hutan, tapi kalau kita mengambil kayu di hutan, kita akan ditangkap karena dinilai sebagai pelaku ilegal logging,” katanya.

Belum lagi persoalan jalan dan jembatan rumah yang membuat mobilisasi bahan bangunan terhambat. Padahal, semua material pembangunan rumah di Pulau Simeulue terpusat di daerah Kuala Makmur. “Kalau kita sampai ke daerah yang jalannya rusak atau jembatannya putus, maka kita harus membawanya dengan berjalan kaki,” katanya.

Sementara itu, hingga saat ini di pengungsian Sinabang Pulau Simelue masih ada 153 pengungsi yang tertahan di shelter. Rata-rata, pengungsi itu sudah mendiami shelter hingga dua tahun. Rumah jatah mereka yang akan dibangun oleh Austrian Red Cross baru akan dibangun pada Januari 2009. “Tidak tahu lagi, kapan kami akan pindah dari sini, semoga jadwal tidak berubah,” kata Yuni Muslim.

Teks Foto:
Selama dua tahun, sekitar 153 keluarga korban gempa bumi dan tsunami di Pulau Simeulue masih mendiami shelter di Sinabang, Simeulue Nanggroe Aceh Darussalam. Rumah milik Australian Red Cross yang menjadi jatah mereka baru akan dibangun pada Januari 2009. Saat ini, proses pembangunan masih dalam tahap penimbunan tanah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar