03 Desember 2007

Problem Tercecer Menjelang Tiga Tahun Tsunami


Berbagai pekerjaan rumah belum terselesaikan di kawasan terparah tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tepatnya di kawasan pantai barat. Mulai Banda Aceh, Calang hingga Meulaboh. Ribuan rumah untuk korban tsunami yang sudah terbangun pun belum cukup. Belum lagi masalah infrastruktur seperti jalan, jembatan hingga fasilitas air bersih.


Perjalanan menyusuri pantai barat NAD bagaikan masuk ke lorong waktu, kembali ke masa tiga tahun lalu, 24 Desember 2004. Ketika tsunami menghantam daerah yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah. Meskipun geliat kehidupan mulai tampak di beberapa lokasi yang ketika itu “habis” tersapu tsunami, namun masih saja tersisa pekerjaan rumah di sela-selanya.

Daerah pertama dan terdekat dengan Ibu Kota NAD Banda Aceh yang bisa dijadikan “catatan khusus” adalah kawasan Kecamatan Leupung, tepatanya di Desa Maunasah Masjid. Menuju daerah yang ketika tsunami hanya menyisakan segelintir penduduknya itu, harus melewati jalan darurat yang dibangun di atas lahan perkebunan. Debu dan jalan terjal bergelombang harus ditembus.

Dam truk pengangkut batu yang melintasi jalan itu menerbangkan debu-debu yang menutupi jalanan itu. Penduduk Leupung yang akan bepergian ke Banda Aceh dengan menggunakan sepeda motor, mau tidak mau harus berhenti sejenak untuk membiarkan debu-debu itu tertiup angin. “Bisa juga kita gunakan penutup hidung dan helm yang menutupi seluruh kepala, yang kasihan anak-anak kecil di sini,” kata Nurhayati, guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung, Aceh Besar.

Kehidupan di Desa Maunasah Masjid, Leupung mulai menggeliat. Rumah-rumah yang dibangun berbagai NGO, seperti Plan Aceh, Muslim Aid, UN Habitat, Oxfam sudah berdiri dan ditempati korban tsunami. Sekolah pun mulai beroperasi. Seperti sekolah tingkat TK milik USAID dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. Penduduk pun mulai berbenah dengan membuka usaha di rumah.

“Dana kita dapatkan dari NGO, sekitar Rp.5 juta/orang, kebanyakan digunakan untuk membuka usaha,” kata Abdul Djalil, Sekretaris Desa Meunasah Masjid. Abdul Djalil mengatakan, ada banyak hal yang masih belum dikerjalan di Desa Meunasah Masjid. Pembangunan selokan pembuangan, Meunasah (masjid kecil) Desa dan Perbaikan Jalan adalah hal yang sangat dibutuhkan kini. “Selama ini air kotor hanya kita buang ke tanah saja,” kata Djalil

Daerah lain di Aceh Besar yang juga tampak bergeliat adalah kawasan Lhok Seudu Kecamatan Lepung. Ribuan rumah baru dibangun di barah bukit sekitar 2 Km dari tepi pantai. Beberapa kendaraan proyek berlalu lalang kesana kemari membawa material bangunan. Hampir sama dengan kondisi menuju ke Desa Meunasah Masjid, kondisi jalan di daerah ini pun berdebu.

Memasuki Kecamatan Lhoong hingga Kecamatan Lamno, Kabupaten Aceh Jaya pun tidak berbeda. Jalan utama yang menyusuri tepian pantai barat NAD, sebagian besar tidak bisa lagi digunakan. Hanya rangka-rangka jalan dan jembatan lama terlihat menyembul di tengah laut. Penduduk yang akan menuju ke daerah di sepanjang pantai barat, berbelok melalui jalan-jalan di lereng gunung yang membentang di tepian pantai.

Pekerja dari berbagai NGO dan Badan Rekonstruksi dan Rehablitasi (BRR) NAD-Nias membangun beberapa jembatan. Beberapa membuka jalan baru dengan membelah perbukitan. Batu-batu cadas menjadi persoalan tersendiri. Alat-alat berat beradu kekuatan dengan kerasanya bebatuan di perbukitan itu. Di Kecamatan Lamno, penduduk harus menyeberang dengan menggunakan rakit menuju ke Kacamatan Lambausoe.


Kontraktor Menghilang di Calang

Kecamatan Calang, Aceh Jaya yang menjadi daerah terparah tsunami di NAD agaknya menjadi daerah yang tergolong tertatih perkembangannya. Di daerah yang ketika tsunami hanya menyisakan 30 persen dari 12 ribu penduduknya ini manyisakan banyak pekerjaan rumah. Mulai pembangunan rumah korban tsunami yang belum seluruhnya selesai, bersanding dengan banyaknya rumah yang tidak ditinggali. Dengan alasan bangunan tidak layak atau pembagian rumah dobel. Plus, ada kasus kontraktor yang melarikan diri karena tidak mampu lagi meneruskan pembangunan.

Berdasarkan data BRR Distrik Aceh Jaya di Calang, daerah itu setidaknya membutuhkan 13.617 rumah baru untuk korban tsunami. Hingga saat ini, hanya separuh lebih rumah terbangun. Masing-masing 445 rumah dibangun oleh BRR, 7180 rumah dibangun oleh berbagai NGO. “Masih ada 2469 rumah yang masih dalam proses pembangunan,” kata Zahairi, Kepala distrik BRR Aceh Jaya.

Dari jumlah itu, 5710 sudah ditempati, sementara 1453 lainnya belum ditempati karena berbagai alasan. Mulai alasan rumah ganda, tidak adanya infrastruktur pendukung seperti listrik dan air hingga rumah ditinggalkan begitu saja karena pemiliknya tinggal di luar kota. “BRR sepenuhnya tidak bisa memaksa korban tsunami untuk tinggal di rumah atau menyewakannya, rumah itu sepenuhnya adalah tanggungjawab pemilik rumah,” kata Zahairi.

Salah satu problem besar di Kacamatan Calang adalah terbengkalainya bangunan proyek rumah sakit di Desa Ketapang, Calang. Dari yang dimiliki BRR menyebutkan, di areal seluas 4 Ha itu akan dibangun rumah sakit Calang. Pembangunan RS itu menelan dana sebanyak 15,9 M. Namun rencana itu agaknya tinggal kenangan. CV. Budi Graha Prakarsa Utama yang seharusnya mengerjakan rumah sakit itu justru tidak melanjutkan pekerjaannya.

Rencananya, RS itu akan dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama akan dibangun ruang Rawat Inap, Instalasi Gawat Darurat (IGD), Ruang Bedah, Laboratorium dan perkantoran. Atas kontrak yang dimiliki BRR tertulis, pembangunan tahap pertama itu akan selesai 1 Desember 2007. Sementara pada tahap kedua, akan membangun kelengkapan-kelengkapan yang masih belum ada.

Ketika mengunjungi tempat itu Minggu (2/12) ini, rumah sakit yang terletak di areal seluas 4 Ha itu hanya tinggal pondasi-pondasinya saja dengan besi rangka yang menjulang ke atas. Dua bangunan sementara dan peralatan pengolah semen tampak diselimuti semen kering. “Sudah tiga bulan lalu bangunan ini ditinggalkan pekerja yang membangunya,” kata Abdullah, warga Desa Ketapang.

Abdullah mengatakan, pada awal masyarakat menyambut gembira pembangunan RS itu. Karena di daerah Desa Ketapang, puskesmas terdekat terletak sejauh 2 Km, yakni di daerah Desa Kampung Blang. Untuk menuju ke desa itu, warga biasanya naik becak dengan membayar ongkos Rp.3000/orang. “Kalau penyakitnya lebih berat, warga harus ke RS. Meulaboh, sekitar 2 jam perjalanan ke sini,” katanya.

Menurut laki-laki yang tinggal di samping areal pembangunan RS. Calang ini, desa yang ketika tsunami hanya bisa dijangkau melalui laut dan udara ini, Kecamatan Calang sangat membutuhkan adanya Dayah atau Pondok Pesantren dan pasar serta terminal. “Saya lihat pembangunan itu sudah dilakukan BRR, tapi karena pekerjaan BRR banyak, mungkin itu yang membuat BRR jadi lambat,” kata Abdullah sambil tersenyum.

Korban Tsunami di Barak Meulaboh

Sekitar 250 Km dari Banda Aceh ada Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Di tempat yang sebelum tsunami memiliki populasi 120 ribu orang ini, saat tsunami menerjang membuat 40 ribu orang meninggal dunia. Berbeda dengan Kecamatan Calang, rekonstruksi dan recoveri di Meulaboh cenderung tertata rapi. “Mungkin karena secara geografis kita diuntungkan, salah satunya akses jalan ke Medan, Sumatera Utara yang masih bisa ditembus,” kata Marzudin Da’im Kasubdin BRR Meulaboh.

Karena itu, barang-barang yang dibutuhkan dalam proses pembangunan cepat bisa didatangkan dari Medan. Termasuk kebutuhan 16.177 ribu rumah yang 14.820 diantaranya sudah terbangun. Dari jumlah itu 2.908 sedang dalam proses pembangunan. Ada juga 750 rumah yang tidak dilanjutkan pengerjaannya dengan berbagai alasan. “Masih ada sekitar 1300-an rumah yang sama sekali belum dibangun, rencananya pada tahun 2008 ini pembangunan akan dilanjutkan,” katanya. Untuk infrastruktur jalan, data yang dimiliki BRR, pembangunannya sudah 120 Km dari Meulaboh menuju Calang. Meskipun jalanan masih berdebu tebal.

Yang menarik, BRR Meulaboh sedang mempersiapkan pembukaan lahan kepala sawit di hutan perbatasan Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Barat. Tepatnya di perbatasan Kecamatan Teunom dan Kecamatan Blangbalek. Di hutan berlahan gambut itu saat ini dilakukan penebangan pohon besar-besaran untuk membuka lahan. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sampai 500 Ha.

Karena belum tuntasnya pembangunan rumah itu, hingga saat ini masih ada 2584 pengungsi korban tsunami yang tinggal di 33 barak. Barak-barak itu tersebar mulai kawasan Arongan Lmbaru sampai Kaway XVI. Ketika mengunjungi salah satu barak di Kecamatan Johan Pahlawan, kondisinya sungguh mengenaskan. Barak-barak yang awalnya tertata rapi pada awal tsunami terjadi, kini sudah menjelma menjadi kawasan kumuh.

Sampah menumpuk di mana-mana. Hampir di bagian bawah barak menggenang air kotor, bercamur sampah rumah tangga. Kamar mandi yang ada di bagian barat barak pun tidak layak lagi digunakan. Pintu dan kran yang kamar mandi itu rusak. Di tempat itulah, kebanyakan anak-anak pengungsi tsunami bermain.

Umi Kalsum, salah satu penghuni barak mengatakan, rumah jatah untuk dirinya sebenarnya sudah berdiri. Namun, karena listrik dan airnya belum ada, maka dirinya memilih untuk menunggu pemasangannya selesai. “Saya masih menunggu NGO World Vision menyelesaikannya, kalau sudah selesai, saya akan secepatnya pindah dari sini,” kata Umi Kalsum sambil menggendong cucunya.

*Keterangan Foto:

1. Pantai Lamno, Aceh Jaya di sore hari.
2. Pembangunan di Lhoong, Aceh Besar.
3. Rumah di Leupung, Aceh Besar.
4. Penyeberangan rakit di Lamno.
5. Rumah Sakit yang ditinggal kontraktornya Calang.
6. Pembangunan terminal di Calang.
7. Pengungsi di Meulaboh.


1 komentar:

  1. Anonim3:50 PM

    wah kerja yang melelahkan bos. kapan balik ke surabaya.

    kabargresik.co.cc

    BalasHapus