10 Desember 2007

Ketika Desa Meunasah Belum Ramah


Sejak keluarga Unonen membeli VCD player dan televisi, dua anak mereka betah di rumah. Setiap hari, film-film VCD menjadi santapan mereka. “Saya lebih suka anak-anak saya nonton VCD di rumah, dari pada main-main di jalan, karena di sini tidak ada tempat untuk bermain,” kata Unonen. Hmm,..



Reihan berdiri di depan rak televisi. Sambil berjongkok, anak berusia enam tahun itu membolak-balik puluhan VCD bajakan yang tertumpuk di rak bagian bawah. Sesekali, tangan kecilnya mengangkat salah satu VCD yang menarik perhatian, kemudian mengembalikan kembali ketumpukan. Sebuah VCD film perang China menarik perhatian.

Dengan cekatan, dibukanya bungkus VCD itu, mengambil kepingan VCD-nya dan memasukkan ke dalam VCD player. Telunjuk kanannya memencet tombol play yang otomatis mengubah layar televisi menjadi biru sejenak, lalu kemudian muncul gambar tanda dimulainya tayangan film. “Ini film bagus, ceritanya perang-perangan dengan kuda,” kata siswa taman kanak-kanak itu. Bersama dua temannya, Reihan menikmati sajian yang penuh dengan adegan berdarah itu.

Begitulah gambaran kegiatan sehari-hari Reihan M. Nur, salah satu anak di Desa Meunasah Masjid, Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Setiap hari, Reihan, adiknya Nur Azizah dan teman sebayanya, menyaksikan berbagai film di VCD player milik keluarganya. Kedua orang tua Reihan, Unonen dan Zafrizal merasa lebih tenang dengan adanya VCD player dan televisi 21 inch milik mereka. “Saya lebih suka mereka nonton VCD di rumah, dari pada main-main di jalan, karena di sini tidak ada tempat bermain,” kata Unonen.

Keluarga Unonen dan Zafrizal adalah korban selamat tsunami NAD yang tinggal di rumah rekonstruksi yang dibangun oleh Plan Aceh dan Habitat Humanity di Desa Meunasah Masjid, Leupung. Ketika tsunami melanda khawasan itu, 60 orang keluarga Unonen, hilang entah kemana. “Mereka hilang, entah meninggal dunia, tapi mayatnya tidak ditemukan sampai sekarang,” kata Unonen.

Ketika itu, Unonen tinggal bersama keluarga Zafrizal di Tapak Tuan, Aceh Selatan. Sementara keluarga besarnya menetap di Desa Meunasah Masjid, Leupung, Aceh Besar. Ketika gelombang besar mengamuk, keluarga Unonen agaknya tidak sempat menyelamatkan diri. “Yang saya tahu, beberapa saat setelah peristiwa itu terjadi, keluarga saya di sini tidak ada lagi,” katanya. Senyumnya tertahan. Sejak saat itu, Unonen mengajak keluarganya untuk tinggal di Meunasah Masjid. Menyemai kembali sisa-sisa yang ditinggalkan keluarga keluarga besarnya.

Unonen menyadari, tinggal di daerah tsunami bukan hal yang baik untuk kedua anaknya. “Di sini tidak banyak anak kecil, tidak ada sekolahan (awalnya), banyak kendaraan proyek berlalu lalang, bukan lingkungan yang baik untuk anak-anak,” katanya. Perkiraan itu tidak meleset. Sejak tinggal di Meunasah Masjid pasca tsunami, kedua anak Unonen tidak bisa memiliki kehidupan yang layak.

Ketika masa sekolah tiba, Unonen sempat bimbang, tetap menyekolahkan di Meunasah Masjid, atau kembali ke Tapak Tuan. Beruntung, di tengah kebingunganya itulah, Unonen mengetahui ada sekolah TK yang didirikan lembaga USAID. “Saya menyekolahkan Reihan dan adiknya, Nur Aizah ke sekolah itu,” katanya.

Bagi Reihan dan Nur, bersekolah di TK USAID ibarat menemukan arena permainan yang aman. Di sana, mereka bisa belajar dan bermain dengan nyaman. “Ibu guru juga mengajari kami menyanyi,” kata Nur. Dengan suara cedal, gadis berumur 3, 5 tahun ini menyanyikan beberapa lagu yang baru saja dia pelajari. Tentu saja, yang terdengar jauh dari merdu. Hanya gumamam semata.

Saatnya Bersekolah, Saatnya Pindah Rumah

Beberapa keluarga yang hidup di Meunasah Masjid memiliki rasa yang senada. Keluarga Ja’far dan Yusnaini misalnya. Mereka menilali lebih baik bagi anak mereka, Isra untuk tinggal sementara dengan sang nenek di daerah Lantamot, Lembah Seulawah. Lantaran, ketika Isra memasuki usia sekolah dasar, di Meunasah Masjid belum memiliki sekolah dasar. “Waktu itu adanya hanya di Pulut, tempatnya agak jauh makanya kami menyekolahkan Isra di sana (Lembah Seulawah),” kata Yusnaini.

Ja’far dan Yusnaini menyadari, hidup terpisah dengan anak semata wayang adalah tindakan yang “makan hati”. Terutama ketika rasa rindu menyerang. Yang bias dilakukan adalah menghubungi Isra lewat telepon atau pergi ke Lembah Seulawah. “Biasanya sebulan sekali kami pergi ke sana,” katanya. Namun, upaya menahan rindu itu akan segera berakhir. Sebulan lalu, sebuah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) sudah berdiri di Meunasah Masijid.

Sekolah bertingkat dua itu berisi di pinggir jalan utama desa, di depan Polsek Lepung. Untuk ukuran sekolah baru, MIN Lepung masih diselimuti oleh berbagai persoalan. Mulai kurangnya guru pengajar, kurangnya buku pelajaran hingga kurang murid. Sekolah yang berdiri di areal seluas kurang dari satu hektar itu, hanya berisi 50 murid. Yang terbagi dalam enam kelas.

Murid terbanyak berada di kelas II, dengan 20 murid. Sementara kelas I, IV dan VI berjulah 5 murid. MIN Leupung memiliki Kepala Sekolah dan 12 guru yang mengajar secara bergantian. Seluruh guru berasal dari daerah di luar Meunasah Masjid.

Ketika mengunjungi MIN Leupung, murid kelas II MIN yang berjulah 3 orang sedang asyik belajar menambah kosakata. Nurhayati, guru kelas II dengan tekun mengajarkan satu persatu kata baru yang diperkenalkan. “Ayooo,..coba ini di tulis ulang di buku ya,” kata ibu Nurhayati. Ketiga murid itu mencoba menuliskan di buku mereka. Usai menulis di papan, Nurhayati melihat satu persatu hasil tulisan muridnya.

Nurhayati mengatakan, jumlah murid di MIN Leupung kadang bertambah, tapi juga sering berkurang. Murid baru biasanya datang dari keluarga korban tsunami yang baru pindah dari tempat baru menuju ke rumah rekonstruksi di Meunasah Masjid. “Tapi bila berkurang, biasanya ada murid yang diajak orang tuanya pindah ke tempat baru di luar Meunasah Masjid,” katanya. Nurhayati mengatakan, murid-murid yang ada di MIN Leupung biasanya sulit untuk berkonsentrasi. Bila sampai di sekolah, maunya bermain saja.

Nurhayati menilai, meski bangunan MIN Leupung tergolong bagus, namun di dalamnya banyak kekurangan. Terutama soal fasilitas mengajar. Seperti buku-buku dan fasilitas pendukunga proses belajar mengajar, seperti alat-alat praktek. “Sampai saat ini, biasanya satu buku dibaca oleh 2-3 murid, kita tetap memaksimalkan apa yang ada,” kata Nurhayati.

Hal lain yang dikeluhkan Nurhayati adalah banyaknya truk-truk yang melintas di depan sekolahan. Bila anak-anak pulang, dirinya merasa khawatir. Belum lagi persoalan debu yang selalu menghiasi Meunasah Masjid. “Banyak murid yang sakit batuk dan pilek, apa tidak bisa penyiraman air di jalan dilakukan lebih sering, agar debu tidak banyak..” katanya.

Tidak adanya meunasah atau masjid kecil di Meunasah Masjid menjadi sorotan Zuhra, ibu dari Elma Purwani, yang juga warga Meunasah Masjid. Karena tidak adanya meunasah membuat anak-anak Meunasah Masjid kesulitan mencari tempat belajar mengaji. “Biasanya, kalau mengaji mereka jalan di Pesantren Tempat Pengajaran Al-Quran (TPA) yang berjarak satu kilometer,” kata Zuhra. Semoga hal itu tidak membuat anak-anak lebih memilih menonton VCD dari pada pengaji,...

Teks foto:
Suasana belajar mengajar di MIN Leupung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar