Di sela-sela senyum itu, Elma dan Andi dengan tegas mengatakan cita-citanya. Elma memilih menjadi dokter, sementara Andi mantap berucap ingin tampil sebagai pemain band. Setelah itu, senyum terhapus. Debu yang beterbangan membuatnya menutup mulut dan hidung.
Siang itu, Elma Purwani atau Elma asyik bermain ayunan di depan kios toko milik ibunya, Zuhra. Baju merah putih yang dikenakan anak kelas enam sekolah dasar (SD) itu sedikit lusuh, berpadu dengan jilbab putih yang menguning karena sering digunakan. Begitu juga kaos kaki merah muda yang sedikit ketat kekecilan. Panas yang menyinari siang itu, membuat mata Elma sedikit memicing.
Elma tidak sendirian. Di depannya ada Juliandi Saputra atau akrab dipanggil Aldi. Teman sebaya Elma ini memilih berdiri tak jauh dari gadis itu, sambil menikmati makanan ringan yang dijajakan di kios Zuhra. Bila Elma berseragam merah putih, Aldi yang bersekolah di Madrasah Ibtida’yah Negeri (MIN) Leupung berseragam putih biru. Seperti Elma, seragam Aldi pun lusuh dan kumal. Rambutnya acak-acakan, menutupi sebagian wajah legamnya.
Berbincang dengan Elma dan Andi seperti memasuki dunia anak-anak kebanyakan. Aroma canda dan tawa tidak pernah lepas dari mereka. Meski sesekali dibumbui dengan obrolan “nggak penting” versi anak baru gede (ABG), namun tetap saja tidak menghilangkan keceriaan yang mereka usung. “Kita sih senang di sini,..dekat pantai bisa main-main ke pantai setiap hari,” kata Aldi di sela-sela tawanya.
Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang sepanjang hidupnya hidup “normal”, Elma dan Aldi pernah merasakan betapa dahsyat efek gelombang tsunami. Terutama Aldi yang ketika bencana itu terjadi hidup di Pulut, 2 Km dari Meunasah Masjid, dan berhasil selamat dari amukan air yang tiba-tiba datang menerjang kampunnya.
Aldi menceritakan, mimpi buruknya pada tsunami berawal dari sebuah goncangan keras pada 26 Desember 2004 pagi. Saat itu, kata Aldi, bumi seperti diguncang keras. “Saya yang sedang bermain-main di halaman depan rumah langsung berjongkok takut jatuh,” katanya. Setelah itu, keadaan kembali tenang. Aldi pun tidak berpikir lagi tentang hal itu. Ia kembali melanjutkan permainannya.
Tidak lama berselang, kenang Aldi, terdengar suara gemuruh yang entah berasal dari mana. Beruntung pandangan bocah penggemar musik itu terlempar ke arah pagar. Betapa terkejutnya Aldi, tidak seperti biasanya, di tepian pagar rumahnya sudah mengalir air. Beberapa saat kemudian, air bertambah banyak. “Saya memanggil mamak (ibu) saya, dan mengatakan ada air,..ada air,..” kenang Aldi.
Ayah Aldi yang juga berada di luar segera mengajak Aldi dan ibunya untuk berlari ke atas bukit untuk menyelamatkan diri. Untuk sementara waktu, Aldi tinggal di lereng bukit daerah Pulut. “Saya, bapak dan ibu selamat, tapi abang saya yang tinggal di Meunasah Masjid meninggal dunia karena terseret ombak sampai ke perbukitan di sana,” kata Aldi sambil menunjuk kejajaran bukit yang ada di belakang Meunasah Masjid.
Elma lain lagi. Meski tidak pernah melihat langsung ganasnya tsunami, namun gadis pemalu ini mengerti betul rasanya kehilangan keluarga besar. Setidaknya, 10 orang keluarga dekat Elma meninggal dunia dalam peristiwa tsunami tiga tahun lalu. “Ketika itu saya tinggal di Brawe, Banda Aceh, jadinya saya selamat, tapi banyak saudara saya yang meninggal dunia,” kata Elma. Karena itu, Elma pun tidak kalah ngeri bila mendengar gambaran tsunami yang begitu rupa.
Meski begitu, seperti juga banyak anak sebaya mereka, Elma maupun Aldi mengaku sudah sedikit demi sedikit bisa melupakan kejadian yang membuat air mata penduduk Aceh seakan berlinang tiada henti itu. Diakui, rasa khawatir itu masih bersarang dibenak mereka. “Kini saya tidak sedih lagi, meskipun masih takut kalau ombak kembali besar,” kata Aldi. Elma mengangguk mengiyakan.
Baik Elma maupun Aldi merasakan, hidup di Desa Meunasah Masjid sekarang sudah cukup lumayan. Meskipun bagi Elma, rumah yang dimilikinya belum seperti rumah yang dulu. Terutama rumah yang tidak memiliki banyak ruangan dan jendela. “Rumah saya yang dulu lebih terang, banyak cahaya yang masuk di setiap kamar,” kata Elma yang kini tinggal di rumah rekonstruksi Plan Aceh-Habitat Humanity itu.
Tapi kini, kamar miliknya, sempit dan tidak memiliki banyak cahaya. Bila siang hari, Elma pun terpaksa menggunakan lampu kamar. Bisa di tebak, kamar berkuran 3x3 M itu pun terasa lebih panas. “Kamar itu gelap dan kalau siang, akan bertambah panas,” kata Elma. Asal tahu saja, suhu udara di Aceh bisa mencapai 39 derajat Celcius.
Selain itu, Elma yang gemar bersosok tanam jenis tanaman bunga mengaku hobbynya tidak tersalurkan tanpa adanya pagar yang memisahkan tiap rumah. Setiap bunga yang sudah ditata apik di ruang terbuka di halaman rumah Elma, selalu berakhir tragis. “Kalau nggak mati terinjak-injak, atau mati dimakan oleh kambing yang berkeliaran,” kata Elma.
Belakangan, Elma menemukan cara jitu untuk menghindari hal itu. Yakni dengan membuat rak untuk menempatkan bunga dalam pot-pot yang disediakan. Meski pun dibuat sendiri, namun rak reyot itu untuk sementara bisa menghindarkan bunga dari “ancaman” kambing. “Yah, kalau ada pagar mungkin bisa jauh lebih baik ya,” katanya.
Hal lain yang sepertinya perlu ada di Meunasah Masjid adalah perbaikan jalan. Bila hujan tiba, jalan menuju rumah Elma selalu becek dan tergenang di mana-mana. Hampir pasti, bila hujan tiba, Elma harus mencopot sepatunya untuk menghindarkan dari air kotor yang tergenang. “Lebih baik kaki yang kotor, tapi sepatu tetap bersih, jadi sepatunya dijinjing saja,” katanya.
Aldi memilih tidak banyak berkomentar tentang rumahnya. Laki-laki murah senyum ini menilai, rumah yang sekarang didiaminya sudah “lumayan”. “Memang sudah lumayan, dari pada tidak punya rumah,” katanya. Hanya saja, Aldi membayangkan, bila dirinya beranjak dewasa, maka rumah yang sekarang didiaminya akan sempit. Untuk itu, Aldi menginginkan rumahnya ditingkat dua. Alasannya sederhana. “Saya ingin punya kamar di atas, jadi bisa lihat laut. Kalau suatu saat tsunami lagi, saya bisa selamat,” katanya.
Elma dan Aldi mengakui, hidup di daerah yang pernah tersapu tsunami penuh dengan suka, duka, harapan dan cita-cita. Suka dan duka mungkin sudah terhapus gelombang tsunami, kini waktunya membangun harapan dan cita-cita. “Gini-gini kita juga punya cita-cita tinggi lho,” kata Aldi ceria. Pengemar musik ini mengaku ingin menjadi musisi band. “Aku ingin jadi pemain band!” katanya mantap.
Elma yang mendengar itu sempat terbahak. Aldi tersipu. “Jangan hanya tertawa, katakan cita-citamu,” kata Aldi. Elma hanya menggeleng malu. Aldi yang ganti tertawa. Merasa terpojok, Elma lirih mengatakan cita-citanya. “Kalau bisa, saya ingin melanjutkan sekolah di sekolah kedokteran dan selanjutnya jadi dokter,” kata Elma. Keduanya tertawa. Meski harus kembali menutup mulut dan hidung karena dam truk baru saja lewat dan menerbangkan debu....wusss,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar