23 Oktober 2007

Sukarelawan Paramedis Bertaruh Nyawa di Lereng Gunung Kelud

Ardi menangis. Bocah berusia tujuh tahun itu ketakutan ketika Subakat, paramedis dari RS. Bhayangkara Kediri memintanya berbaring di ranjang darurat Posko Kesehatan Pokkes Polri Desa Ngancar, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Selasa (23/10) ini. “Tidak apa-apa, nggak diapa-apakan kok cuma diperiksa saja,” bujuk Subakat. Ardi menurut. Pemeriksaan pun dilakukan. Bocah itu didiaknosa mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kembung.

Subakat adalah satu dari ratusan paramedis yang sejak Gunung Kelud meningkat aktivitasnya, bertugas di lereng gunung itu. Selain di pos-pos kesehatan, paramedis itu juga stand by di lokasi pengungsian. Seperti di Balai Desa Tawang dan Balai Desa Segaran. Belum lagi yang ada di pos-pos kesehatan milik lembaga lain yang tersebar secara sporadis di perkampungan warga. Selain melayani penduduk yang masih bertahan di lereng gunung Kelud, paramedis juga mengurus 5000-an lebih pengungsi.

Menjadi paramedis yang bertugas di wilayah berbahaya memang bukan hal mudah. Dokter Kukuh Pandu Bhirowo anggota Seacrh and Rescue (SAR) HM. Sampoerna yang saat ini bertugas di lapangan Desa Ngancar, 15 KM dari puncak Gunung Kelud mengatakan pekerjaan sukarelawan adalah panggilan. Bila dokter tidak memiliki panggilan semacam itu, bisa dipastikan tidak berminat untuk bergabung.

“Tidak semua dokter berminat menjadi sukarelawan, mungkin tidak ada panggilan, mungkin juga nggak tahu caranya,” kata Kukuh pada The Jakarta Post, Selasa (23/10) ini. Kukuh sendiri sudah hampir empat tahun bergabung dengan SAR tempatnya bernaung. Berbagai daerah berbahaya pun di datanginya. Seperti Nangroe Atjeh Darussalam (NAD) beberapa saat setelah Tsunami menerjang, tanang longsor di Jember, Jawa Timur, gempa di Jogjakarta, tsunami Pangandaran dan Gunung Kelud.

Kukuh menceritakan, sebelum bertugas sebagai sukarelawan, dirinya terlebih dahulu mengikuti kursus Advance Traumatic Live Support (ATLS) di Surabaya. Dalam pelatihan bersertivikat sebuah lembaga dari AS itu, para paramedis dilatih bagaimana menjadi sukarelawan medis di daerah bencana. “Banyak hal yang saya pelajari dalam pelatihan itu, salah satunya melakukan sistem triase,” katanya.

Sistem triase atau penyaringan korban bencana digunakan untuk menangani korban bencana. Sistem ini secara sederhana memisahkan pasien berdasarkan kondisinya. “Biasanya, korban yang memiliki kemungkinan hidup lebih banyak, terlebih dahulu dinomorsatukan, hanya saja, bila kita memilki peralatan yang memungkinnan, malah dibalik, korban paling parah justru didahulukan,” katanya.

Saat bertugas di Gunung Kelud, Kukuh mengepalai tim yang berjumlah 23 orang, dengan satu Mobile Medical Unit milik SAR HM. Sampoerna. Mobile Medical Unit memiliki kemampuan sebagai ruang operasi. “Bila dalam keadaan emergency, operasi bisa dilakukan di dalam mobil ini, tujuannya untuk memberi kemungkinan hidup lebih lama, setelah itu baru dirujuk ke RS setempat,” katanya.

Dokter Pramushinto, koordinator paramedis di lokasi pengungsian Balai Desa Tawang mengatakan, setiap dokter yang bertugas di daerah berbahaya seperti Gunung Kelud memiliki standart operation procedure (SOP) yang harus dipatuhi. Seperti selalu menyediakan peralatan keselamatan untuk diri sendiri. “Memastikan diri sendiri selamat dahulu, baru menyelamatkan korban lain,” kata Pramushinto.

Dokter yang menjadi saksi letusan Gunung Kelud tahun 1990 ini mengungkapkan selama empat tahun, dirinya bertugas di ring satu lereng Gunung Kelud Desa Ngancar Kediri. Kecamatan paling dekat dengan puncak Gunung Kelud. “Dari pengalaman itu saya mengatahui, bila Gunung Kelud tahun ini jadi meletus, maka yang harus diperhatikan pertama adalah material yang keluar dari puncak Kelud,” katanya.

Bila material debu dan batu, kata Pramushinto menyarankan siapa saja untuk menggunakan helm pengaman standart yang tertutup sampai ke leher bangian belakang. Plus, kacamata untuk melindungi debu-debu. “Bila gas yang keluar, maka lebih baik secepat mungkin membahasi masker atau kain dengan air untuk ditutupkan dihidung, sebagai pertolongan sementara, hal itu cukup,” katanya.

Pramushinto memastikan, dokter yang saat ini bertugas memiliki kemampuan survive dan medis yang handal. Meskipun tidak mau gegabah pada nasib, namun dengan kemampuan yang dimiliki, paramedis akan bisa bertahan di daerah yang berbahaya. “Di daerah berbahaya memang tidak bisa gegabah, beruntung para dokter sudah dibekali kemampuan untuk menyelamatkan diri,” katanya.

Teks Foto: Paramedis sedang menangani pasien di lereng Gunung Kelud, Selasa (23/10) ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar