Masyarakat Dusun Kampung Anyar, Kabupaten Blitar was-was sendirian menunggu nasib. Perhatian yang diberikan pemerintah pada tetangga Desa Tawang, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur menyusul meningkatnya aktivitas Gunung Kelud, tidak mereka dapatkan. Mereka hanya mengandalkan pengalaman yang mereka miliki. “Kami merasa diabaikan,” kata Sugeng Waluyo, Ketua RW Kampung Baru.
Senja baru saja beranjak menjadi malam, ketika Pipit Suyono memulai aktivitasnya, Rabu (17/10) sore ini. Laki-laki Ketua Rukun Tetangga (RT) Kampung Anyar itu berkumpul dengan warganya. “Seperti biasa, kami akan memenuhi jadwal jaga malam ini, sebagai persiapan bila Gunung Kelud meletus,” kata Pipit Suyono pada The Jakarta Post. Satu persatu, warga dusun yang terletak di perbatasan Kabupaten Blitar dan Kediri itu mulai berdatangan. Jaket tebal dan senter menjadi perlengkapan wajib yang harus dibawa.
Persiapan penanganan bencana yang dilakukan di Dusun Kampung Anyar, Blitar ini memang berbeda dengan penanganan bencana di desa tetangga yang juga berada di lereng Gunung Kelud. Seperti Desa Tawang, kecamatan Wates, Kabupaten Kediri misalnya.
Kalau di Desa Tawang penuh dengan fasilitas darurat seperti Rumah Sakit (RS) darurat, dapur umum, ambulan dan puluhan truk yang disediakan oleh Satuan Koordinasi dan Pelaksanaan (Satkorlak) Bencana Alam, namun tidak di Dusun Kampung Anyar. “Jangankan rumah sakit darurat, paramedis pun menolak datang dan berjaga di sini karena takut,” kata Pipit.
Karena kondisi itu, dusun berpenduduk 400 orang ini harus mempersiapkan segala keperluan menghadapi bencana secara swadaya. Mulai pos penanganan hingga truk pengangkut yang akan digunakan sebagai sarana evakuasi adalah milik warga. Rumah Ketua Rukun Warga (RW) Dusun Kampung Anyar Sugeng Waluyo digunakan sebagai posko penanganan. Hanya sebuah tenda di tengah lapangan dan obat-obatan yang baru dua hari lalu dibantu oleh Satkorlak.
Pipit menceritakan, sejak Gunung Kelud di Jawa Timur mulai diberitakan mengalami peningkatan aktivitas, warga Dusun Kampung Anyar mulai mengefektifkan jaga malam. Tujuannya, untuk tetap waspada bila suatu saat Gunung Kelud itu akan benar-benar meletus. “Kami belajar dari pengalaman, Gunung Kelud tidak bisa diprediksi secara pasti, untuk itu kami harus terus berjaga-jaga,” kata Pipit.
Bagi warga Kampung Anyar, peningkatan aktivitas gunung Kelud memang bukan hal baru. Beberapa orang warga asli desa ini adalah saksi hidup meletusnya gunung yang sulit diprediksi kepastian aktivitasnya itu. Bahkan ada penduduk asli yang menjadi saksi tiga kali letusan gunung itu. Misman adalah salah satunya. Laki-laki berusia 87 tahun itu adalah saksi hidup tiga kali letusan gunung Kelud di tahun 1950, 1965 dan 1990. “Tiga kali letusan yang menakutkan,” kenang Misman.
Laki-laki yang selama hidupnya menjadi buruh kebun itu menceritakan sepanjang yang dia ketahui, gunung Kelud hanya memuntahkan batu, pasir, awan panas dan lahar dingin. “Meskipun hanya batu, pasir, awan panas dan lahar dingin bebentuk air, namun hal itu cukup menakutkan, dua penduduk Kampung Anyar meninggal dunia karenanya,” katanya. Semuanya diawali dengan gempa dan letusan keras dari puncak gunung.
Setelah itu, langit di atas gunung menjadi hitam oleh material yang dimuntahkan gunung Kelud. Di sela-sela hitamnya langit terlihat kilat menyambar-nyambar. Tak lama berselang, terdengar suara gemuruh yang tidak henti-henti. “Ketika langit menghitam, itu biasanya berupa batu-batu yang terdorong ke langit, suara gemuruh itu adalah aliran lahar dingin yang mengalir deras dari puncak gunung ke arah bawah,” kenangnya.
Penduduk yang mengetahui hal itu biasanya memilih untuk keluar dari rumah dan bergegas menuju ke tempat-tempat yang dijadikan lokasi evakuasi. Bila hujan batu dan abu, rumah-rumah dengan konstruksi bangunan yang kuat dijadikan tempat evakuasi. “Tapi bila yang keluar lahar dingin, penduduk biasanya memilih untuk tetap tinggal di rumah dengan dataran tinggi,” kata Misman.
Dalam menghadapi status Awas Kelud kali ini, warga desa Kampung Anyar sudah mempersiapkan delapan rumah yang akan dijadikan tempat evakuasi. Salah satunya di sebuah gereja Katolik yang berada di kawasan itu. Bila kondisi tidak memungkinkan untuk bertahan, maka tiga truk milik warga akan digunakan untuk proses evakuasi. “Saya tidak tahu, apakah jumlah truk itu akan mencukupi untuk 400 warga yang saat ini ada di Kampung Anyar,” kata Ketua RW Dusun Kampung Anyar Sugeng Waluyo.
Satu hal yang paling ditakuti membuat warga Kampung Anyar adalah kemungkinan keluarnya gas beracun saat gunung Kelud benar-benar meletus. Sugeng hanya mengernyitkan dahi saat membayangkan hal itu. “Kami benar-benar tidak tahu kalau memang yang keluar dari gunung Kelud adalah gas beracun, yang pasti kami akan berlari sejauh mungkin dan berharap angin tidak membawa gas itu ke arah kami, semoga saja,” kata Sugeng yang pada tahun 1990 merasakan letusan Gunung Kelud itu.
Kalau gas beracun itu benar-benar dimuntahkan, resiko kematian bukan hanya menjadi ancaman warga Kampung Anyar, melainkan juga warga Desa Sumber Asri yang terdiri dari 13 RW dengan jumlah penduduk sekitar 2600-an orang. Belum lagi penduduk Desa Tawang Kecamatan Wates Kabupaten Kediri yang memiliki jumlah penduduk lebih dari itu. Semoga ketika itu mereka tidak lagi berjuang sendirian untuk bertahan hidup.
Benar-benar menyentuh mas liputannya. Saya merasakan, bagaimana khawatirnya mereka sebagai penduduk Kelud. Kalau mengungsi, mereka terancam dengan penjarahan rumah seperti yang terjadi ditahun 90-an, tapi jika tidak mengungsi, mereka akan berhadapan dengan ganasnya alam.
BalasHapussalam
Arif