Raut muka Bagus Wiwanto tampak kuyu. Dua hari lalu, laki-laki berusia 35 tahun itu tiba di Masjid Ampel Surabaya dari kota asalnya Balikpapan, Kalimantan Timur. Alasan kedatangan pengusaha kargo ke masjid yang didirikan oleh Sunan Ampel, salah satu penyebar Islam di Jawa ini tergolong “sederhana”. “Saya tiba-tiba terpanggil untuk datang dan beribadah di masjid ini, termasuk di sepertiga malam terakhir Bulan Ramadhan,” katanya.
“Panggilan” yang dirasakan Bagus mungkin juga dirasakan ribuan orang yang setiap malam di Bulan Ramadhan menyemut di tempat-tempat yang mujarabah, sebutan untuk tempat-tempat khusus yang dipercaya mampu membuat doa terkabul. Seperti di Masjid Ampel Surabaya. Terutama ketika tiba sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan. Lebih khusus lagi pada malam ganjil, seperti malam 21, 23, 25, 27 dan 29.
Di malam yang “misterius”, karena hanya diketahui oleh Allah itu, dipercaya sebagai malam Lailatul Qodar atau malam yang sama nilainya dengan 1000 bulan. Umat Islam percaya, ketika mereka beribadah di malam itu, maka pahala yang didapatkannya akan sama dengan ibadah yang dilakukan selama 1000 bulan tanpa berhenti. “Di malam-malam itu, tempat yang mujarabah seperti Masjid Ampel selalu dipadati oleh umat yang beribadah,” kata H.M Amin Fatchur, pengurus Masjid Ampel Surabaya pada The Jakarta Post.
Di Indonesia, Masjid Ampel dipercaya sebagai tempat yang paling “tua”. Karena Sunan Ampel atau Raden Ahmad Rachmatulloh adalah salah satu pioner Sembilan Wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa, Kamboja. Konon, Sunan Ampel adalah keturunan dari Ibrahim Asmarakandi atau Maulana Malik Ibrahim. Salah satu Raja Champa yang yang kemudian menetap di Gresik, Jawa Timur.
Ketika berusia 20 tahun, Raden Rachmat memutuskan untuk pindah ke Tanah Jawa. Tepatnya di Surabaya, yang ketika itu merupakan daerah kekuasaan Majapahit di bawah Raja Brawijaya. Oleh raja yang dipercaya sudah beragama Islam ketika berusia lanjut itu, Raden Rachmat dipinjami tanah seluas 12 hektar di daerah Ampel Dento atau Surabaya, untuk syiar agama. Karena tempatnya itulah, Raden Rachmat kemudian akrab dipanggil Sunan Ampel. Pada tahun 1421, Sunan Ampel membangun sebuah masjid Ampel dengan berarsitektur perpaduan Jawa kuno dan Arab.
Berbagai legenda terjadi di masjid ini. Legenda yang konon merupakan sebuah kebenaran itu salah satunya adalah hadirnya sembilan makam milik salah satu santri Sunan Ampel yang bernama Mbah Sholeh. Sembilan makam yang semuanya milik Mbah Sholeh itu hadir konon karena Sunan Ampel masih memerlukan “teman” dalam membangun masjid. Saat Mbah Sholeh meninggal, Sunan Ampel berdoa agar Mbah Sholeh kembali diizinkan untuk membantunya. “Allah mengizinkan Mbah Sholeh hidup kembali hingga sembilan kali, sampai akhirnya meninggal dunia,” kata H.M Amin Fatchur, pengurus Masjid Ampel Surabaya.
Juga terdapat sosok Mbah Bolong, yang konon mampu menunjukkan dengan pasti arah kiblat masjid Ampel yang pas mengarah ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Saudi Arabia. Caranya cukup unik, yaitu dengan melubangi (mbolongi-Bahasa Jawa) bagian imaman masjid.
Yang terakhir adalah adanya tujuh sumur yang digali sendiri oleh Sunan Ampel. Airnya dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan berbagai menyakit. Karena berbagai peninggalan Sunan Ampel di Masjid Ampel iitu, sisi “keajaiban” masjid yang terletak di Jl. KH. Mas Mansyur Surabaya Utara ini menjadi semakin besar. “Lihat saja, hampir di setiap jengkal areal masjid Ampel dipenuhi oleh orang-orang yang berdoa,” kata H.M Amin Fatchur.
Benar juga. Dalam pengamatan The Jakarta Post, Masjid Ampel tidak pernah sepi pengunjung. Selain melaksanakan sholat wajib lima waktu, pengunjung biasanya memilih untuk Sholat Tarawih berjamaah. Usai bertarawih, biasanya dilanjutkan dengan ritual membaca ayat Al-Quran, hingga pagi menjelang. Jamaah yang tidak kuat menahan kantuk, biasanya memilih untuk tidur-tiduran di beranda masjid. Sekalian menunggu datangnya waktu sholat sunnah Tahajud sekitar pukul 02.00 WIB dini hari.
Tidak hanya di dalam masjid, di areal pemakaman tempat Sunan Ampel dan santrinya dimakamkan pun dijadikan tempat untuk berdoa. H.M Amin Fatchur, menyadari berdoa di makam masih memunculkan pro dan kontra. Masih ada umat Islam yang berpikiran bahwa hal itu haram atau tidak boleh dilakukan karena syirik (menduakan Allah-red). “Padahal tidak demikian adanya, berdoa di makam itu bukan karena meminta kepada makam atau orang yang dimakamkan, melainkan justru mendoakan orang yang dimakamkan,” kata H.M Amin Fatchur.
H.M Amin Fatchur dan pengurus Masjid Ampel menyadari, kuatnya keinginan umat muslim untuk beribadah di Masjid Ampel, sekaligus mengharap bisa mendapatkan berkah malam Lailatul Qodar membuat masjid yang kini merupakan cagar budaya Kota Surabaya itu berbenah. Seperti menyiapkan tempat beristirahat, menata jalur masuk dan keluar masjid, hingga membersihkan areal makam. “Kami hanya menginginkan Umat Islam bisa lebih khusuk dalam beribadah di areal Masjid Ampel,” katanya. Kekhusukan beribadah yang diterangi cahaya malam 1000 bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar