17 Juni 2007

Memilih Untuk "Jamuran"

Jamuran, bagi kebanyakan orang adalah kondisi yang sangat mengganggu. Berbagai cara dilakukan untuk menghilangkan tumbuhan parasit itu. Namun, tidak bagi penduduk Desa Bulukandang, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Karena tumbuhnya jamur, berarti meningkatnya taraf hidup bagi masyarakat di daerah yang pada masa lalu dikenal sebagai kawasan maling kendaraan bermotor itu.

Kaiman adalah salah satu penduduk Bulukambang yang menggantungkan hidupnya pada jamur. Melalui budidaya jamur Tiram Putih, laki-laki berusia 47 tahun itu berhasil keluar dari krisis keuangan yang menderanya. Tidak hanya itu, jamur juga membuat bapak dua anak ini menjadi budidayawan sukses dengan 10 tenaga kerja. "Jamur benar-benar merubah hidup saya dan keluarga," katanya pada The Jakarta Post, Sabtu (16/06) ini.

Perkenalan Kaiman dengan jamur, berawal dari sulitnya kondisi keuangan keluarga pada tahun 2005. Ketika itu, menurunnya jumlah penyewa truk, membuat Kaiman tidak mampu lagi menghidupi keluarga dari penghasilan sebagai sopir truk. "Selama 15 tahun menjadi sopir truk, tiba-tiba saya harus berganti pekerjaan, bingung sekali saya saat itu," kenang Kaiman. Di tengah kebingunannya, seorang teman asal Blitar, Jawa Timur memberi ide untuk membudidayakan jamur.

Meski sempat ragu, Kaiman memilih untuk mempelajari proses pembiakan jamur. Merasa masih kurang mahir, Kaiman pergi ke rumah seorang kenalannya di Wonosobo, Jawa Tengah untuk memperdalam ilmu per-jamuran. "Selama beberapa minggu saya di Blitar dan Wonosobo untuk belajar, tapi sepertinya belum cukup," kata Kaiman. Setiap praktek di rumahnya di Bulukandang, hanya kegagalan yang diperoleh.

Meski begitu, Kaiman bersikeras untuk terus mencoba. Surat kendaraan bermotor miliknya dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman sejumlah Rp.10 juta dari bank. Sejumlah Rp.6 juta digunakan untuk membeli peralatan pembiakan jamur, seperti membeli alat sterilisasi, plastik tempat pembiakan dan membangun kumbung (bangunan khusus dari anyaman bambu-red). Sisanya, digunakan untuk membeli bahan-bahan pembuat jamur, seperti agar-agar, gula, kentang dan air suling.

Setiap malam, laki-laki bertubuh ceking itu meluangkan waktu untuk membuat benih jamur. Dengan mencampur agar-agar, gula, kentang dan air suling dalam sebuah panci, dan direbus hingga 10 jam lamanya. Selalu saja ada kesalahan produksi. Mulai hasil pembibitan benih yang terlalu asam sampai benih tidak tumbuh sempurna. "Beberapa bulan mencoba, hasilnya selalu tidak maksimal, hanya cukup untuk makan sebulan saja, belum lagi dipotong untuk membayar cicilan bank," katanya.

Keberuntungan mulai berpihak pada Kaiman setelah bulan keenam. Setiap bibit jamur yang disemainya, tumbuh sempurna. Bahkan, di bulan keenam itu juga, Kaiman menerima order sebanyak 10 ribu baklok (sebutan untuk satu buah benih jamur-red). Padahal ketika itu, jumlah jamur milik Saiman hanya 1000 baklok. "Terpaksa order itu harus saya tolak, meski begitu, pada bulan keenam, saya sudah balik modal," katanya.

Semakin lama, budidaya jamur milik Kaiman terus meroket. Pada tahun 2006, dirinya terpilih sebagai salah satu pengajar pelatihan budidaya jamur yang diadakan HM. Sampoerna bagi warga Bulukandang. Sejak saat itu, ada 40 keluarga di desa itu yang membuka usaha budidaya serupa. Kaiman sendiri, memilki 10 pekerja. "Saya merekrut pemuda-pemuda desa yang dulu banyak berprofesi sebagai maling sepeda motor, karena mereka pengangguran," katanya.

Selain membuka kursus mengajar, HM. Sampoerna juga memberikan bantua modal berupa 1000 baklok bibit jamur senilai 30 juta bagi 20 kepala keluarga. Masing-masing keluarga mendapatkan Rp.1,5 juta. Dengan sistem pembayaran 50:50 untuk setiap jamur yang berhasil dipanen. "Hampir seluruh petani jamur di Bulukandang bekerjasama untuk budidaya dan pemasaran jamur," kata Kaiman yang kini sudah memiliki dua kumbung seluas 20x70 m2. Penghasilan bersih yang didapatkannya mencapai Rp.7,5 juta/bulan.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, setiap kumbung terdiri dari dua ruangan yang memiliki fungsi beragam. Ruangan pertama khusus digunakan untuk pembiakan bibit jamur dan pencampuran bibit itu dengan ketam (sisa penggergajian kayu). Sementara ruang kedua yang tertutup dari cahaya sinar matahari, digunakan sebagai tempat perkembangan jamur. Keseluruhan proses pembibitan hingga panen, dibutuhkan waktu selama 45 hari.

Kaiman mewakili penduduk Bulukandang yang menggantungkan hidupnya dari budidaya jamur mengharapkan pemerintah bersedia mengucurkan dana pinjaman lunak untuk mereka. Dana itu akan digunakan untuk pengembangan budidaya jamur, guna memenuhi kebutuhan permintaan jamur yang menunjukkan peningkatan. "Kami terpaksa menolak tawaran eksport ke Taiwan dan China sebanyak 5 kwintal perminggu, karena tidak ada modal untuk menaikkan produksi," katanya. Sementara ini, Jamur Bulukandang dipasarkan hanya di sekitar Kabupaten Pasuruan. Seperti Surabaya, Malang, Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan sendiri.

Sebuah perusahaan pengelola lapangan golf Taman Dayu di Prigen adalah salah satu menjadikan jamur Bulukandang sebagai andalan menu. Taman Dayu yang juga tetangga desa Bulukandang sekaligus menjadikan budidaya jamur Bulukandang sebagai target CSR."Kami ingin masyarakat Bulukandang tidak hanya memiliki kemampuan membudidayakan jamur, tapi bagaimana mereka mampu memasarkannya," kata J.Johny Budiono, General Manager Taman Dayu.

Karena itu, Taman Dayu sedang berupaya untuk melakukan berbagai pelatihan manajeman dan pengemasan jamur. Pada titik akhirnya, akan ada peningkatan pendapatan bagi masyarakat Bulukandang. "Kalau jamur dijual dalam kemasan yang bagus, mungkin akan lebih menguntungkan daripada dijualmentahan saja," kata Johny. Di Taman Dayu, jamur Bulukandang disajikan sebagai menu masakan, bersanding dengan menu Eropa dan China yang ditawarkan di tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar